pelangi..pelangi...

pelangi..pelangi..
alangkah indahmu..
merah..kuning..hijau..
dilangit yang biruuu...

pelukismu agung...
siapa gerangan...
pelangi..
pelangi..
ciptaan Tuhann...

Rabu, 04 Desember 2013

Kirana Ramadhani.

"Induuut! Siniiii! Kiki kangen deh, Indut lama banget ga kesini." pekik gadis perawakan kecil itu.
Rambut lurusnya terlihat kering beberapa hari ini.
Kerudung yang biasa menutupi mahkotanya selama ini terpaksa tidak lagi dikenakan karena selalu di sobek-sobek oleh si empunya kepala.
Tak jarang ia menjambak rambutnya sendiri, terlalu kuat hingga cakarnya melukai kulit kepalanya sendiri hingga lecet.

"kan indut kemarin kesini Ki! Kiki masa' lupa."
"Ah mana ada! Kiki kemarin kan lagi ke salon, kiki creambath, spa, luluran, kiki kan mau nikah nduuut, Mas Ari kan sudah janji mau jemput, tapi Mas Ari nya sudah kawin duluan ndut."
Indah tersenyum menyambut kata-kata kiki barusan sembari tangannya mengelus rambut sahabatnya dari kecil ini.

Gadis muda itu cantik, tak kalah cantik dari sahabatnya yang paling dia sayang dari dulu.
Sahabat yang selalu ia cari sebagai tempat ia berkeluh kesah, sahabat yang dulu mampu menenangkan setiap orang yang sedang dalam kondisi terpuruk dan sendiri.
Tapi Indah, harus menerima kenyataan bahwa sahabatnya kini berbeda, sakit dan tak berdaya. Bukan sesekali Indah tak mengenal Kiki yang sekarang.

"Om sudah datang daritadi?" Indah tiba-tiba memecah lamunanku.
"Iya Ndok, Om sudah datang dari pagi, hari ini Om mau menemani Kiki seharian." Batinku terpecah saat Indah menyapaku.

Kiki memanggilnya Indut, singkatan dari Indah gendut katanya.
Aku memanggilnya "Ndok" karena kepanjangan dari "Indok" plesetan dari nama aslinya.
Lama-lama intonasi yang sering keluar dari bibirku lebih mirip bahasa jawa yang artinya "nak".
dia memang sudah seperti anakku sendiri.
Indah tersenyum.

Aku tahu niat yang sama ada dalam hati Indah sekarang ini.
Kami datang karena kami teramat sayang pada Kiki.

"Induuuuut, kiki cantik kaaaan, baju pengantin kiki bagus kan? Kiki besok mau nikah nduuuut, Indut datang yaa." Ia berbicara sembari bergaya seperti pengantin, menganggap baju lusuhnya itu adalah gaun pengantin sungguhan.

Kirana Ramadhani.
Aku dan mendiang istriku sepakat memanggilnya Kiki.
Putriku satu-satunya.

Kini, usianya menginjak 23 tahun.
Bila diibaratkan dengan bunga, Kiki sama merekahnya dengan mawar merah muda yang ada di taman di tempat aku duduk sekarang, yang selalu aku pandangi setiap hari selama Kiki dirawat disini.
Kiki cantik, mirip sekali dengan ibunya.
Pernah aku tak kuasa membendung airmata ketika sedang memandang Kiki, kenangan akan Ibunya seketika datang.

"Hormaaaaaaat! Gerak!" Kiki mulai lagi bergerak memperagakan gaya bak seorang pemimpin upacara, sambil berlari ke tengah taman yang memang terdapat tiang bendera, tak peduli panasnya sengatan matahari yang berada tepat diatas kepala.

"Kii, jangan kesana nak, panas disana, sini duduk dekat Ayah dan Indok saja." aku sedikit meninggikan suara, bermaksud didengar dan dipahami Kiki.

Mendengar kalimat larangan itu, Kiki mendadak tertunduk, lesu.
Lalu menangis kencang, kencang sekali.
Rasa sesal mendadak menyerangku.
Kalau sudah begitu, maka bukan hanya suster, kami semua akan berjuang sekuat tenaga menenangkan Kiki. Iya, karena Kiki bukan hanya menangis, namun disertai ngamuk sana-sini, banting barang ini-itu.
Butuh waktu sekitar dua jam untuk menenangkan Kiki.
Biasanya Kiki bisa tenang ketika aku terpaksa harus mengeluarkan jurus yang paling malas aku lakukan, menangis.

Mendadak aku harus berakting menangis sambil diam menatap wajahnya.
Hal itu harus aku lakukan sampai ia menyadarinya dan balas menatapku.

"Ayah kenapa menangis? Jangan menangis Ayah, Kiki sayang sama Ayah."
Walau susah untuk menurunkan airmata itu namun ketika aku sampai pada titik benar-benar menatapnya dalam, sebenarnya aku tidak berakting, aku menangis sungguhan.
Mendengarnya berkata begitu, sejenak aku merasa anakku seperti sehat walafiat, tidak ada yang sakit sedikitpun dari jiwanya.

Sebenarnya aku tidak terlalu suka jika harus menangis, karena menurutku menangis itu gejala putus asa, pertanda menyerah, luapan lelah.

Lalu ketika aku menangis saat menatap Kiki,
aku tidak ingin putus asa,
aku tidak akan menyerah,
aku tidak akan pernah lelah.
aku akan selalu berjuang.

Sampai tidak ada lagi dunia untukku, hanya satu inginku, melihat Kiki sembuh.

Paviliun Nusa Indah, 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar