pelangi..pelangi...

pelangi..pelangi..
alangkah indahmu..
merah..kuning..hijau..
dilangit yang biruuu...

pelukismu agung...
siapa gerangan...
pelangi..
pelangi..
ciptaan Tuhann...

Kamis, 27 Januari 2011

aku, dia, kita


Sesaat sebelum aku menulis ini, aku baru saja selesai berbincang dengannya. Masih. Masih kurasakan jantungku bergetar  cepat tidak seperti biasanya saat berbicara dengannya. Masih. Masih kurasakan kadang-kadang  tanganku  menjadi  dingin tak seperti biasanya saat aku mendengarkan kata demi kata yang dia ucapkan padaku. Setiap apa yang dia berikan, sungguh tak ada lagi kekuatan untuk memungkirinya, bahkan jika ada yang menyuruhku untuk segera menganggap itu tak ada, maka dengan seribu maaf tanganku akan ku angkat tinggi pertanda serahku. Pertanda tak sanggupku.

Entah sudah berapa banyak kata-katanya yang terlalu berharga bagiku, entah sudah berapa banyak lagu yang dia nyanyikan untukku, walau bukan lirik yang dia ciptakan sendiri, tetap terlalu berharga bagiku, entah sudah berapa banyak kado-kado kecil yang mungkin hampir tidak bisa diterka materinya yang dia berikan kepadaku, semuanya terlalu berharga bagiku,. Hingga aku hampir gila seperti ini Tuhan.
Dulu, dia bukan siapa-siapa.

Aku, dia, kita. hanyalah anak yang sedang beranjak remaja, yang saling merasakan nyaman karena naluri remaja yang sedang membara kata orang. Sampai aku benar-benar tidak mengira bahwa aku harus melalui semua ini dengannya.
Aku, dia, kita. Hanya ingin. Sudah kubilang tadi, hanya bagian dari naluri seorang anak yang tumbuh remaja dimana rasa ingin tahunya sedang menggebu-gebu. Seperti mereka yang sudah sedikit lebih tua dari kami. Sampai aku merasa begitu ingin melihatnya setiap hari. Sampai aku merasa begitu ingin bersamanya setiap hari. Sampai aku merasa begitu memikirkannya setiap hari. Jantungku yang berdetak begitu cepat yang masih kurasakan hingga saat ini mulai kurasakan sejak waktu itu. tingkahku yang salah-salah yang masih sering kulakukan sampai saat ini sudah kurasakan sejak saat itu.

Aku, dia, kita. Merasakan hal yang sama. Hingga aku merasakan betapa senangnya aku waktu itu. Tidak ada. Hanya kami mencoba tidak membohongi diri kami sendiri.
Aku, dia, kita. Dua sosok yang saling tidak pernah satu, mendadak berubah menjadi sosok yang sok lembut menurutku. Kami merasa canggung. Tapi kami senang. Kami mungkin tidak menjadi diri kami sendiri pada waktu itu. mungkin kami terjebak pada naluri remaja kami. Ah sudahlah, anggap saja begitu. Aku senang, dia pun begitu (akunya). 

Waktu 3 kali seminggu itu merupakan waktu yang sangat ku nanti pada waktu itu. Waktu 3 kali seminggu merupakan waktu yang sangat berharga bagiku pada saat itu. aku tidak ingin mengerti apa-apa pada waktu itu, yang ku tahu aku ingin begitu melihatnya setiap hari. Aku memikirkannya setiap hari. Belia usiaku. Apa terlalu belia? Pikirku. Mungkin juga.

Aku, dia, kita.Seperti itu saja. Seiring waktu terus berjalan.Tidak terlalu banyak yang kuingat bagaimana kami dulu. Menunggu bus. Kehujanan. Makan siomay. Sandal putus. Obrolan kami belum mengandung makna yang terlalu berarti, hanya obrolan remaja. Dan kami belum mengenal istilah perbedaan. Apalah itu. Beranjak sedikit dewasa. Aku benci menjadi tumbuh dewasa. Dia pun begitu.Kami jauh.Aku mulai tidak mengerti apalah kami ini. Karena aku pun mulai mengerti seperti apa kami. Aku mulai mengerti ternyata kami ini. Dia pun begitu ku rasa.

Aku masih begitu ingin melihatnya setiap hari, jika tidak bisa, dua hari sekali pun tak apa, jika tidak bisa tiga hari sekali pun tak apa, jika masih tetap tidak bisa, seminggu sekali pun tak apa. Sebulan sekali pun tak apa.

Aku. Dia, kita. Apa mungkin berbeda? Aku goyah. Mereka yang aku ranahi berbeda dengannya. Aku sadar kami berbeda. Aku sadar kami hanya bermain. Aku sadar kami tak bisa sama. Saat kami berdua sudah cukup pintar untuk menyadari satu persatu perbedaan itu.

Aku, dia, kita. Benar-benar berbeda. Tidak sekedar aku yang tidak terlalu suka makanan yang terlalu pedas, dia sebaliknya.Tidak sekedar dia yang tidak terlalu suka hal-hal yang berbau pantai, aku sebaliknya.Tidak sekedar aku yang tidak terlalu suka music jazz dan klasik, dia sebaliknya.Tidak sekedar itu.Lebih banyak dari itu. dan kami belum tahu apakah hal-hal yang lebih dari itu patut dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam perbedaan kami berdua.

Topik pembicaraan kami begitu minim. Kami tidak seharmonis dulu saat aku dan dia belum cukup dewasa untuk mengerti semuanya. Aku merasa bukan siapa-siapa. Aku merasa tidak padanya.Aku bosan. Aku Jenuh. Mungkin juga dirinya.

Pagi, siang, sore, malam. Aku ingin setiap hari ada sosok yang mengingatkan ku akan Mu. Aku ingin itu dia. Tapi bukan. Dambaku bisa merayakan kemenanganku setahun sekali itu dengannya. Tapi tidak. Itulah fatalnya. Dan aku baru sadar itu, Tuhan.

Saat jenuhku. Saat bosanku. Tapi jujur, rinduku selalu miliknya.
Jika waktu itu aku harus ditanya setiap detik tentang siapa seseorang yang paling aku rindukan? Maka namanya selalu bergema di dalam hati ku. Seminggu, dua minggu, tiga minggu, tidak jua bertemu. Aku menyudahi. Sudah. Tangisku hanya untuknya saat itu. Sebulan. Dua bulan. Tiga bulan. Aku dan dia ternyata masih terpaut rindu yang sama. Tuhan, aku benar-benar tidak bisa berpikir. Aku benar-benar tidak bisa berserah. Kau tahu, Tuhan? Betapa bahagianya aku saat itu saat aku mengetahui bahwa rindunya juga untukku.

Aku, dia, kembali. Sesaat bahagia memang. Aku dan dia tidak lagi anak kecil, naluri remaja yang dimiliki tinggal sedikit lagi. Mulai saat itulah, aku benar-benar yakin bahwa mungkin memang saat itulah aku dikaruniai anugerah yang kebanyakan orang menyebutnya anugrah paling indah sedunia. Sayang yang aku punya, mungkin salah jika kukatakan tak terhingga untuknya. Tapi tidak juga sedikit. Sudahlah. Aku bosan menjawab untuk setiap pertanyaan mengapa. Kami tak memburuk. Kami hanya tak nyaman dengan perbedaan itu. benar-benar tak nyaman.

Hingga giliran dia yang menyudahi. Kali ini sungguh lama. Kau tahu, Tuhan? Aku yakin Kau tahu, bagaimana aku melewati dua tahun yang lebih itu dengan menahan rasa perihku. Aku rindu padanya.  Sampai aku yakin Kau benar-benar ingin memisahkan aku dengannya. Semua hilang.

Namun, ternyata hari-hari masih bisa kulalui. Dunia belum berakhir ternyata.
Jika rindu sudah terlalu memuncak, aku hanya bisa menangis. Jika rindu sudah terlalu menumpuk, aku hanya bisa memanggilnya dalam hati. Ya sudahlah, itu hari-hari terburuk. Namun, Tuhan tetap baik. aku hanya menyayangkan satu tahap penting dalam hidupku dan hidupnya tidak bisa kami bagi satu sama lain.

Sampai Tuhan, mungkin rindu kami yang masih terpaut lagi. Saat aku sudah sangat terbiasa menyambut rindu yang datang dengan tanpa kuberikan suguhan apapun. Ternyata, Tuhan lah yang menyiapkan suguhan itu. Sampai dia kembali. Kami pun kembali. Ah, entahlah berapa banyak aral yang datang. Tak banyak kata aku untuk menutur lagi.

Kini, aku dan dia bukanlah remaja yang baru akan menginjak masa ingin tahu yang besar. Aku sekarang sudah sedikit lebih tahu Tuhan.
Kini, aku dan dia tidak seharusnya menjadi pribadi yang masih bisa menggantungkan mimpi kami Tuhan.
Kami punya jalan, tentu jalan yang telah Engkau tetapkan.
Hanya satu Tuhan, aku pinta untuknya, jika kami memang Engkau hendaki untuk bersama, maka tunjukkan Tuhan, tunjukkan bagaimana Tuhan, tuntun kami Tuhan.
Namun, jika tidak Tuhan, maka jangan Kau biarkan kami seperti mendamba matahari terik di tengah musim hujan ini Tuhan. Tunjukkan Tuhan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar