pelangi..pelangi...

pelangi..pelangi..
alangkah indahmu..
merah..kuning..hijau..
dilangit yang biruuu...

pelukismu agung...
siapa gerangan...
pelangi..
pelangi..
ciptaan Tuhann...

Jumat, 24 Januari 2014

Stop the drama.

"Sejak kapan kamu nontonnya film action terus?" ada yang nanya ke gue.
Sejak patah hati sepatah-patahnya.

Nonton film bergenre drama romantis tuh sekarang bikin badan gue alergi.
Mending nonton Papa Bruce Willis atau Daddy Tom Hank aja,
atau yayang Matt Damon atau baby gerard butler, lebih bikin hati berbunga-bunga.

Terakhir gue nonton film drama romantis ala-ala adalah pertengahan tahun lalu,
drama romantis Indonesia, yang main Afgan dan Maudy Ayunda.
 Perfect couple banget kan buat usia 17-an gitu.

Yup, guess what? Gue nontonnya emang bareng temen-temen baru gue yang baru aja lulus SMA.
Sebagai kakak tentor yang dianggap gaul oleh mereka,
dan agar bisa mempertahankan predikat itu,
maka gue harus rela ikutan nonton drama unyu-unyu cinta-cintaan gitu. Haha --"

Alhasil, gue harus menahan alergi kambuh di dalam sana selama hampir dua jam.

No more romantic love drama, please.
"Kenapa?"
"Cause relationship before married such a cat-syit. And now I can't stand anymore, so sorry."

Mending gue beruraian airmata karena What Massie Knew atau The Help,
Indonesian movie macam Malaikat Juga Tahu, atau korean film semacam Wedding dress yang sama sekali bukan tentang percintaan.

Capek mikir karena Lincoln dan The Pride and Prejudice juga ga masalah kok.

Teriak-teriak karena Insidious dan the conjuring juga sekarang lebih menarik.

Atau dibikin nyengir habis-habisan oleh The Heat atau Monster University was the best lah,
lumayan banget buat ga nambahin kerutan di dahi dan sehelai rambut putih di kepala.

Pak Tua dan Buk Muda

Di sebuah pasar tertua disini, di depan toko penjahit, gue memperhatikan sebuah percakapan antara Pak Tua dan Buk Muda.

(Dalam bahasa daerah)

P: "saya sudah daritadi berdiri disini, anda mau apa tidak?
B: "jangan 50 ribu deh, kemahalan, 40 ribu aja, wong cuma benerin kabel ini doang."
P: "Ga, 50 ribu."

Keduanya menggerutu ga jelas. Yang satu gerutunya matanya sambil ngeliat ke gue.

Gue cuma pelanggan jahit yang daritadi datang tak dijemput pulang tak diantar sejak 5 menitan yang lalu.
"Mba, mau jahit."
Keduanya lanjut menggerutu depan-depanan, ga jelas ngomong apa.

Krik.
"Mba?" Gue bersuara lagi.
Respon nihil.
Gue penasaran apakah gue sekarang punya invisible sense dengan badan segede gini.

"Jangan 50 deh, 40 aja."
"Ga, tetap 50, take it or leave it?"
"Saya baru dateng, ga punya uang segitu, bayar 40 dulu, 10 ribunya ngutang ya"
"Alah, ntar juga 10 ribu ujung-ujungnya ga mau bayar, 50 ribu, deal or no deal?"
Si Ibuk Muda ngelirik ke gue sambil bilang, "masa 40 ribu dia ga mau coba?"

Dih hidupnya ribet banget deh, mau ya mau, ga ya ga.
Pak Tua membereskan kabel-kabelnya dan beranjak pergi.

Gue, yang daritadi berdiri dan tidak mendapatkan sambutan ramah, memutuskan berlalu mencari tukang jahit lain yang kira-kira bakal seneng melihat gue dateng.

Ujian

Musibah itu selalu datang dengan tiba-tiba,
tidak ada yang tahu kapan ia datang, seperti apa wujudnya,
dan kenapa ia datang.

Saya mendengar kabar bahwa anak dari dosen saya meninggal dunia.
Usianya baru 7 bulan.
Ayah dan Ibunya adalah dosen saya semasa kuliah dulu,
dosen yang memberikan banyak kesan positif kepada mahasiswanya.

Beliau berdua adalah orang yang baik banget,
baik di kelas maupun diluar kelas, saya turut berduka cita atas meninggalnya anak pertama mereka ini.

Awalnya mereka adalah rekan kerja,
lalu ketika terdengar kabar mereka akan menikah,
saya jadi berpikir mereka merupakan jodoh yang pas banget,
sama-sama Insya Allah soleh dan soleha, sama-sama pinter, mau keluar negeri buat sekolah lagi,
ah such a perfect lah, even i know nobody's perfect.
Membayangkan mereka, yang terbayang adalah betapa sedihnya perasaan mereka sekarang.

Saya tidak bisa merasakan bagaimana sayangnya orangtua ke anak,
tapi saya bisa sedikit membayangkan ketika keponakan saya lahir.
Rasanya tuh sayaaaaang banget, ga pengen dia celaka,
pas lihat dia nangis rasanya tuh pengen bisa ngelakuin apa aja supaya dia ga sedih lagi,
pengen bisa kasih apa yang dia mau supaya dia bisa senang,
lihat dia susah makan rasanya sedih banget,
lihat dia sakit rasanya biar kita aja yang ngerasain sakitnya,
lihat dia kena marah rasanya kasihan banget.
Aa gitu deh, jadi tante aja begitu, kebayang kan kalo kita jadi orangtua.
Apalagi, kalo harus ditinggal pergi untuk selamanya?
dan di usia sekecil itu,  Ya Allah :'(

Pada akhirnya hanya kepada Sang Maha Pencipta-lah pasti sujud itu beradu.
Dia Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hambaNya.

Saya jadi kepikiran lagi, jadi orangtua aja sayangnya banget banget banget banget ke anak, apalagi sayangnya Allah ke kita.
Cuma satu kuncinya, Allah lah sebaik-baik penolong (QS.Ali'Imron:173).

Dosen saya tadi diberi cobaan sebegitu beratnya,
saya yakin Allah sedang menyiapkan "ruang kelas" yang lebih tinggi dan keren buat mereka,
karena ini ujian yang sulit dan Allah kasih ujian ini karena mereka adalah yang terpilih yang Allah anggap mampu untuk melewatinya.

Di sekolah aja kalo mau naik kelas dan lulus harus ujian dulu, apalagi hidup?

Seperti musibah banjir di beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini,
pernah sekali saya melihat cuplikan liputan berita,
seorang Ibu yang merupakan korban banjir bandang di Manado diwawancara,
beliau ditanya mengenai keadaannya sekarang.

Ibu itu menerangkan bahwa rumahnya hancur diterjang banjir bandang,
semua harta bendanya hanyut hilang entah kemana,
surat-surat berharga juga tidak sempat diselamatkan,
baju yang ia punya cuma baju yang ada dibadannya sekarang.
Dan beliau menerangkan kepada reporter dengan nada tenang dan dengan senyum santun yang ia tunjukkan depan reporter dan sorot kamera.
Tegar banget Ya Allah :')

Jadi malu sama diri sendiri yang setiap hari rasanya terlalu banyak mengeluh.
Listrik padam, ngeluh.
Apa kabar orang-orang korban banjir itu hidup di pengungsian dan beberapa hari ga ada listrik?

Motor pecah ban, ngeluh.
Apa kabar orang-orang diluar sana yang mencari nafkah dengan berjalan kaki seharian?

Kecopetan, ngeluh dan mencaci maki copetnya.
Apa kabar Ibu tadi saat semua hartanya lenyap tak bersisa?

Kerjaan numpuk di kantor, ngeluh lagi.
Apa kabar orang-orang diluar sana yang masih berjuang untuk mendapat pekerjaan?

Banyak tugas sekolah/kuliah, ngeluh.
Apa kabar anak-anak yang ga bisa lanjutin sekolah atau kuliah?

Makan di warteg ngomel-ngomel karena porsinya dikit banget, ngeluh.
Apa kabar orang yang boro-boro bisa makan di warteg, makan sehari sekali aja udah syukur.

Ah, terlalu banyak hal-hal sepele yang tanpa kita sadari kita keluhkan,
padahal banyak banget orang diluar sana yang ujian hidupnya lebih berat,
cerita hidupnya lebih miris, kondisi hidupnya lebih prihatin.
Tapi mereka masih bisa senyum, masih bisa memberi kebahagiaan ke orang yang lihat senyum mereka.

Satu yang sudah saya pelajarin dan mudah-mudahan bisa saya ingat dan amalkan terus, berhenti untuk dikit-dikit ngeluh, dikit-dikit gerutu, dikit-dikit merasa bahwa saya adalah makhluk paling merana di dunia.
Please, don't.
Mungkin apa yang kita alamin ini belum seberapanya penderitaan orang-orang di luar sana.
Mari ingat-ingat bersyukur.

Kata Marsha, nothing to lose.
Kata Tias, everythings happened always for reasons.
Kata Kak Nasya, there is a rainbow after hurricane if you know.
Kata Aunty Whitney and Mariah, there can be miracles if you believe.
Kata Mas Maher Zein, Insha Allah ada jalan.
Kata Bondan, everthings gonna be okay.
 
Me, Page 23 of 365.

Senin, 20 Januari 2014

Bye 13

Ritual tahunan ini selalu saya tulis agar bisa dibaca beberapa tahun lagi.
Rasanya baru kemarin meninggalkan 12, hari ini sudah bersiap meninggalkan 13.

Seperti yang dilakukan orang pada umumnya, pikiran mendadak kembali ke beberapa bulan yang lalu menanyakan kepada diri sendiri apa yang terjadi selama setahun ini.
Saya yakin, setiap orang selalu punya kisahnya masing-masing, selalu punya posisi rodanya masing-masing, selalu punya definisi tersendiri atas apa yang mereka anggap kebahagiaan maupun kesusahan.

Bagi saya, 13 itu rasa roller coaster, berjuta rasa.
Yang dihiasi dengan airmata sedih, airmata marah, airmata kecewa, airmata sesal, airmata khawatir, airmata haru, lalu kemudian Allah turunkan airmata bersyukur dan bahagia.
Ada banyak yang terjadi di 13, yang menemani saya perlahan mengerti tentang keikhlasan.
Ikhlas atas segala sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan, ikhlas untuk tidak mendapatkan semua apa yang saya mau.
Ya, ikhlas menerima kenyataan.

Moments dimana saya benar-benar mengerti cara Allah mencintai hambaNya.
Allah benar-benar Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Allah ajarkan hambaNya melalui peristiwa yang terjadi pada diri saya sendiri, keluarga, dan teman-teman.
Pada tahun 2013, saya banyak belajar, banyak sekali.

Bertemu banyak orang, juga berpisah dengan banyak orang.
Satu paket yang sampai kapanpun tidak akan pernah muncul sendiri-sendiri.
Allah benar-benar menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan.
Satu hal tidak akan berarti tanpa satu hal lainnya.

Akan ada bahagia setelah sedih.
Akan ada berhasil setelah gagal.
Akan tahu nikmatnya sehat setelah merasakan sakit.
Dan hanya ada satu yang pasti, yaitu ketidakpastian.

Apapun yang sudah dilewati di hari kemarin, pasti tidak ada alasan yang akan menghentikan kita untuk selalu berbuat baik kepada siapa saja, kepada orang yang pernah menyakiti sekalipun.
Selamat datang, 14.


Me, Page 365 of 365.

Senin, 06 Januari 2014

Joy.

What brought me joy yesterday?
Gue menyisir hari mencoba mencari momen indah yang ingin gue kenang di antara letupan letupan emosi kemarin hari.

It is not happy people who are thankful.
It is thankful people who are happy.
I guess joy is not a temporary high because I do something joyful.
It's a state of mind that makes me do things happily.

So how do I get to that state of mind?
Kata lady gaga, just dance.
Kata michelle branch, just breathe.
Kata forrest gump, just run.
Kata gue?

We are what we believe we are.



Me, first monday, first post in 2014.