Now listening, MLTR 25 MINUTES.
Denger lagu ini saya ingat jaman SD, zamannya udah ngerti
pacaran tapi belom ngerti cinta-cintaan (apa bedanya? Haha).
Capek, diluar panas banget. Rumit.
Bahkan info yang saya dapat dari twitter, suhu Jakarta hari ini mencapai 40 derajat. Gila!
Ampuni hamba ya Allah, setengah jam ini saya mau
mendinginkan badan dulu sebelum sholat ashar.
Saya semakin sadar, saya ini sudah menempuh enam semester
kuliah, semester depan udah mau skripsi, semester ini semester nya magang.
Magang? Oh ya, itu dia. Kedengarannya agak lebay sih, tapi
jujur mata kuliah ini cukup menyita pikiran saya.
Sebulan ini saya udah disibukkan sama peng-apply-an magang, di kampus bolak balik
gedung F buat minta surat pengantar
magang, bolak balik stasiun juanda, bolak balik menkeu dan menlu, bolak
balik depok Jakarta. Bolak balik naik kereta. Bukan mengeluh Tuhan, tapi hanya
coba mengerti begini rasanya berjuang di Jakarta.
Salut. Hebat. Jakarta yang menurut saya adalah kota yang
parah. Wajar aja kalo Jakarta dinobatkan jadi kota terburuk nomor empat di
dunia. Tapi, orang-orang itu bisa bertahan hidup di Jakarta, bahkan saya pun
mungkin calon generasi penerus mereka yang akan hidup di Jakarta nantinya
(mungkin).
Mulai dari urusan makan dan cari duit sampai ke urusan makan
dan cari duit lagi. mulai dari matahari mau terbit di hari ini sampai ke
matahari mau terbit lagi esok harinya.
Pagi-pagi saya melangkahkan kaki ke stasiun UI, ke arah
loket. “Pak, kereta ke Kota jam berapa
pak?”
“kalo yang ekonomi
datengnya bentar lagi, kalo ekonomi AC satu ½ jam lagi”
Saya menelan ludah. Menghela nafas. Baiklah naik ekonomi
saja, daripada kesiangan.
“perhatikan satu dari
jalur selatan satu rangkaian KRL ekonomi tujuan kota” suara dari pengeras
suara petugas stasiun pertanda kereta datang.
Ya Tuhaaan, saya benci pemandangan itu. Udah kayak kepompong
aja begantung-gantung begitu. Yang di dalam saya rasa udah siap jadi kerupuk
manusia atau bisa dibilang manusia asin pengganti ikan asin.
Kereta ekonomi yang barusan tiba penuh dengan manusia
didalamnya, sumpek.padat.stuck. ga
bisa bergerak sepertinya.
Saking penuhnya, manusia yang lain sampai bergelantungan di
pintu kereta, atau duduk di atas atap kereta. Udah bosan hidup kayaknya. Atau justru
seperti itulah yang mereka namakan dengan bertahan hidup. Parah.
KRL Ekonomi Jabodetabek
Saya berubah pikiran untuk ikut naik. Baiklah, saya akan
menunggu kereta ekonomi AC saja satu setengah jam lagi.
Tiket kereta ekonomi yang sudah saya genggam dari tadi saya
buang. Saya kembali ke loket. Ekonomi AC Rp.5.500. Saya kembali berpikir apakah
dengan harga tiket Rp.1.500 sesuai dengan kondisi yang kita dapat di kereta
ekonomi.
Kereta ekonomi AC, lebih baik dari kereta ekonomi biasa. Lebih
manusiawi menurut saya. walaupun di dalamnya tetap saja berdesakan dan lebih
pantas disebut kereta ekonomi kipas angiin, bukan kereta ekonomi AC.
Saya memilih naik di gerbong terakhir, gerbong khusus
wanita. Saya beruntung. Masih dapat tempat duduk.
Sekeliling saya, semuanya wanita. Karena memang gerbong
khusus wanita. Setidaknya aroma yang saya cium di dalam gerbong ini lebih sejuk
karena tidak ada aroma laki-laki.
Ada yang tidur, ada yang ngobrol, ada yang diam saja,
termasuk saya.
Stasiun demi stasiun, penumpang semakin banyak. Dan semakin
terdesak.
“penumpang yang
terhormat, KRL sebentar lagi akan tiba di stasiun gambir, kepada penumpang yang
akan turun harap bersiap-siap di dekat pintu kereta”
Wah, sudah sampai gambir. Satu stasiun lagi saya akan
sampai.
Setelah gambir, adalah stasiun Djuanda. Stasiun tempat saya
akan turun.
Oke. Saya sampai. Next
destination : Gedung Kementerian Luar Negeri RI.
Abang bajaj jadi harapan.
Oke baiklah, ada dua jenis bajaj disini, bajaj nungging (menurut saya),
yang satu lagi bajaj BBG. Bajaj nungging itu sepertinya bajaj jaman dulu, yang
bentuknya nungging, dan saya udah kebayang berisik suaranya dan asap yang bakal
dia keluarin, mungkin jika saya berada di dalam bajaj itu selama dua jam, bisa
mati keracunan asapnya. Oke, kita naik bajaj BBG, lebih elit dan lebih
tenteram. Harga sama saja.
Kementerian Luar Negeri RI.
Gedungnya membuat saya kagum, masuk ke gedungnya, melihat
orang-orang yang kerja disini membuat saya mupeng, muka-muka pegawai nya yang tenang
dan bersih, menandakan mereka semua hidup dengan makmur dan tenteram, walaupun
sebenarnya ada beban kerja yang mereka tanggung. Sesekali saya melihat
muka-muka bule. Setelah dioper
sana-sini, berkas magang saya akhirnya diterima dan hasilnya masih dua minggu
lalu. Ya ampun, pengen banget bisa jadi bagian Kemenlu RI.
Next destination :
Kementerian Keuangan RI. By sikil (jalan kaki).
Gedung Kementerian ini lebih mengagumkan lagi. keren banget.
Semakin tergiur. Muka-muka orang yang ada di dalam gedung
ini serupa dengan yang ada di Kemenlu, tenang dan bersih-bersih semua. Namun,
yang disini lebih terlihat lebih ramah dari yang ada di Kemenlu.
Berkas udah saya masukin juga. Hasilnya minggu depan juga. Baik.
tinggal berdoa. Semoga diterima.
Next destination:
Kementerian Dalam Negeri RI. By bajaj again.
Oh Tidak, mulai dari satpam, sampai orang-orang ke dalam. Sangat
jauh berbeda dari menkeu dan menlu. Orang-orang disini seperti tidak menghargai
diri mereka sendiri. Gedung yang biasa saja, ditambah lagi dengan aroma rokok,
aroma tidak enak(maaf: bangkai dan ikan) seperti pasar. Sejauh mata memandang,
pegawai yang tersorot oleh mata saya hanya duduk-duduk dan ngobrol-ngobrol
sambil terus mengisap rokok di tangan mereka. Ada yang teriak-teriak, ada yang
benerin atap dengan berseragam. Pelayanan yang saya dapat pun tidak sesegan dan
sehormat ketika saya ada Kementerian sebelumnya. Saya seperti bola, dioper-oper
oleh pemainnya, trus pas udah mau nyampe gawang, saya ditendang ke luar
lapangan.
Saya sedih. Miris. Instansi penyelenggara negara ini sangat
memalukan. Saya pikir ini adalah secuil dari kegagalan pemerintah negara saya
tercinta ini. Oke. Instansi ini saya blacklist.
Hari sudah sore. Saya berjalan ke stasiun Djuanda, bersiap
menunggu kereta ke Depok. Waktu menunjukkan pukul 16.00, dan ini bertepatan
dengan jam pulang kerja. Saya harus siap mental lagi.
Saya menyusuri tepi jalan menuju stasiun tersebut, sebuah busway melintas, pemandangan itu lagi.
penumpang menumpuk di dalamnya.
Stasiun Djuanda. Sore hari.
Orang-orang berlarian ke loket agar jangan sampai
ketinggalan kereta.
Mereka yang berlari itu berparas usia paruh baya, tidak lagi
muda seperti saya. dengan usia segitu, pulang kerja pun harus mereka lalui
dengan berlari-lari.
Kereta saya datang pukul 17.33, itu artinya saya harus
menunggu satu setengah jam lagi.
Saya duduk di peron. Memperhatikan kereta dan orang yang
lalu lalang.
Muka mereka semua lusuh, lelah, termasuk saya.
Lelah dengan beban di kantor, belum lagi jika di rumah masih
banyak urusan. Perjalanan pulang pergi kerja seperti ini yang mereka lalui,
apabila mereka masih dapat bahagia, saya salut.
Kereta saya datang. Seperti biasa, saya pilih gerbong khusus
wanita.
Kereta sudah penuh, kali ini saya harus berdiri. Oke baiklah,
berdiri sampai Depok.
Pemandangan kali ini, banyak orang yang tertidur, dalam
keadaan berdiri sekalipun. Oh Tuhan, mereka pasti sangat lelah.
Semakin lama kereta semakin sumpek. Setengah tujuh malam
saya sampai stasiun pondok Cina.
Saya semakin berpikir, jika saya sudah kerja nanti, dan dapat
rezeki di Jakarta, apakah model hidup seperti ini juga yang akan saya alami
nanti.
Dulu, sebelum saya berangkat kuliah ke Jakarta, bibi saya
menitip pesan “kamu hati-hati di Jakarta, Jakarta itu kejam, individualis”.
Depok-Jakarta April 2011.