Pantai. Saya tidak tahu dimana
itu. saya tidak tahu di pantai mana itu. setahu saya di kota kelahiran saya
tidak mempunyai suatu tempat yang bisa dinamakan pantai.
Festival. Saya tidak tahu
festival apa itu. festival tahun baru?, festival kembang api? Festival layang-layang
di tepi pantai? Ya mungkin saja, yang jelas saya melihat beberapa teman-teman
saya berkumul disana, ah entahlah sedang ada acara apa disana. Sejenak saya
bersyukur bisa ikut berada disana, yah, seolah-olah saya memang masih tinggal
di kota itu. saya rindu. Saya rindu akan moment-moment
besar yang diselenggarakan di tempat itu. ya, anggap saja mungkin acara itu
diadakan bertepatan dengan waktu liburan saya.
Ramai, tapi sepi. Itu yang saya
rasakan. Sedang apa saya disini? Saya mengenal banyak orang tapi saya malas
menyapa mereka. Bahkan beberapa orang disana saya kenal dengan sangat baik. Namun,
mereka semua hanya memandangi saya, saya seolah-olah cuma orang asing yang lagi
mampir kebetulan sedang ada acara disana.
Saya..
Sebenarnya sedang menanti seseorang,
tapi lama, dia tak kunjung datang.
Jika dia datang, saya sangat
yakin dia tidak akan membiarkan saya duduk sendirian disini, Cuma bisa
celingak-celinguk, hidup saya bisa lebih bahagia jika dia datang (mungkin).
Lama, ya sudahlah, dia tidak
datang.
Semua orang tertawa, semua orang
suka cita, semua orang berdansa.
Aku, bergaya ala lionardo diCaprio yang seolah-olah
sedang berdiri di tepi kapal, sambil memandang ke laut.
Saya bisa berdiri di balkon
sambil memandang keceriaan orang-orang di pantai itu.
Saya melihatnya, saya melihatnya,
bukan, bukan orang yang saya tunggu, tapi orang yang saya tidak tahu apakah
saya juga menunggu dia atau tidak, menunggu apakah dia akan menemani saya atau
tidak.
Dia melihat saya, tapi saya tahu
dia berpura-pura tidak melihat saya.
Ya sudahlah, setidaknya saya
sudah tahu jawabannya, berarti dia tidak akan menemani saya di keramaian ini.
saya lupa, teman-teman akrab saya
berada di kota sana, saya mulai berpikir menyesal mengapa saya bisa memutuskan
datang ke tempat ini.
Cuma memandangi orang-orang saja
kerja saya daritadi.
Sampai ada yang datang lagi. Kali
ini saya yakin bahwa saya sama sekali tidak menunggunya. Teman lama saya, teman
yang pernah akrab dengan saya dulu, teman yang juga sering menanyakan keadaan
saya ketika awal-awal saya pergi meninggalkan kota ini. Laki-laki. Teman belajar
saya pada saat itu, teman diskusi saya pada saat itu, saya selalu ingat ketika
saya berdua dengannya asik sekali mendiskusikan hasil perhitungan debet kredit
saya dan dia di mata pelajaran akuntansi. Iya, keahlian dan kehobiannya pada
akuntansi waktu itu, dia teruskan di bangku kuliah nya sekarang. Saya salut
kepadanya, gagal ditahun pertama, dia coba lagi di tahun kedua, dan berhasil. Dia,
yang sekarang menemani saya mengobrol di tengah keramaian. Lama sekali rasanya,
saya tidak pernah mengobrol dengannya sedekat ini lagi. saya bingung apa topik
selanjutnya, saya bertanya tentang kehidupan kampusnya. selanjutnya, dia begitu
diam. Entah kenapa saya baru sadar ternyata selama ini saya lebih memilih akrab
dengan laki-laki yang pendiam bukan yang banyak bicara.
Sampai malam, saya masih
bertanya-tanya acara apa itu sebenarnya.
Sampai saya dan dia memandang ke
arah laut dengan bebasnya. Saya masih berdua dengannya. saat menoleh ke arah
pantai dari arah balkon, saya melihat dia yang tadi, berjalan menyusuri pantai
sambil berpegangan tangan, dengan siapa? Saya memperhatikan wajahnya, saya
tidak kenal siapa itu, wajah baru, tapi nanti pasti akan saya cari tahu, pasti
!
lupakan wajah baru itu, saya
beralih ke wajah yang satunya, kenapa murung? Bukankah dia sedang berjalan
menyusuri pantai sambil berpegangan tangan? saya rasa itu adalah adegan romantis,
berarti ada yang salah dengan berpegangan tangan itu. saya melihatnya, dia juga
melihat saya, tapi gantian saya yang berpura-pura tidak melihatnya.
Kembali ke saya, saya begitu
dekat dengan dia yang tadi sejenak saya abaikan,
Giliran saya yang berjalan
menyusuri pantai dengannya, tapi tidak disertai dengan pegangan tangan.
Berbaring di pantai, memandang ke
arah langit, mendengar suara ombak di ujung laut sana, memandang bintang di
langit sana, saya sadar ternyata saya rindu akan dia.
Meskipun adegan tersebut menurut
saya juga adegan yang romantis, obrolan saya dan dia masih di jalur yang benar,
obrolan sahabat yang ternyata sudah lama
sekali tidak bertemu, saya senang, bisa berada dekat sekali dengannya, bahkan
tidak pernah sedekat ini ketika dekat diwaktu yang dulu itu.
Malam dingin, saya dan dia kembali
ke atas, atas mana itu? saya juga tidak tahu, tempat apa ini, yaa, anggap saja
villa di tepi pantai itu.
Malam larut. Saat semua orang
yang tadi bersenda gurau, yang tadi berdansa ria, yang tadi bercanda tawa,
sudah tidak ada lagi disana, kemana? Mungkin sudah pulang.
Cuma saya berdua dengan dia,
berdua saja, sambil berbaring mengarah jendela. Tetap mengobrol.
Saya yang tadi merasa menyesal
kenapa bisa datang ke tempat ini, justru menjadi orang terakhir yang berada di
tempat ini.
Tapi, saya merasa, ada orang
lain, tidak cuma saya berdua dengannya.
Insting saya benar, di belakang
saya masih ada manusia lain.
Dia yang tadi lagi!, kali ini dia
benar-benar murung, bajunya yang tadi saya lihat lengkap dengan cardigannya dan blouse yang dia pakai saat berjalan menyusuri pantai tadi, sekarang
dia hanya memakai kaos oblong sebagai dalaman dari cardigannya.
Dia memandang saya, saya rindu
padanya, saya ingin memeluknya, saya tahu dia (mungkin) lagi sedih, saya ingin
menawarkan pundak padanya. Tapi saya tidak melakukan apa-apa, saya menunggu dia
mengeluarkan sepatah atau dua patah kata.
“nina, sini deh, **** pengen cerita..” katanya.
Belum sempat saya jawab, dia lagi
“nina kenal samo ***** dak?”
Nama yang belum pernah akrab
ditelingaku sebelumnya, berarti saya tidak mengenalnya.
“idak ***, emang ngapo?”,
“jadi gini nin ceritonyo, **** akhir-akhir ini dimarahin bapak terus,
gara-gara…………”
“NIIIIINNN,, BANGUUNN…! Sholat subuh niiinn, udah jam setengah enaam!”
teriak iik.
saya terbangun, iya terbangun.
Saya mulai berpikir tentang
mereka tadi, apa artinya? Apa arti ini?
Apa yang ingin dia ceritakan
tadi? Terputus karena saya tiba-tiba ditarik ke dunia nyata, bukan dunia mimpi.
Dia yang satunya, mungkin saya
memang lagi rindu kepadanya, atau mungkin dia yang merindukan saya.
Sedangkan dia yang satunya lagi,
saya khawatir, saya yakin dia memang sedang sedih sekarang, saya tahu itu. tapi
saya tidak ingin bertanya apa-apa kepadanya, biarkan saja dia yang memutuskan
untuk membaginya kepada saya atau tidak.
Tapi saya ingin dia tahu, bahwa
saya selalu peduli terhadap apapun kondisi dia, saya selalu tidak peduli apakah
dia akan peduli di setiap kondisi saya.
Dia sedih, saya ingin membantu,
setidaknya bisa memahami seberapa dalam sedihnya dia.
Tapi, saya akan tetap diam. Tidak
akan berbuat apa-apa. Saya rasa itu lebih baik.