pelangi..pelangi...

pelangi..pelangi..
alangkah indahmu..
merah..kuning..hijau..
dilangit yang biruuu...

pelukismu agung...
siapa gerangan...
pelangi..
pelangi..
ciptaan Tuhann...

Jumat, 30 November 2012

hati, siapa yang tahu?

Saya sedang dalam perjalanan menuju rumah ketika saya menulis ini.
Sore yang dingin.

Dari balik jendela kecil ini, 
saya menatap lekat-lekat ke jalanan yang basah, dijatuhi rintik-rintik hujan yang sedari tadi belum reda.

Karena terlalu lama berada di rumah beberapa bulan ini, 
membuat saya menikmati kesibukan ini, 
yang akhirnya lumayan bisa me-refresh otak dengan pikiran-pikiran baru, orang-orang baru, dan tempat-tempat baru.

Karena pada dasarnya sepertinya saya diciptakan sebagai salah satu manusia yang mellow, mudah merasa tersentuh tapi juga mudah merasa tersakiti,
tidak selamanya menguntungkan.
Diluar masih gerimis, lagu yang diputar di mobil juga lagu yang mendayu-dayu.
Sesungguhnya adalah inspirasi dari tulisan ini.

Hari ini, saya belajar sesuatu lagi.
Lagi-lagi yang menarik bagi saya adalah seputar hati, seputar perasaan.
Bagi saya, bicara hati dan perasaan tidak melulu bicara cinta, tapi juga bicara tentang hidup, ya karena cinta adalah bagian dari hidup bukan? Bagian yang penting bukan?

Hati. Selalu rumit kalau mikirin elemen yang satu ini.
Hati orang siapa yang tahu? Iya, memang siapa yang tahu?
Pemilik hati itu sendiri pun mungkin kadang-kadang tidak mengerti tentang hatinya sendiri.

Hari ini saya bertemu dengan perempuan.
Kesan pertama saya melihat perempuan ini, menurut saya dia cantik, almost perfect phisicly. Dari caranya berbicara, sepertinya dia wanita yang kuat, tegar dan mandiri.
Perempuan ini terlihat gigih dalam bekerja. Terlihat dari gerak-geriknya selama saya disini, dan terbukti juga jabatan penting yang sudah dia miliki saat ini.

Waktu pulang sudah tiba. Tapi karena hujan belum juga berhenti, sebagian orang masih menunggu untuk stay diruangan ini, termasuk saya.
Sebagian orang sudah menunggu dibawah, sebagian kecil lebih suka menunggu disini, termasuk saya dan perempuan ini.

Dari jauh, saya tidak sengaja melihat perempuan itu berdiri dekat jendela, memegang secangkir teh atau kopi yang masih hangat, terlihat dari asap kecil dari mulut cangkir.

Perempuan itu tersenyum memandang hujan.
Perempuan itu berusia 32 tahun. Lulusan S1 dan S2 dari perguruan tinggi tersohor di kota Jogjakarta.
Dari sekian banyak info yang sudah menyebar hingga ke telinga saya, info yang paling menarik adalah bahwa beliau belum menikah dan juga tak terlihat gelagat bahwa beliau punya pacar.
            “belum pulang, Nin?” tiba-tiba beliau sudah duduk disamping saya.

                        “belum Mba, masih nunggu yang jemput Mba”

            “oh, kamu dijemput toh, siapa yang jemput? Pacar ya?”

                        “hmm, bukan Mba, papa saya yang jemput” saya nyengir malu-malu.

“oh, biasanya usia segini kan bukan papa lagi yang jemput, tapi pacar, kamu punya pacar ga?

Sebenarnya saya tidak mau ada yang nanya begitu sama saya, karena saya sudah lupa sepertinya akan definisi suatu pacar itu apa.

Akhirnya cuma haha-hehe aja ditanyain gitu.

            “kok cuma senyum aja, complicated ya? Aku ngerti kok."

                        “aku ga punya pacar Mba, hehe”

“masa? Udah 21 tahun ga punya pacar? Emang di kampus ga nemu? Atau baru putus ya?”

Hmm. Saya merasa ada unsur kekepoan dibalik obrolan ini. 
Saya kan pengennya ngepoin beliau, kenapa jadi saya yang dikepoin?

Belum sempat dijawab, beliau udah ngomong lagi,  

             “pacaran lama-lama juga ntar ujungnya ga nikah mah percuma kan, mending            langsung nikah aja, Nin.”

Mendengar beliau ngomong begitu, otak saya jadi kayak ngirimin radar tentang apa aja yang saya pikirin tadi pas sebelum beliau tiba-tiba ngajak ngobrol.

“Mba sendiri, punya pacar?”

Epph..
Entah apa karena saya bego, entah apa karena hormone saya sedang tinggi, sehingga otak sudah tidak bisa menyortir kata-kata mana yang pantas dikeluarin saat ini, dan mana yang tidak.
Sampai keluarlah pertanyaan lancing itu dari mulut saya.
Arrgh.
Beliau terlihat kaget. Banget.

“info-info tentang saya sudah nyampe ke kamu ya?”
 
Tuh kan fix salah nanya.

“pacaran tanpa tujuan nikah itu, sama aja kayak jalan tanpa tujuan, sama aja kayak kita kerja nih, tapi ga berharap dapet duit, percuma.” 

Perempuan ini melanjutkan perkataannya sebelum dia menengguk kopi hangat yang sedari tadi ia pegang.

Saya diam. Don’t know what to do, don’t know what to say, exactly.

            “papa kamu udah datang belum?”

                        “belum mba..”

            “tau darimana kalo aku belum nikah?”

                        “ tadi sempet ngobrol-ngobrol di produksi mba”

            “aku dulu pernah punya pacar, satu kampus, tapi dia cina”

                        “ ohh…….”

Saya bingung mau jawab apa lagi.

“udah janji mau nikah tuh, orangtua aku sama orang tua dia oke-oke aja awalnya, eh ga taunya pas beneran bilang serius mau nikah, orangtuanya ternyata ga suka sama aku, tau sendiri kan cina”

                        “ jadi akhrinya Mba?”

            “ya ga jadi, eh, belum jadi”

                        “hmm, jadi masih cari yang cocok ya Mba?”   

saya mencoba menanggapi dengan biasa. Padahal hormon kepo dalam tubuh lagi membara banget nih. 

Buat aku, menikah bukan nyari kecocokan, tapi mencari kebahagiaan.”

            “ iya Mba, ……………”

Awalnya saya kira ini obrolan biasa, tapi mengapa mbak nya langsung ke topik nikah-nikah gini ya, mungkin mau curcol kali ya mbaknya.

“kalo cocok, tapi ga cinta ya ga bisa ya Mbak, kalo cinta tapi ga cocok ga bisa juga ya Mbak, jadi harus cocok dan cinta, hehe” ngomong apa sih saya nih.

“karena dulu aku sama dia udah janji mau nikah dan bahagia bareng, buat aku janji adalah hutang. Harus ditepatin kecuali kalau udah keburu meninggal”

Saya berdoa dalam hati supaya papa saya jangan dulu datang. 
Dan selesai berdoa dalam hati, seketika itu juga papa sampai.

Saya pamit ke perempuan ini, sambil berharap salah satu dari kami ada yang bilang “ntar kita lanjut lagi ya ceritanya.”
Tapi nihil.

Hujan semakin deras ternyata.
Obrolan tanggung yang terjadi tidak sengaja tadi lah yang bikin saya melamun sepanjang jalan.
Membuat saya mengambil kesimpulan sendiri.
Mungkinkah? Beliau belum menikah berarti bukan karena dia pemilih, bukan karena ga ada yang mau, tapi karena dia menunggu.
Menunggu waktu hingga janji itu bisa ditepati.
Menunggu sampai kebahagiaan datang. 

Ukuran kebahagiaan memang relatif, tergantung siapa yang merasakan.

Terlepas dari penyebab waktu itu terlalu lama, yang jelas hingga usia yang sudah terlalu matang untuk membina rumah tangga, beliau masih setia menunggu.
Hati seseorang siapa yang tahu kan?
Pacarannya sama yang ini, tapi hatinya ternyata sama yang itu, menikahnya sama yang ini, tapi hatinya ternyata ada sama yang lain.
Itu bodoh, tapi nyata.

Hati manusia siapa yang tahu, kan?

Ahh, malam nanti sepertinya akan dingin, hujan masih setia mengalirkan rindu-rindu dan rezeki-rezeki yang telah lama dinanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar