Hujan di luar sudah turun selama dua jam.
Basah. Dingin.
Orang
bilang hujan turun karena awan sudah terlalu banyak menyerap uap panas
dari bumi.
Maka tak ayal jika siang hari terlalu panas maka orang sudah
berani membuat kesimpulan, "mungkin nanti malam akan hujan."
Aku melirik ponsel.
Namamu tertera di pemberitahuan 10 panggilan tak terjawab dan 3 pesan belum dibaca.
Aku tahu rasanya jika telepon kita ke orang lain tidak diangkat, atau pesan tidak dibalas.
Sebal, khawatir, bahkan marah.
Tapi tak ada yang tahu apa yang aku rasakan saat ini.
Lebih dari itu.
-----
"Minggu depan aku ke Bandung ya Bu, ada panggilan kerja." pelan-pelan aku bicara pada Ibu.
Ibu tak bergeming.
"Bu?"
Sambil meneruskan bacaannya ibu mulai bicara, "kamu apply kerja di Bandung juga?"
"Iya Bu, kan masih deket sama Jakarta, boleh ya Bu?"
"bilang sama ayah ya, ibu ikutin ayah aja."
Hmm, aku menghela nafas, sudah tahu jawaban apa yang akan diberi ayahku nanti.
Dan benar. Ayah tidak mengizinkan aku pergi.
Menurutnya, Bandung terlalu jauh.
Ah, aku yakin ada alasan lain.
-----
Aku pergi.
Aku
senang bisa menginjakkan kaki di tanah ini lagi.
Menginjak tanah yang
juga sedang kau injak.
Menghirup udara yang juga sedang kau hirup.
Menyentuh embun dengan suhu yang sama dengan embun yang ada di dedaunan depan kamarmu.
Aku senang menjadi sama denganmu.
Aku disini. Pekikku dalam hati.
"Hallo?" ah kau pasti baru bangun saat mengangkat telepon ini.
"Selamat pagi raja, baru bangun ya?"
"Iya,
jam berapa nih? Aku ga ada kuliah."
Aku tertawa dalam hati, hapal
persis jadwalmu dari hari ke hari, maka itu sengaja aku kesini
pagi-pagi sekali.
Aku tak sabar melihat si empunya suara, berhadapan denganku,
dengan wajah baru bangun tidurnya itu.
"Jam sembilan, buruan bangun, buka pintu kamarmu, kamu ketinggalan si cantik mentari segar hari ini, lho."
Aku
bisa merasakan jantung ini begitu berdetak kencang, yang memang selalu
begitu ketika akan bertemu dengan makhluk yang satu ini, makhluk lawan
jenis yang paling aku cintai sejak 8 tahun yang lalu.
-----
"kamu tuh yaa..."
"aku kenapa?"
"ga papa, cuma Tuhan yang tahu betapa aku bersyukur kamu ada disini sekarang." Katamu sambil menggenggam tanganku.
Hari ini indah.
Kau bawa aku ke tempat dimana aku bisa bertemu dengan sesuatu yang selalu aku rindukan selain dirimu sendiri.
Bisa
menatap ombak berdesir bersamamu, menginjak pasir yang lembut berdua
denganmu, saling memandang betapa jeleknya kakiku dan kakimu, merasakan
aroma parfummu yang sudah aku hafal dari dulu, memejamkan mata bersama
merasakan hembusan angin, menyaksikan mentari cantik kita terbenam di
ujung laut.
Demi Tuhan, aku bahagia hari ini.
Setelah berbagai
kerikil tajam yang aku dan kau lalui selama ini, dan entah berapa banyak
lagi batu-batu yang akan menghadang, aku pernah berjanji jika suatu
hari kau bawa aku ke tempat ini seharian, maka itulah hari yang paling
bahagia untukku.
Seperti hari ini.
------
Hujan belum berhenti.
Selama itu pula aku menahan bulir-bulir airmata, namun tak kuat.
Panas di dalam sudah terlalu panas. Meledak.
Aku meledak ditemani hujan malam ini.
Aku
tak tahu disebut apa ini.
Mendadak aku merasa seperti orang bodoh yang
terdampar di tengah sebuah gurun.
Tidak ada air, tidak ada pohon, tidak
ada apa-apa.
Yang ada hanya sebatang pohon kaktus.
Saking bodohnya,
karena mengira kaktus itu adalah tanaman yang mungkin bisa menyumbangkan
oksigen untuk aku bernafas, lalu aku memeluknya.
Semakin ku peluk,
semakin sakit yang kurasakan.
Aku marah. Entah siapa yang ingin aku marahi.
Mungkin kau, mungkin waktu, atau mungkin diri sendiri.
Aku menghilang. Terombang-ambing, entah kemana.
Kau ingin sekali dimengerti.
Kucoba mengerti. Tapi maaf, tak sedikitpun pengakuanmu yang memberi celah untuk ku mengerti.
Dimana perasaanmu?
Aku tak berbalik memintamu mengerti. Kau tak perlu repot.
Ternyata kau memang tak mengerti dari awal. Dari awal dulu sekali.
Tega.
----------
"Kapan pulang? Nak?" suara Ibu diujung telepon terdengar kecil karena beradu dengan hujan deras diluar.
"besok bu."
Aku tak sanggup berbicara banyak saat ini. Apalagi kepada Ibu.
"Bu, suaranya ga jelas, putus-putus Bu, nanti aku telepon lagi ya, Bu."
Aku meledak lagi.
Menyesal. Atas semua yang aku perjuangkan selama ini, untukmu.
Perjalanan panjang selama ini, dilalui dengan lelah dan peluh, airmata dan dosa, mati dijalan sebelum sampai dengan selamat.
Seharusnya dari dulu aku tahu bahwa perjalanan ini memang takkan pernah selamat.
"Ku tak ingin dengar ratapanmu, dan ku takkan lagi menyentuhmu, pergi dan jangan kembali, ku ingin sendiri..."Sayup-sayup suara lagu dari kamar sebelah terdengar.
Aku masih meledak, sama seperti hujan ini.
Ibu, besok aku pasti pulang.
Sebuah karangan, suatu hari di berjuta menit yang lalu.