Jakarta malam ini.
Nafas bisa lega saat pesawat ini bisa mendarat dengan mulus di lapangan
berkode CGK ini.
Setelah satu jam berada di ambang kepasrahan. Karena sejujurnya saya takut
naik pesawat. Takut pesawatnya jatuh, lebih ke takut mati mungkin. Hmm. Mungkin
ga mau mati dengan cara seperti itu lebih tepatnya.
Jakarta.
Sedang mendung.
Hari menjelang malam ketika saya menginjakkan kaki saya di shelter bus yang
akan membawa saya ke Depok.
Tidak perlu menunggu lama.
Berniat duduk di dekat jendela, karena lagi ingin menikmati
jalanan-malam-gerimis ini.
Biar kerasa romantisnya. Romantis ga harus dirasain
berdua kan?
Niat hanyalah niat, ga akan pernah terwujud apabila tidak ada kesempatan dan
tidak ada restu Tuhan tentunya. Apa sih.
Niat ber-romantis ria berubah menjadi mantengin curcolan mas-mas sebelah
yang abis ketinggalan pesawatnya ke Batam trus dia harus beli tiket lagi yang
harganya diatas 1 juta. Kasian.
Pukul 20.30
Pohon-pohon besar diluar bergoyang kencang.
Anginnya kencang sekali.
Terlihat orang-orang yang baru keluar dari kantor gedung-gedung bertingkat itu,
ada yang terlihat lusuh, ada yang terlihat masih rapi, ada yang berekspresi
kaget karena mungkin tidak menyangka cuaca akan berubah.
Karena diluar hujan sudah mulai turun.
Ada yang buru-buru membuka payung, ada yang buru-buru mencari tempat
berteduh.
Para pengendara motor pun segera menepi buru-buru mengenakan jas
hujan mereka.
Saya. Dengan seksama memperhatikan mereka.
Beginilah ibukota. Jakarta. Malam hari.
Baru mau keluar kantor jam segini.
Bahkan ada yang keluar kantor diatas jam
9 malam.
Kasian yang punya anak.
Anaknya belum bangun, orangtuanya sudah pergi.
Orangtuanya baru pulang, anaknya sudah tidur.
Jalanan Jakarta tidak pernah sepi (kecuali Idul Fitri).
Saya pernah berpikir, bagaimana seandainya saya ditakdirkan untuk tinggal
disini. Bergabung dengan mereka.
Entahlah. Biarlah menjadi kejutan dari Tuhan.
Yang saya tahu, saya merindukan Jakarta.
Jakarta yang selalu sibuk, Jakarta yang tidak pernah sepi.
Jakarta yang
punya cerita. Jakarta yang punya hati.
Siapa yang mengira kalau saya merindukannya?
Iya. Saya rindu Jakarta.
Sebesar rindu saya kepada orang-orang tersayang
yang ada di kota ini.
Jakarta hujan deras.
Menjadi cerita perjalanan saya menuju Depok mala mini.
Perjalanan ingin memeluk Jakarta, sambil berkata dalam hati, ah Jakarta,
betapa aku merindukanmu.
November 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar