Sesaat sebelum aku menulis ini, aku baru saja selesai
berbincang dengannya. Masih. Masih kurasakan jantungku bergetar cepat tidak seperti biasanya saat berbicara
dengannya. Masih. Masih kurasakan kadang-kadang tanganku
menjadi dingin tak seperti
biasanya saat aku mendengarkan kata demi kata yang dia ucapkan padaku. Setiap apa yang dia berikan, sungguh tak ada lagi kekuatan
untuk memungkirinya, bahkan jika ada yang menyuruhku untuk segera menganggap
itu tak ada, maka dengan seribu maaf tanganku akan ku angkat tinggi pertanda
serahku. Pertanda tak sanggupku.
Entah sudah berapa banyak kata-katanya yang terlalu berharga
bagiku, entah sudah berapa banyak lagu yang dia nyanyikan untukku, walau bukan
lirik yang dia ciptakan sendiri, tetap terlalu berharga bagiku, entah sudah
berapa banyak kado-kado kecil yang mungkin hampir tidak bisa diterka materinya
yang dia berikan kepadaku, semuanya terlalu berharga bagiku,. Hingga aku hampir
gila seperti ini Tuhan.
Dulu, dia bukan siapa-siapa.
Aku, dia, kita. hanyalah anak yang sedang beranjak remaja,
yang saling merasakan nyaman karena naluri remaja yang sedang membara kata
orang. Sampai aku benar-benar tidak mengira bahwa aku harus melalui semua ini
dengannya.
Aku, dia, kita. Hanya ingin. Sudah kubilang tadi, hanya
bagian dari naluri seorang anak yang tumbuh remaja dimana rasa ingin tahunya
sedang menggebu-gebu. Seperti mereka yang sudah sedikit lebih tua dari kami.
Sampai aku merasa begitu ingin melihatnya setiap hari. Sampai aku merasa begitu
ingin bersamanya setiap hari. Sampai aku merasa begitu memikirkannya setiap
hari. Jantungku yang berdetak begitu cepat yang masih kurasakan hingga saat ini
mulai kurasakan sejak waktu itu. tingkahku yang salah-salah yang masih sering
kulakukan sampai saat ini sudah kurasakan sejak saat itu.
Aku, dia, kita. Merasakan hal yang sama. Hingga aku
merasakan betapa senangnya aku waktu itu. Tidak ada. Hanya kami mencoba tidak
membohongi diri kami sendiri.
Aku, dia, kita. Dua sosok yang saling tidak pernah satu,
mendadak berubah menjadi sosok yang sok lembut menurutku. Kami merasa canggung.
Tapi kami senang. Kami mungkin tidak menjadi diri kami sendiri pada waktu itu.
mungkin kami terjebak pada naluri remaja kami. Ah sudahlah, anggap saja begitu.
Aku senang, dia pun begitu (akunya).
Waktu 3 kali seminggu itu merupakan waktu
yang sangat ku nanti pada waktu itu. Waktu 3 kali seminggu merupakan waktu yang
sangat berharga bagiku pada saat itu. aku tidak ingin mengerti apa-apa pada
waktu itu, yang ku tahu aku ingin begitu melihatnya setiap hari. Aku
memikirkannya setiap hari. Belia usiaku. Apa terlalu belia? Pikirku. Mungkin juga.
Aku, dia, kita.Seperti itu saja. Seiring waktu terus
berjalan.Tidak terlalu banyak yang kuingat bagaimana kami dulu. Menunggu bus.
Kehujanan. Makan siomay. Sandal putus. Obrolan kami belum mengandung makna yang
terlalu berarti, hanya obrolan remaja. Dan kami belum mengenal istilah perbedaan.
Apalah itu. Beranjak sedikit dewasa. Aku benci menjadi tumbuh dewasa.
Dia pun begitu.Kami jauh.Aku mulai tidak mengerti apalah kami ini. Karena aku
pun mulai mengerti seperti apa kami. Aku mulai mengerti ternyata kami ini. Dia
pun begitu ku rasa.
Aku masih begitu ingin melihatnya setiap hari, jika tidak
bisa, dua hari sekali pun tak apa, jika tidak bisa tiga hari sekali pun tak
apa, jika masih tetap tidak bisa, seminggu sekali pun tak apa. Sebulan sekali pun
tak apa.
Aku. Dia, kita. Apa mungkin berbeda? Aku goyah. Mereka yang
aku ranahi berbeda dengannya. Aku sadar kami berbeda. Aku sadar kami hanya
bermain. Aku sadar kami tak bisa sama. Saat kami berdua sudah cukup pintar
untuk menyadari satu persatu perbedaan itu.
Aku, dia, kita. Benar-benar berbeda. Tidak sekedar aku yang
tidak terlalu suka makanan yang terlalu pedas, dia sebaliknya.Tidak sekedar dia
yang tidak terlalu suka hal-hal yang berbau pantai, aku sebaliknya.Tidak
sekedar aku yang tidak terlalu suka music jazz dan klasik, dia sebaliknya.Tidak
sekedar itu.Lebih banyak dari itu. dan kami belum tahu apakah hal-hal yang
lebih dari itu patut dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam
perbedaan kami berdua.
Topik pembicaraan kami begitu minim. Kami tidak seharmonis
dulu saat aku dan dia belum cukup dewasa untuk mengerti semuanya. Aku merasa
bukan siapa-siapa. Aku merasa tidak padanya.Aku bosan. Aku Jenuh. Mungkin juga
dirinya.
Pagi, siang, sore, malam. Aku ingin setiap hari ada sosok
yang mengingatkan ku akan Mu. Aku ingin itu dia. Tapi bukan. Dambaku bisa
merayakan kemenanganku setahun sekali itu dengannya. Tapi tidak. Itulah fatalnya.
Dan aku baru sadar itu, Tuhan.
Saat jenuhku. Saat bosanku. Tapi jujur, rinduku selalu
miliknya.
Jika waktu itu aku harus ditanya setiap detik tentang siapa
seseorang yang paling aku rindukan? Maka namanya selalu bergema di dalam hati
ku. Seminggu, dua minggu, tiga minggu, tidak jua bertemu. Aku menyudahi. Sudah.
Tangisku hanya untuknya saat itu. Sebulan. Dua bulan. Tiga bulan. Aku dan dia ternyata masih
terpaut rindu yang sama. Tuhan, aku benar-benar tidak bisa berpikir. Aku benar-benar
tidak bisa berserah. Kau tahu, Tuhan? Betapa bahagianya aku saat itu saat aku
mengetahui bahwa rindunya juga untukku.
Aku, dia, kembali. Sesaat bahagia memang. Aku dan dia tidak
lagi anak kecil, naluri remaja yang dimiliki tinggal sedikit lagi. Mulai saat itulah, aku benar-benar yakin bahwa mungkin memang
saat itulah aku dikaruniai anugerah yang kebanyakan orang menyebutnya anugrah
paling indah sedunia. Sayang yang aku punya, mungkin salah jika kukatakan tak
terhingga untuknya. Tapi tidak juga sedikit. Sudahlah. Aku bosan menjawab untuk
setiap pertanyaan mengapa. Kami tak memburuk. Kami hanya tak nyaman dengan
perbedaan itu. benar-benar tak nyaman.
Hingga giliran dia yang menyudahi. Kali ini sungguh lama. Kau
tahu, Tuhan? Aku yakin Kau tahu, bagaimana aku melewati dua tahun yang lebih
itu dengan menahan rasa perihku. Aku rindu padanya. Sampai aku yakin Kau benar-benar ingin
memisahkan aku dengannya. Semua hilang.
Namun, ternyata hari-hari masih bisa kulalui. Dunia belum
berakhir ternyata.
Jika rindu sudah terlalu memuncak, aku hanya bisa menangis. Jika
rindu sudah terlalu menumpuk, aku hanya bisa memanggilnya dalam hati. Ya
sudahlah, itu hari-hari terburuk. Namun, Tuhan tetap baik. aku hanya
menyayangkan satu tahap penting dalam hidupku dan hidupnya tidak bisa kami bagi
satu sama lain.
Sampai Tuhan, mungkin rindu kami yang masih terpaut lagi.
Saat aku sudah sangat terbiasa menyambut rindu yang datang dengan tanpa
kuberikan suguhan apapun. Ternyata, Tuhan lah yang menyiapkan suguhan itu. Sampai dia
kembali. Kami pun kembali. Ah, entahlah berapa banyak aral yang datang. Tak
banyak kata aku untuk menutur lagi.
Kini, aku dan dia bukanlah remaja yang baru akan menginjak
masa ingin tahu yang besar. Aku sekarang sudah sedikit lebih tahu Tuhan.
Kini, aku dan dia tidak seharusnya menjadi pribadi yang
masih bisa menggantungkan mimpi kami Tuhan.
Kami punya jalan, tentu jalan yang telah Engkau tetapkan.
Hanya satu Tuhan, aku pinta untuknya, jika kami memang
Engkau hendaki untuk bersama, maka tunjukkan Tuhan, tunjukkan bagaimana Tuhan,
tuntun kami Tuhan.
Namun, jika tidak Tuhan, maka jangan Kau biarkan kami
seperti mendamba matahari terik di tengah musim hujan ini Tuhan. Tunjukkan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar