Pagi ini tenang. Aku tidak
merasakan sedikitpun kegundahan di pagi ini. Bahkan aku sempat tersenyum
melihat matahari dan burung yang sudah lebih dulu tersenyum.
Aku menjalani rutinitas seperti biasanya. Hari ini akan
menjadi hari yang melelahkan, pikirku. Tiba aku disana, tempat rutinku. Dan aku
belum melihatnya hari ini.
Sudah menjelang siang, lamunku. Barulah aku mendengar kabar
tentangnya. Ternyata dia sedang berpakaian serba hitam hari ini. Baju hitam,
celana hitam, kacamata hitam, sepatu hitam, tas hitam, dan payung hitam.
Aku diam. Merenung.
Terbayang candanya dulu, terbayang tawanya dulu. Yang entah
kapan terakhir aku merasakannya sebelum ini. Lupa.
Aku? Keterlaluan. Tapi aku memang harus tetap dalam kondisi
aku yang ini. Tapi aku akan berdoa. Aku akan tetap berdoa bisa melihatnya hari
ini saja, Tuhan.
Sekarang, saat aku sedang menggoreskan tinta hitam ini,
sesekali aku memandangnya. Memandangnya dengan sungguh-sungguh, bukan
pura-pura.
Taukah dia jika aku sekarang sedang menulis tentangnya?
Aku menempuh rute yang jauh untuk bisa melihatnya hari ini. Bahkan
jalan uang kutempuh pun belum pernah ku lalui sebelumnya. Hanya untuk
melihatnya saja, hanya ingin berada dibawah satu payung hitam dengannya. Hari ini
saja.
Aku melihatnya, akhirnya.
Dari jauh hingga mendekat, hingga sangat dekat.
Kujabat tangannya, berbeda dari biasanya.
Tangan yang dingin, bukan seperti tangan yang hangat seperti
yang kurasa selama ini.
Aku tidak tersenyum. Justru dialah yang menyambutku dengan
senyuman.
Kulihat matanya, berbeda dari biasanya.
Mata yang sayu, mata yang lelah. Bukan seperti mata yang
tajam dan kuat seperti yang aku lihat selama ini.
Aku melihatnya dari jauh sekarang. Namun aku tetap berusaha
bisa mendengar suaranya dengan jelas.
Kudengar suaranya, tetap lembut namun lantang. Yang sedikit
berbeda adalah suaranya sedikit bergetar.
Tangan yang berbeda, mata yang berbeda, dan suara yang
berbeda.
Oh mungkin, karena dia sedang berpakaian serba hitam hari
ini.
Aku sedih tidak bisa berada di dekatnya. Tapi aku bersyukur.
Aku bersyukur aku bisa berada di dekat dengan sesuatu yang
membuatku merasa seolah-olah aku berada persis di dekatnya, bahkan bisa sampai
aku bisa merasakan menjadi bagian dari dirinya. Sangat dekat.
Dia, memang seperti dugaanku.
Dia baik. tidak hanya baik, tapi terbaik.
Dia menjunjung tinggi kaumku. Itu yang kudengar langsung
dari seseorang yang selama ini mengisi tahta “dewi” nya.
Pertama kali aku melihat dewinya. Sama dengannya. Lembut.
Mereka sama.
Dia dan dewinya yang disini.
Lalu dewaku yang disana.
Sama dengannya. Sama dengan mereka. Mereka sama. Baik.
tulus. Jujur.
Bahkan disaat semua sedang hitam begini. Baiknya, tulusnya,
dan jujurnya, justru aura itulah yang membangga.
Aku mengerti sekarang. Aku mengerti aku sekarang.
Ternyata mereka sama. Dan aku merindukan mereka berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar