pelangi..pelangi...

pelangi..pelangi..
alangkah indahmu..
merah..kuning..hijau..
dilangit yang biruuu...

pelukismu agung...
siapa gerangan...
pelangi..
pelangi..
ciptaan Tuhann...

Minggu, 16 Maret 2014

(T)urun (T)angan

Email turun tangan selalu masuk setidaknya dua hari sekali.
Dan gue masih urun angan.
Cuma rajin baca-baca tweet di TLnya dan TL buzzernya plus review pencitraan aja di website pribadinya.

Semoga ga salah makan deh kali ini.

"Siapa sih dia?" tanya Mama sambil metikin kangkung.

Iya juga sih.
Dari berjuta orang Indonesia, Sebagian orang awam yang tau dia kayaknya cuma anak muda doang.
Dan itu juga ga semua anak muda. Boro-boro tau sepak terjangnya selama ini, tau orangnya aja engga.

"Emangnya dia itu udah ngapain?" kali ini Papa yang nanya.

Pas gue liatin 2 buku yang lumayan tebal buat menunjukkan apa yang udah dia perjuangkan selama ini, Papa cuma angguk-angguk semu.
Tuh kan. Masih kurang populer.

Tapi dua buku itu lumayan bikin gue semangat ngajar seharian tahun lalu.
Uniknya, buku itu juga yang bikin gue semangat buat resign.

Sejak kapan ya? Pas SBY kepilih lagi, pokoknya gue berjanji ga akan pernah golput seumur hidup gue.

Berhubung Papa ga punya hak pilih, gue cuma bilang "Pokoknya Pa, karena dia, puluhan mahasiswa super duper keren lebih milih dikirim ke pedalaman Indonesia daripada cinta mati sama waktu yang bisa mereka gunakan untuk dapet gaji besar dari perusahaan-perusahaan bonafit yang sudah duduk manis siap menjaring mereka."

Papa cuma mengernyitkan dahinya.

"Kalo jagoan Papa sih cuma Prabowo." kata Papa sambil ngutak-ngatik remote TV.
Giliran gue yang mengernyitkan dahi.

"Karena Indonesia sekarang ini tuh butuh orang keras dan pemberani kayak Prabowo!" kata Papa mirip orang orasi.

Gue peduli banget sama negeri ini. Gue optimis sama bangsa ini.
Tapi media sosial tuh sekarang ngeri banget. Banyak ranjau.

Pokoknya mau sekaya apapun bos-bos berita kebanjiran rezeki di 2014,
Dan mau siapapun RI 1 nanti, gue tetap dukung Brazil yang menang di world cup.

Kemudian Jokowi pun nyapres. Duh.

Virus Merah Jambu

"Kamu mau ga jadi pacar aku?" gimana bahasa aku, Mba?, tanya seorang lelaki ababil yang ngaku belum pernah pacaran ke gue.
Sekalinya naksir cewek, waktunya ga pas banget. Uh dasar waktu.

Aduuuuh, please. Itu bahasa SMP banget. 
Sebenarnya SMP sangat tidak dibolehkan untuk  pacaran. Bahaya.

"Kamu pengen banget pacaran ya?" tanya gue.
"Ga pengen sih Mba, takutnya ganggu jam belajar aku nanti. Tapi sekarang malah ga konsen belajar karna kepikiran dia trus."

Otak tiba-tiba memaksa gue ke memori beberapa tahunan lalu.

Masuk SMA, gue ikutan rohis.
Pengukuhan semaleman kerjaannya mengaji, dengerin tausiyah dan ceramah, nonton film jihad-jihad gitu, dzikir setiap saat, muhasabah, sholat malam, ngaji lagi, sholat lagi. Setiap pagi ngajinya di mushola. Setiap istirahat sempet rajin Dhuha. Setiap Jumat aktif ngikutin kegiatan. Setiap Sabtu Liqo.
Waktu itu rasanya tuh Lillahi ta'ala banget, semoga.

Setiap ngumpul dan diskusi, trending topicnya selalu tentang virus merah jambu.
Hati hati terkena virus merah jambu ya akhi wa ukhti.
Hmm, gue? Mungkin waktu itu menganggap merah jambu bukanlah sebuah virus tapi vitamin. Mungkin ya. Mendadak amnesia.

Tak lama, gue menemukan kenyataan bahwa ketua rohis dan ketua akhwatnya ternyata pacaran.
Iya. Siapa pacarnya ketua rohis? Ketua akhwat. Siapa pacarnya ketua akhwat? Ketua rohis.
Oke, dan gue semakin ga ngerti.

Masuk kuliah, gue semakin tak beranjak dari tak mengerti, atau lebih ke ga mau mengerti kali ya.
Lingkungannya juga manis asem asin banget.
Gue tetep lumayan aktif di FPI, eh maksudnya FSI (forum studi islam: lembaga dakwah fakultas) supaya pergaulan tetap terjaga.

Virus merah jambu ga lagi jadi trending topic.
Lebih ke perjuangan berdakwah. Tapi berhubung gue berada di divisi yang kerjaannya mengabdi ke masyarakat dan fokus kegiatan sosial, jadi tergolong kurang gaul untuk topik obrolan di dalam sana.

Sekali lagi, seiring aktivitas ala ala mahasiswa yang sok sibuk, gue semakin tenggelam, tanpa benar-benar mengerti apa bahaya virus tersebut.
Udah tau mataharinya keren, tapi gue masih gegayaan pake kacamata item. Menutup mata gue yang semakin sipit karena jarang "melek".

Seiring berjalannya waktu, gue akhirnya mengerti.
Wait, lagi-lagi yang jawab adalah waktu.
And you'll never ever understand until it happen to you.  Am i right?
Sekarang, di ujung umur 22, dan di ujung kepunahan virusnya, gue ditanya seorang ababil gimana cara yang baik buat minta seseorang biar mau jadi pacarnya.

"Mending lo mikirin UN dan ITB deh, bersabar tunggu 4 tahunan lagi (waktu lagi kan, kenapa lagi-lagi waktu). Lulus dan on the way to be Bos Pertamina, langsung tawarin jadi istri aja." jawab gue sambil mengibas jilbab.

Tapi, 4 tahun lagi udah 26 ya.
Ya sudahlah biarlah waktu lagi yang jawab. Semoga kali ini gue benar-benar mengerti.

Selasa, 11 Maret 2014

Re-post dulu aaaah~~

"Jika kau tidak bisa menjadi pacar yang baik, maka jadilah mantan yang baik. Terimakasih untuk tidak mengganggu." -Katanya Surya Pratama, teman di facebook.
Re-post dulu aaaaah~~

Selfie yuuuks.

Pertama kali dengar keributan The Act of Killing, gue penasaran.
Sejak ga tau kapan, minat terhadap sejarah meningkat. 
Padahal dulu zaman SMA paling males belajar sejarah. 

Sekarang, sadar ga sadar, beberapa buku baru yang dibeli selalu beraroma sejarah.
Following di account twitter yang baru juga perlahan berisi "orang-orang" sejarah. 
Lebih pantas buat difollow.

Entah ini kemajuan atau malah gejala ketidakgaulan, sekarang udah jarang banget ngemol. 
Sekalinya niat ngemol, cuma buat nyari film based on history.

The Act Of Killing gak menang Oscar.
Dan Indonesia kembali damai. 
Rakyatnya kembali sibuk mengupload selfie di twitter, path, instagram, facebook, bla bla bla. 
Japan has Line. China has WeChat. Korea has Kakao Talk. USA has Whatsapp. 
Indonesians have all the time to use them. No time to watch a losing film tentang sejarah kita sendiri.

Padahal The Act Of Killing adalah selfie kita. 
Hanya angle-nya kita anggap gak bagus, jadi kita delete dan lupakan. Ga akan pernah masuk timeline kita.
Yang disimpan di timeline yang angle-nya bagus-bagus aja. 
Biar anak cucu dan Mark Zuckerberg hanya bisa mengakses yang terbaik dari kita.

We hate that part of ourself. 
So we try to ignore it even though we know it's there. 
We spend our lifetime berusaha mengupload hanya the good angle of our face.

No wonder.

Sabtu, 01 Maret 2014

Wanita dan Panggilannya #SaveRisma

"Saya sudah bilang sama keluarga saya. Kalau saya sampai mati, gak boleh ada keluarga saya yang menuntut," katanya menceritakan keputusan kontroversialnya menutup Dolly.

Pertama kali gue dengar kalau walikota berjilbab ini ingin menutup tempat prostitusi, yang terbayang adalah kisah seorang wanita self righteous yang suka berbenah taman dan menganggap PSK - PSK hanyalah another hama yang perlu dibasmi agar Surabaya menjadi kota yang indah.

Tapi menyaksikan wawancaranya hari ini yang dipenuhi air mata, she is either a very good actress or a very good major.
And I don't think she's that good of an actress.
Dia tidak articulate. Banyak kata-katanya yang tidak menjelaskan keputusannya dengan jelas.

"Saya gak tega, Mbak," jawabnya ketika diminta melanjutkan kisah anak-anak SMA yang dijadikan PSK. Tapi ekspresinya menjelaskan semuanya kenapa dia belum juga mundur jadi walikota padahal banyak yang menekannya.
Dia kasihan dengan anak-anak SMA yang dijual jadi PSK, pelacur  yang umur 60 masih melacur, dan anak SD para pelanggan si nenek.
"Anak saya kadang saya gak urus. Tapi saya percaya kalau saya ngurusin Surabaya, anak saya pasti diurus Tuhan," katanya.
Karena mengurus Surabaya dia percayai adalah panggilan Tuhan.

Walaupun dia terlihat terbeban, beruntunglah dia karena panggilannya disertai 150-an penghargaan nasional/internasional, satu jam di talkshow TV nasional yang re-run berkali-kali, dan trending topic twitter ber-tag #saveRisma.

"Menurut survey, anda dianggap sebagai saingan nomor satu Jokowi dalam bursa calon presiden," kata si pembawa acara.
"Kok panggilan dibikin lomba toh, Mbak? Wong itu berat lho ngurusin masyarakat. Kok malah dilomba-lomba," katanya polos sambil bersedia dibelah dadanya kalau si mbak gak percaya dia gak mau jadi presiden.
"Saya tahu siapa saya. Saya gak punya apa-apa. Gak punya kepinteran. Gak punya kekayaan. Ya segini aja porsi saya," katanya.

Gue yakin memang dia tidak akan jadi gubernur atau presiden.
Tapi gue menghormati dia. Tak lebih rendah dari gubernur atau presiden manapun.

Tapi Gubernur kece di ibukota dulu bilangnya ga akan pergi ke Jakarta, "saya nih wong Solo, ya di Solo aja lah."
"You have to know who you are. What you are worth and never settle for less," gue pernah baca di tumblr.
Siapa gue? Apa panggilan gue?

Melihat si emak-emak walikota ini, mungkin percaya diri sebenarnya tidak dibutuhkan untuk menjawab panggilan.
Hanya perlu percaya.

Hati oh Hati

Hati oh Hati
Dalemnya sedalem lubuk samudra yang paling dalem, ga ada yang sanggup nyelem.
Hati oh Hati.

Dahulu, Kemarin, Hari ini

Dahulu sekali, mereka selalu datang kesini berdua.
Hanya duduk. Memperhatikan yang lalu lalang.

Kemarin, salah satu hanya datang sendiri. Hanya duduk. Memperhatikan yang lalu lalang.

Hari ini, salah satu hanya datang sendiri. Hanya duduk. Memperhatikan yang lalu lalang.

Demi Allah, aku mencintaimu.

Aku sungguh tak peduli seberapa kencang balutan alami yang ada di tubuhmu sekarang.
Pun, seberapa kering peluhmu.
Seberapa lirih suaramu.
Seberapa tangguh lagi belulang itu menopangmu.
Seberapa banyak helai putih di mahkotamu.

Kenapa tak jua aku sadar saat petuah demi petuah itu terus kau sampaikan.
Kenapa tak jua aku belajar untuk berulang kali ajaranmu.
Kenapa tak jua aku selalu berterimakasih atas semua pengorbananmu.

Yang tetap tersenyum menyambut kecut air mukaku.
Yang tetap merendah tatkala aku meninggi.

Berusaha selalu ada, bahkan di kondisi tak ada mu.
Berjuang selalu bisa, bahkan di kondisi tak bisa mu.

Menyebut nama ini dalam setiap munajat malam mu.
Membenarkan selimut ini dalam setiap dingin malam mu.
Mengelus kening ini dalam jaga mu.
Menatap wajah ini dalam lelah harimu.
Melindungi raga ini yang bahkan lebih kuat dari ragamu.

Air matamu jatuh saat suka duka ku.
Sakitku, lebih sakit bagimu.
Bahagiaku, itulah jua kebahagiaan dirimu.

Dirimu selalu ada saat aku tak perlu mencari.
Dirimu tak pernah berhenti memberi saat aku tak perlu meminta.

Bagaimanapun aku, cintamu lah yang tulus untukku selamanya.
Tak terhingga khilafku padamu, sungguh aku mohon maaf.

Demi Allah, aku sangat mencintaimu.
Demi Allah, aku sangat mencintaimu.

New Era

Saya pernah berpikir suatu hari ga akan ada lagi manusia yang akan kita lihat sedang berjalan kaki di pinggir jalan karena trotoar udah berganti jadi eskalator.
Temen kuliah dulu juga pernah berpikir bahwa suatu hari manusia bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bahkan yang jauh sekalipun, hanya dengan memejamkan mata.

Otak saya ga mampu berkhayal sejauh itu.
Hanya sampai batas kalau suatu saat langit tidak lagi indah, langit akan bernasib seperti Jalan Sudirman, macet dan berpolusi.
Puluhan tahun lalu Bill Gate pernah dikira gila karena bilang suatu hari komputer bisa ditarok di dalam tas dan bisa dibawa kemana-mana. Zaman itu ukuran komputer lebih besar dari ukuran kamar kita saat ini.

Tahun lalu, saya juga pernah ikutan nyengir ketika Elbisker bilang kalo suatu hari kita ga lagi stres cari parkiran mobil di Palembang Square karena mobil yang kita bawa akan bisa kita lipat dan kita tarok dalam kantong.
Nobody knows.

Have you ever watch "Robots?" Film yang menggambarkan zaman dimana yang pergi ke pasar bukan lagi pembantu tapi robot.
I mean, akan ada sebuah zaman dimana di setiap rumah akan melihara minimal satu kucing pintar semacam doraemon?
Atau yang agak sudah bisa diterima oleh akal yang pas-pasan ini, pernah nonton "HER"? Film tahun 2013 ini bercerita tentang kehidupan yang.....akan ada sebuah sistem operasi komputer cerdas, yang bisa kita tentuin jenis kelaminnya, yang bisa ngomong dan diajak ngomong, yang punya perasaan, bahkan bisa kita pacarin!
Iya, How can a guy/girl dating or make a relationship with an operating system?

Ga ngerti lagi deh.
Semoga saya ga masuk golongan konservatif kalo masih punya nyawa di zaman itu.
Tapi, sebaiknya mati aja ga sih daripada hidup di zaman begitu? Banyak godaannya.
Asal udah tobat aja sih hehe

Tulus itu Sederhana

Saya bersemangat hari ini karena akan mengunjungi sahabat-sahabat lama, setelah sekitar satu tahun tidak bertemu.
Akan banyak cerita seru yang akan Tuhan beri, termasuk cerita teguran untuk tidak berbahagia berlebihan di hari ini.

Sekitar pukul 10.00, saya mendarat di bandara tersibuk di Indonesia. Saya memang sudah terbiasa pergi sendirian begini.
Tanpa berlama-lama, saya langsung memesan taksi, kemudian meluncur ke kota yang penuh dengan kenangan itu, Depok.
Karena sudah ada janji sama teman, saya mampir ke salah satu cafe di kawasan lenteng agung untuk makan siang.
Ga ada saat-saat yang lebih mengasyikkan di banding saat-saat bertemu teman lama ya.
Saking asiknya, pas mau ninggalin cafe, tanpa sadar dompet kecil saya ketinggalan.
Dompetnya berisi handphone buluk tapi gitu-gitu saya sayaaaaaaaang banget, ada juga uang 200 ribu serta recehan puluhan ribu yang saya siapin buat ongkos dari airport ke depok, dan ada tiket boarding pass atas nama saya.

Dari lenteng, saya mau ke Margo City, naik taxi lagi.
Pas udah mau nyampe margo, begitu mau siapin duit taxi, barulah sadar kalo dompet itu ga ada di tangan.
Saya mencoba untuk tenang, kemudian mencoba menghubungi HP yg ada didompet tadi dengan HP saya satunya.
Berhubung bunyinya saya set paling kencang, tapi sama sekali ga kedengaran dari dalam taxi. Oke, fix ilang nih, pikir saya.

Saya coba hubungin lagi, ternyata ada yang ngangkat.
Yang ngangkat adalah orang yang nemu. Orangnya baik banget.
Dan dia bersedia nungguin saya puter balik ke cafe buat ngambil dompet.
Walaupun Margo- Lenteng ga terlalu jauh, tapi situasinya waktu itu Sabtu menjelang sore, dimana orang-orang berduyun2 keluar rumah buat malam mingguan (baca: macet) jadi akan makan waktu lama kalo harus puter balik.

Ternyata dia juga udah hubungin Mama yang nomornya dia dapet dari nama di kontak, yang ujung2nya bikin panik mama yg ada di palembang, dikira anaknya dijambret lah, diculik lah, hahaa krik.
Yang nemu ternyata anak sekolahan. Anak SMP.

Saya bersyukur banget Ya Allah yang nemu adalah orang baik-baik, we all know kan manusia jaman sekarang gimana.
Coba kalo yang nemu orang yang punya niat buruk, lenyaplah dompet beserta isinya tadi.
Kejadian seperti ini bisa aja terjadi pada semua orang. Dan saya patut bersyukur karena dompet serta isinya masih jadi rezeki saya.

Waktu HPnya belum ketemu, saya buru-buru istighfar sama Allah, ditegur mungkin karena kurang sedekah.
Dan ternyata Allah juga ngasih tau kalau masih ada orang yang baik, sebaik penemu barang saya dan mau menyimpannya sampai barangnya kembali ke saya.
Baik karena ia memang ingin berbuat baik, bukan karena alasan lain, dan dengan niat tulus dan ikhlas.

Pas saya ambil dompetnya, saya mau ngasih uang 20 ribu, niatnya emang mau ngasih buat dia jajan, tapi dia menolak sambil bilang, " Ga usah kak, aku niatnya tulus kok."
Ya Allah, rasanya pengen melototin diri sendiri dan bilang "Nin, ga semua hal bisa lo hargain pake uang!"

Orang tulus itu sederhana,
orang yang mau memberi tanpa kita minta, orang yang mau memberi tanpa harus diberi.
Setulus anak SMP tadi.

Punya Anak

Suatu hari, saya pengen banget punya buku.
Pengen mencium aroma kertas baru yang sering kita rasakan saat membuka buku baru, lalu melihat ada nama saya di bagian tengah halaman, biasanya bagian itu tertera nama penulisnya.
Isinya ga mau yang berat kok, cerita-cerita sederhana aja, cerita yang inspirasinya didapat dari pengalaman sendiri, keluarga dan teman bahkan kita semua alami di kehidupan sehari-hari, tapi bisa memberi inspirasi.

Bahkan, nama untuk "anak-anak" ini sudah saya siapkan hehe.
Doakan saja bisa secepatnya lahir.
Menulis itu susah, apalagi bisa memunculkan cerita semacam Sherlock Holmes dan Supernova, ga kebayang prosesnya gimana.
Hufffff. Dont know what to write anymore~~. Yang baca tolong Aminin ya hehe.

Dering

Handphone berdering di minggu malam.
Ada panggilan dari nomor yang (sudah) tak tersimpan di kontak, tapi gue tahu siapa itu, karena otak gue udah keburu gesit buat mengingat empunya.
I'm okay while I've been through for those thousand years, but i have to accept the fact that my heart still beats so fast when look at number.

Angkat...Ga...Angkat...Ga...Angkat...Ga...
Believe or not, gue menghitung bunga-bunga kecil yang menghiasi sarung bantal untuk mengetahui apa yang akan gue lakukan dengan deringan itu.
Bunga terakhir bilangnya ga.
Okay, gue menarik nafas dalam. Hampir sesak karena lama gue hembuskan lagi.
_________


Sepuluh menit terakhir gue lega. No more deringan. Sampai lo denger deringan pertanda email masuk yang bunyi.
Ga juga lega sampai lo liat ternyata email yang masuk barusan bukan kiriman dari JobsCDC, Mindtalk, LinkedIn Scholarship Bank, bahkan bukan juga dari si Lina dan Si Jarno yang rajin ngirimin gue email tiap hari.
Tunggu sampai lo....... Ah si pengirim emang pandai menulis, pantes dulu gue jatuh cinta.
Mendadak, gue ga pengen berterimakasih pada Ray Tomlinson. Gue benci media sosial dunia maya, gue benci. Karena seringkali memaksa gue untuk tahu hal-hal yang sebenarnya gak pengen gue tahu. Gak pengen.
Gue benci kenapa Slank pernah ciptain lagu I miss you but I hate you. Kenapa judul lagunya ga dibikin jadi I hate you so I don't miss you aja.

Hello Monday morning, yaaah ada mata sembab jelek di cermin.

The Great Gatsby

Lo udah pernah nonton The Great Gatsby?" tanyanya.
"Baca novelnya udah. Kenapa?"
"Nggak. Cewenya mirip dia. Gak bisa milih mau cowo yang mana."
Gue gak bilang kalau gue belum selesai baca novelnya. Di tengah novel, Daisy masih bilang kalau cintanya hanya Gatsby. Masih ngajak Gatsby lari bersama. Masih bilang andaikan Gatsby selalu ada di sisinya.
Mana gue tahu ternyata di akhir film si Daisy juga cinta suaminya. Mana gue tahu ternyata di akhir film Daisy gak menikahi Gatsby karena dulu Gatsby penniless. Mana gue tahu kalau akhirnya Daisy memilih suaminya dan terlalu penakut untuk ngasih tahu pilihannya ke Gatsby.
Gatsby ditinggal menunggui telepon yang gak pernah berdering. Sekalinya berdering, bukan dari Daisy.
Gatsby oh Gatsby... Ganteng ganteng kok delusional. Gak bisa lihat kalau Daisy lebih cinta kesejahteraan daripada segalanya.

Gatsby is a man of hope. His vision brought him to his American Dream. His vision is so clear, his belief is so strong, he can't see that Daisy is just a coward who is used to live in the other side of the river where all the Old Money are.

Gue menangisi Gatsby yang tampan dan kaya raya, mengambang di kolam renang impiannya yang airnya berubah merah. Dia baru 32.

Kalau saja dia mau melupakan Daisy dan move on, hidup sampai 65, seperti Jep di The Great Beauty, dia pasti akan bahagia hidup dari party ke party berganti-ganti wanita dan tetap menjadi The Great Gatsby.

Tapi nggak. Setelah berbagai macam wanita, Jep masih penasaran kenapa Elisa meninggalkannya 48 tahun yang lalu.

Mungkin Elisa hanya mau hidup aman bersama suami yang bisa jadi a good companion. Kayak Daisy.

Tak ada gunanya menyalahkan Elisa. Atau Daisy. We all did what we did to survive.

"No need to feel superior. You are 53, with a shattered life, just like we all here. You should see us with affection. Just look at each other's face, keep each other's company, joke a little..."

Gue tersenyum memandangi Jep menjalani Roma.
Di kanan kiri semua  jenis ugly, but somehow it feels beautiful in the movie.

Mungkin sudah waktunya memaafkan dan terus berjalan. Air mata hanya mengaburkan the great beauty di kanan dan kiri.

"Do you know why I eat only roots?" kata si nenek ala Mother Teresa pada Jep.

"Because roots are important."

Penting tapi tidak terlihat, hanya diam-diam di dalam tanah.
Tidak berusaha memamerkan keindahannya.
Biarlah buah yang kebagian dikagumi. Sudah terlalu banyak The Great di muka bumi ini.

"You can't repeat the past." kata Nick ke Jay.