“kadang aku berpikir, dapatkah kita terus coba, mendayung perahu kita, menyatukan ingin kita.”
Tempat ini sudah lumayan
maju beberapa tahun terakhir,
tempat benda sebesar itu lalu lalang hilir mudik
bergantian keluar masuk.
Ramai. Baik manusia ataupun
barang.
Gemilang salah satu partikel
keramaian itu.
Duduk, di pojok tidak sehat
ini sembari memegang benda ini sambil membolak-balikkannya tidak jelas.
Tangan sedikit gemetar. Hanya
mata saja yang dipaksa untuk tidak bereaksi mengeluarkan butir-butir airnya.
Disini ramai.
Tapi bagi Oge, tempat ini
baru saja sepi.
Terus memandang ke langit,
berharap benda itu tiba-tiba terbang mundur.
Tapi, langitnya bersih,
biru. Mungkin sebiru hati Oge.
“sedang selalu saja, kilat yang kecil mengusik, bagai ombak yang besar goyahkan kaki kita”
Beberapa menit yang lalu,
Oge tidak sendiri seperti ini.
Tapi tetap dengan tangan yang gemetar dan hampir
yang berlinang.
Oge menahan diri.
Di depannya berdiri sesosok laki-laki yang
menjadi satu-satunya alas an mengapa Oge ada di tempat ini sekarang.
"Genggam tanganku jangan bimbang, tak usahlah lagi dikenang, naïf diri yang pernah datang, jadikan pelajaran sayang."
Oge bersama Adab. Beberapa menit
yang lalu.
Oge mungkin takut, setiap
berpisah dengan Adab, Oge seolah tidak siap jika seandainya ini menjadi
pertemuannya yang terakhir dengan Adab.
Keduanya masih berharap
pelangi itu masih ada setelah hujan ini.
"Dengar bisikanku Oh Dinda, coba lapangkan dada kita, terima aku apa adanya, jujur hati yang kita jaga."
"Bila gundahmu tak menghilang, hentikan dulu dayung kita."
Teruntukmu Adabku, selamat
menerjang lautan lagi, mari berlayar di kapal masing-masing.
Sesibuk apapun itu, seberapa
tahunpun itu, sekeras hantaman ombakpun, jangan sampai tenggelam.
Semoga kelak akhirnya di
titik penting pelabuhan layarmu, kita bisa bertemu.
Agustus,
2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar