pelangi..pelangi...

pelangi..pelangi..
alangkah indahmu..
merah..kuning..hijau..
dilangit yang biruuu...

pelukismu agung...
siapa gerangan...
pelangi..
pelangi..
ciptaan Tuhann...

Minggu, 13 April 2014

Jendela

Sayup-sayup simfoni cicak di dinding bait terakhir karya sang penulis terdengar mengalun di dalam sana.
Sedang diluar sana, suara alam nyaris tidak ada yang terdengar.
Ia hanya memandangi satu.
Kemudian dua, dan sepertinya ada tiga.
Terbang dan berkicau bergantian. Sesekali berbarengan.

Sejak kapan mereka betah ada disini?
Ada banyak pohon diluar sana, pohon rindang dengan ranting kokoh, daun lebat penyuplai oksigen penyambung hidup, dengan angin yang setia mengayun mereka, meneduhkan.

Apa gerangan mereka lebih memilih berada disini?

Tunggu, mereka ternyata tidak selamanya.

Mereka hanya singgah, melihat belahan dunia, terbang lagi, singgah lagi, terbang, lalu singgah.

Disini bukan tempat mereka kembali, disanalah tempat mereka kembali.
Bukan disini,

Di sebuah jendela.

Katanya dan katanya

"Buat aku, pintar tuh seksi. Dan kamu, seksi."
seorang laki-laki lajang hampir berkepala 5 pernah bilang itu padanya. Berita bawah tanah yang beredar adalah bahwa dia gay.

"kamu tuh cerdas, aku senang deh sama perempuan cerdas."
seorang pria 30an beristri dan beranak satu, pernah bilang itu padanya.

"pantes aja kamu sedikit arogan, emang high mind."
kata seorang pria cerdas 20an yang belum lulus kuliah karena emang ga niat kuliah dari awal.

Nobody knows kenapa pria-pria non idaman itu bilang itu padanya. Ketiganya bertaraf lokal.

"kita berdua tuh sama, yang beda adalah versi raga kita dan kitab suci kita, ya ga bisa nikah."
kata pria 20an yg baru aja lulus kuliah yang bercita-cita jadi penyidik KPK.

"ih pikiran kita kok sama ya. Kalo lo laki mungkin kita bisa kawin kali ya."
kata perempuan 20an pencinta alam dan penyayang binatang.

"Kenapa ya kita nyambung banget? Mungkin karena sama-sama berdarah B ya."
kata perempuan hampir 20 tahun, juara umum di SMA dan calon sarjana ekonomi.

No wonder salah duanya bilang begitu karena sudah eksis di hidupnya sejak ia masih belasan tahun. Ketiganya bertaraf roaming.

Katanya, ia masih begitu bertanya-tanya kenapa cintanya begitu besar pada yang sangat bukan siapa-siapa.
Bukti bahwa cinta itu ada karena biasa, belum ia dapatkan.

Kemudian, ia menghela nafas dan melanjutkan doa dalam syahdunya dan derasnya hujan di Jumat ini.

Karunia



Kertas yang berserakan diatas meja seperti biasa, menyuguhkan pemandangan yang menggambarkan situasi kerjanya saat ini. Beberapa presentasi klien dan laporan para rekanan sudah jadi makanan pokok sehari-hari baginya. Itulah pundi-pundi yang akan mengantarkan penyuplai nutrisi dan energi guna menyambung hidup. El menghela nafas sebentar, menyandarkan diri ke kursi yang sepertinya sudah ia duduki seharian ini. Dari balik jendela, El melihat Tisha duduk dipinggir kolam renang. Berhadapan dengan bentangan kain blancu diatas papan, disanggah dengan kayu berflitur kecoklatan. Minggu sore seperti ini masih dihabiskan El di meja kerja. Berbeda dengan Tisha, yang memang selalu berada disana sore hari. Setia dengan senar-senar atau kain putih favoritnya. Tisha sedang tersenyum sendiri saat El diam-diam memandangnya dari balik jendela. Tak lama ia mulai mengayunkan kaki di kolam renang.
Setiap kali ia memandang Tisha, Farah selalu datang tanpa permisi, mengendap-endap ke dalam pikiran El. Hingga hari ini, El tidak pernah dapat melewati satu hari tanpa merindukan Farah. Kolam renang itu hadiah untuknya. Iya, Farah sangat menyukai air, dalam gelas, dalam akuarium, diatas daun sehabis hujan, bahkan ia akan tersenyum sumringah saat melihat air di selokan depan rumah mengalir dengan lancar, "selamat jalan ke taman karunia..." katanya. Sudah hampir 10 tahun, ia masih terbelenggu dan belum bisa berdamai dengan diri sendiri. Bahkan, memandang Tisha pun semakin membuat hatinya perih. Farah....Ia kembali memanggilnya dalam hati, begitu tebal rindu itu, begitu lirih...
____________
"Silahkan, Pak." Farah menaruh segelas cocktail. Biasanya pelanggan akan menunjukkan mata binar karena mengetahui pesanan mereka tiba, kali ini  pelanggannya hanya mengangguk lesu, tanpa tatap, apalagi kata. Farah bersiap berlalu sebelum di langkah ketiga ia berhenti kemudian menoleh perlahan. Seperti ada yang memanggil. Sambil terdiam memegang nampan kaca bermotif angsa, hampir saja seperempat gajinya bulan ini habis karena harus mengganti nampan cantik nan mahal itu. Farah terhentak saat benda itu hampir jatuh. Masih memandangi pelanggannya, seorang pria dengan air muka kecut. Terlalu kecut untuk berada di Beach Lounge De Opera The Bay Bali dengan latar pantai seindah itu. Seperti ada sesuatu, Farah selalu ahli mengidentifikasi rasa yang berbeda setiap kali melihat sesuatu. Farah seperti turut merasakan sakitnya.  Aku bisa merasakannya, sakit di dadanya, perih di hatinya...
_____________
Gelas dengan lekukan indah itu seperti lelah menunggu. Setengah jam sejak perempuan tadi menaruhnya di meja, ia hanya diam begitu saja. Diam-diam ia berandai tidak berada disini sekarang. Ia menghela nafas, sedikit memperbaiki posisi duduk yang lunglai lebih mirip orang yang sedang patah hati. Memang. Baru saja ia menerima pesan dari Luna, kekasihnya selama satu tahun ini. Tiga bulan belakangan kebersamaan mereka hanya dihabiskan untuk beradu mulut. Sampai pada hari ini, Luna memutuskan untuk berhenti, menyudahi semuanya. Ia memandangi benda biru mengalir berbentuk raksasa berjumlah tak terhingga itu, Ia menangis tanpa isak dan air mata. Ia hanya ingin memandang birunya laut yang mungkin sedang kalah biru dengan patahan-patahan rasa dibalik tulang dadanya. “Ah, sepantas itukah pantai seindah ini aku gunakan untuk meranakan Luna." ia kemudian bergumam sendiri. Setelahnya, ia hanya membagi tawa keras kepada alam. Tawa semu.
________________
"Tisha bilang ia mau ke pantai, Kak." papar Mery ketika El menanyakan kabar Tisha hari ini. Setelah berkutak dengan pekerjaan seabrek setiap hari, sepulangnya ia tak pernah lupa menanyakan kabar Tisha kepada Mery, yang setia menemani Tisha setiap hari. Apa yang dilakukan Tisha, yang dibutuhkan dan diinginkan Tisha, tidaklah sulit bagi El untuk menghadirkan semuanya. Uangnya masih terlalu banyak untuk meladeni dan menghadirkan semua kemauan Tisha. Sampai pada ketika El mendengar keinginan yang satu ini, El seolah seperti terasa sesak dan sulit bernafas. Tisha pernah menyampaikannya sendiri dari sebulan yang lalu. Sore hari saat Tisha sedang asyik menarik kesana sini kuas kecilnya di atas kanvas favoritnya, saat itulah Tisha meminta Mery meninggalkannya sendirian, berdua saja dengan kanvas dan cat warna warni tercintanya. Tapi kali ini, El ada disampingnya, hanya duduk dan memandangi Tisha. Ia tahu Tisha selalu ingin sendirian saat melukis, dan El tidak ingin menjadi pengganggu.
"Ayah....." Suara Tisha mengejutkan El.
" Kok Tisha tahu Ayah ada disini?"
Tisha tersenyum.
"Ada seseorang yang beri tahu Tisha kalau Ayah ada disitu. Sepertinya..... Ibu." El masih duduk memandanginya, menahan bulir airmata. El bersiap beranjak, tanpa argumen, dengan lembut ia mencium pipi Tisha.
"Ayah, ajak Tisha ke pantai dong." Tisha berkata begitu saja. Sejak lahir, Tisha sudah tinggal di Bandung. Ibunya bahagia sekali ketika El dipindahtugaskan ke Bandung. Dari dulu ia memang tak suka dengan Jakarta, kota dimana El berasal. Karakter Bandung yang sejuk dan nyaman semakin menjadi kabar baik bagi Ibunya. Maklum, sejak kecil ia selalu hidup di daerah pesisir dan tidak pernah plesir. Tapi bagi El, Bandung kini seperti ingin ia tinggalkan. Kota itu semakin membuatnya terbelenggu akan jutaan kenangan yang membuat hatinya seolah kembali terluka. Dua  tahun lalu ia berencana untuk kembali ke Jakarta, namun harus urung karena Tisha merengek setengah mati tidak ingin ikut.
Selama hidup, Tisha sudah diajak jalan-jalan ke Jakarta ribuan kali, kadang-kadang ke Singapura, Malaysia, paling jauh Tisha pernah ikut ke Australia, sekalian El menghadiri pertemuan dengan pimpinan mitra perusahaannya. Keluar masuk Mall tempat para borjuis menghabiskan harta, makan di hotel berbintang, dan bermain di playground high class. Namun, sebenarnya tidak ada yang dapat ia nikmati selayaknya usianya. Ia tidak dapat berlari kesana kemari, melompat-lompat sampai harus terjatuh berkali-kali, berkeliaran sambil menyentuh ini dan itu tanpa mempedulikan larangan dari orangtua, karena ia harus senantiasa berpegang pada tangan Mery. Bahkan merengek untuk dibelikan barbie keluaran terbaru yang sedang dipajang etalase Kidz Station, ia pun tak bisa. El selalu merasa ia dapat membuat Tisha bahagia. Tapi ia salah. Sesungguhnya, Tisha belum merasakan bahagia. Bahkan sejak ia lahir ke dunia, Tisha tak pernah melihat dunia yang sebenarnya.
_______________
            Suasana malam di De Opera The Bay Bali begitu romantis. Farah selalu membayangkan dirinya suatu hari menghabiskan waktu disini seharian bersama peri karunianya dan mengantar matahari terbenam sambil duduk di salah satu tatanan kursi berbalut kain putih ini, menghabiskan makan malam berdua dibawah temaram lilin beraroma mawar. Farah memang senang sekali berbahagia melalui mimpi-mimpi sederhana itu. Saat sadar dari mimpinya, Farah tak sabar untuk segera pulang mengakhiri kerjanya hari ini. Namun, gelasnya masih berdiri di posisi yang sama, setia menampung cocktail dingin yang takarannya hampir menyentuh bibir gelas, tak berubah. Kemudian ia teringat pria berair muka kecut. "kemana dia?" Farah berdialog dengan hatinya. Ia dipantai....Farah mendengar suara itu barusan. Farah selalu percaya jika suara itu datang, itu suara suruhan Tuhan untuk membawanya pada peri karunia.
            Waktu kecil, Farah sangat berbahagia karena Aji dan Biyang selalu ada disampingnya, Farah suka ketika Biyang mengantarnya tidur dengan dongeng tentang Peri. Kata Biyang, peri itu hidup dimana-mana, peri yang paling ditunggu adalah peri karunia, peri yang bertugas membawa kebahagiaan, kemudian bertugas mengantar kita pada suatu tempat rahasia yang di dalamnya tidak ada apa-apa, yang ada hanyalah kebahagiaan. Taman karunia namanya. Kata Biyang, suatu hari kita akan bertemu dengan peri itu, kemudian sampai ke taman itu. Namun tidur Farah terlalu pulas suatu malam untuk bersiap menerima kenyataan esoknya ombak besar datang menghantam kapal yang ditumpangi Ajinya. Jasadnya tak pernah ditemukan. Sejak hari itu, Farah yakin lautlah taman karunia Ayahnya. Keyakinan Farah menguat ketika lima tahun kemudian Ibunya wafat dalam tidur. Farah yakin Ayahnya memang ditakdirkan menjadi Peri karunia Biyang dan ingin segera membawa Biyang ke taman karunia. Hidup bersama Bli Mason, kakaknya, Farah bermetamorfosa menjadi perempuan cantik dan ceria. Sampai hari itu, Farah melihat seorang sedang berbaring menatap langit, yang tadi tertunduk lesu di meja, yang tidak pernah menyentuh gelas cocktail diatas meja. Farah mengendap-endap mendekat.
            "Pernah dengar dongeng tentang langit?" Farah membuka pembicaraan.
            "Bicara sama saya?" ia mendongak heran.
            "Iya. Bapak sedang apa? kasihan cocktailnya tidak diminum, padahal harganya kan mahal, bisa duduk disini juga pasti mahal sekali." sahut Farah.
            "saya bukan tidak meminum, cuma belum saja. Lagipula, saya disini bukan kamu yang bayar." sahutnya. Farah menangkap sinyal sinis pada jawaban itu. Tak perlu lama ia memutuskan untuk putar balik badan, dan pergi dari situ. Farah baru saja bersiap melangkah, kemudian..
            "Saya pernah dengar dongeng tentang langit." katanya sambil menadahkan wajah ke arah langit. "Langit dan bumi, tidak akan pernah menyatu, hanya bisa bertemu di satu garis yang menghubungkan mereka, mengantar mereka pada pergantian siang dan malam, itulah kebahagiaan bagi keduanya"
            "Laut." dengan cepat Farah membalikkan badannya.
            "Aku baru saja menyapa mereka tadi." balas pria itu lagi.
            "Oh ya? Bagaimana mereka? Menyambutmu dengan baik kah? Apa Bapak tahu, apa yang ada di ujung sana?" Kata Farah sambil menunjuk ke arah Laut.
            "Mungkin..kebahagiaan." Siapa yang barusan mengatakan itu? Apa itu Peri?
Keduanya saling toleh. Ada sedikit getar di rongga dada keduanya. Belum menyadari apa yang sedang terjadi disini. Percakapan apa ini. Interaksi antar siapa ini. Pria itu bangun dari pangkuan rebahnya dengan alas pasir putih, membalas senyum Farah.
            "Benar disana ada kebahagiaan?" tanyanya lagi.
            "Mungkin...lebih dari itu." Balas Farah. Keduanya menyatu pada keyakinan yang sama, damai, hanya tidak saling mengenal.
             "Nama saya Farah.” Farah mengangkat tangannya berharap jabat itu disambut dengan hangat.
            "Felix. panggil saja El." Telapak tangan itu bersatu, melebur hati, membentuk rasa, menciptakan persahabatan baru. Apakah laut ditakdirkan untuk menjadi pemersatu mereka-mereka yang diam -diam saling menanti, mereka-mereka yang saling mencari tanpa sadar, mereka-mereka yang saling mencintai tanpa harus memiliki?
____________
Beberapa hari terakhir, El selalu memikirkan keinginan Tisha yang satu itu. Hampir semua yang diinginkan Tisha ia turuti, kecuali yang satu ini. Bolak balik ia mencoba memejamkan mata, nihil. Apakah aku terlalu egois untuk tidak mengantarnya kesana? Tapi bagaimana dengan perasaanku? Apa salahnya kau turuti, jika kau benar-benar menyayanginya, kau akan lakukan apapun demi kebahagiaannya, sekalipun berkorban rasa, korban nyawamu pun layak ia dapatkan..Terjadi percakapan tanpa suara malam itu di kamar, El berdebat dengan dirinya sendiri.
_____________
            Sejak bertemu Farah, El menemukan hati yang baru, selalu bersemangat, berbicara mengenai banyak hal, tak ketinggalan dongeng mengenai peri dan taman karunianya. Sampai pada hari-hari ketika El merasakan getar bahagianya yang begitu hebat ketika sedang berbincang dengan Farah di tepi pantai The Bay Bali. Ia jatuh cinta. El senang sekali memandangi wajah lugu itu dari kejauhan, tulusnya wajah itu saat membalas sapa teman-temannya, jelitanya saat tersenyum dan kemilau cinta yang mampu El rasakan. Saat orang zaman dulu bilang jatuh cinta itu berjuta rasanya, maka El kali ini sepakat. Seorang Felix Kencana Putra, laki-laki terpandang kaya raya jatuh cinta dalam hitungan hari pasca patah hati, pada perempuan tulus dan sederhana, setulus dan sesederhana cinta itu.
            Pantai di De Opera The Bay Bali adalah kenangan indah bagi El. Tempat dimana ia menemukan peri karunianya. Disana pula janji suci nan sakral itu terucap. Dengan disaksikan oleh keluarga, sahabat, El dan Farah mengucap janji untuk hidup berdua. Keduanya begitu hanyut dalam arus kebahagiaan. Di tengah tawa yang jatuh dari sebongkah kebahagiaannya, Farah tertegun sejenak. Aji...Biyang, perkenalkan, ia peri karunia ku...
______________
            Tisha tak pernah mengenali aroma ibunya sejak lahir, terlalu banyak yang ia tak mengerti. Tak banyak pula ia bertanya, lebih sering Mery yang menjelaskan padanya tentang ini itu, tujuan ini itu, guna ini itu, bagaimana ini itu, mengapa ini itu. Ayahnya pernah bercerita bahwa Ibunya adalah perempuan yang sangat cantik, rupa dan hatinya. Saking cantiknya, Tuhan tidak ingin berlama-lama berpisah dengannya. Suatu malam, Tisha bertemu ibunya dalam mimpi, dibacakan dongeng, bercengkrama, begitu bahagia. Begitu ingin Tisha tidak terjaga. Tak apa ia tidak bisa melihat Ibu, tak apa ia tak dapat melihat dunia -yang katanya indah, ia hanya ingin bahagia itu, ia hanya ingin sekali lagi, merasakan Ibu. Bukan dalam  mimpi, bukan dalam kenangan-kenangan Ayahnya, atau dalam cerita-cerita Mery, tapi merasakan Ibu, dalam hatinya.
______________
            El tertegun saat suatu hari Tisha bertanya padanya tentang peri dan taman karunia. Ia tidak pernah bercerita tentang peri karunia kepada siapapun. Sejak Farah pergi, El tidak pernah mau melihat pantai. Anemia akut mengantar Farah pergi sesaat ia selesai mengantar Tisha datang melihat dunia. Atisha Alivia, bermakna peri tangguh yag berbahagia. Belum genap 2 tahun Tisha menikmati kemilau cahaya-cahaya dunia, glaukoma merenggut cahaya-cahaya itu. El begitu terpukul. Sejak itu, El membenci pantai. Selama umur Tisha, El tidak pernah lagi mengunjungi belahan dunia manapun yang mengantarkan pandangannya ke laut. Begitupun Tisha.
_______________
            "Ayah....." Suara Tisha dari balik pintu menyadarkan lamunan El. Ia hanyut lagi dalam renungnya sehingga tanpa sadar Tisha sudah ada di depan ruang kerjanya.
            "Ya sayang”
            “Tisha mau dekat dengan Ayah."
            "Ada apa sayang?" Kata El menatap Tisha sambil menuntunnya duduk dipangkuannya.
            "Tisha mau ketemu Ibu, Yah. Ayah bisa antar Tisha?"
Ruang kamar sejenak hening seolah turut mendengarkan kata-kata Tisha barusan.
            "Tisha ingin ke jendela taman karunia, Yah..." ujar Tisha lagi.
Apa itu kau? El memeluk erat putri cantiknya sore itu. Ia begitu mirip dengan ibunya.
________________
            El buru-buru. Tisha sudah menunggunya di depan. El bersiap menutup pintu kamarnya. Namun tiba-tiba El berhenti, ia melihat sesuatu dari sudut matanya. Ia belum berpamitan kepada sesuatu yang berdiri tegak di atas meja pajangnya, sebuah foto. Aku pergi dulu, senang akan bertemu denganmu...
            Perjalanan Tisha kali ini menuju tempat yang baru baginya. Entah kemana Tisha dibawa Ayahnya. Mery tidak ikut kali ini, El betul-betul ingin menghabiskan waktunya dengan Tisha berdua saja. Memasuki komplek The Bay Bali di Nusa Dua, El berpelukan dengan angin yang berhembus seolah menyambutnya dengan ucapan selamat datang kembali. Begitu banyak yang berubah, kecuali The Bay Bali yang tetap indah. El mencoba mengidentifikasi rasa yang bersemayam dalam hatinya saat ini. Tidak ada perih, tidak ada sesak. Tidak seperti apa yang ia bayangkan selama ini.
            "Ini tempat Ayah dan Ibu bertemu, sayang."
            El berkata sembari mengeratkan genggam tangan pada lekukan jemari mungil itu. El bisa merasakan perjalanan darah di dalam tubuh Tisha berubah menjadi deras, sama seperti yang ia rasakan. Berjalan pelan-pelan, El menikmati kenangan demi kenangan yang menyerbu memorinya. Sedangkan Tisha tak sabar segera ingin tahu tempat apa ini. Tak ada suara bising kendaraan, tak ada suara ramai manusia berbicara, berteriak, tertawa terbahak-bahak, yang biasa ia dengar di luar sana. Begitu syahdu, begitu damai, begitu teduh, begitu merdu. El dan Tisha, masing-masing tersenyum.
Di ujung jalan setapak, diiringi interior dan eksterior The Bay Bali yang eksotis, El menghentikan langkahnya.
            "Kita sudah sampai, sayang.”
            Pendengaran Tisha begitu peka. Kali ini, Tisha mendengar suara baru. Jika selama ini ia menganggap bahwa suara yang dihasilkan dari senar-senar yang ia gesek dengan busur itu adalah suara yang paling merdu, maka ini lebih merdu, lebih menenangkan, lebih mendamaikan. Atisha begitu bahagia.
            "Tisha dengar suara itu? Itu Ombak sayang. Air laut yang berkejar-kejaran menuju pantai, itulah jendela taman karunia." El menjelaskan.
            El menyadari selama ini ternyata dia lah yang pergi, dia lah yang meninggalkan Farah, meninggalkan kenangan-kenangan mereka, melepaskan sesuatu yang pernah mengantar kebahagiaan sejati untuknya. Namun kali ini ia tidak ingin pergi lagi, entah siapa yang diciptakan untuk menjadi peri bagi siapa, yang berdiri di sebelahnya saat ini, Atisha. Kebahagiaan terbesarnya saat ini.
            Untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya, Tisha merasakan sesuatu yang begitu mendamaikan dalam hatinya. Begitu membahagiakan, begitu melegakan. Juga untuk pertama kalinya, Tisha yang selama ini hidup dalam daya terpejam tanpa bisa melihat dunia bukan karena inginnya sendiri, kali ini begitu ingin terpejam dengan rasa bahagia, mendengar suara ombak itu. Hanya ingin mendengar alunannya, nyanyiannya, pesannya, dongeng-dongengnya, dan yang paling Tisha syukuri, ia merasakan lagi....Ibunya, ditemani oleh manusia yang paling ia cintai, saat ini dan selamanya.
            “Mereka itu sahabat lama Ayah dan Ibu, mari Ayah perkenalkan.” Ujar El bersemangat.
Keduanya menyapa ombak.
Keduanya bercengkrama dengan laut.

Farah.... Aku dan Atisha kembali untukmu.
Ibu..... Tisha dan Ayah datang untukmu.

Hari ini aku bahagia, bertemu dengan sesuatu yang sudah lama sekali aku rindukan, merasakan syahdu yang sudah lama sekali tidak aku rasakan, menyapa sesuatu yang sudah lama sekali tidak kusapa, mengukir senyum pada sesuatu yang sudah lama sekali tidak ku ukir, dan mensyukuri sesuatu yang sudah lama sekali tidak aku syukuri. Dimanapun taman karunia itu, kau lah peri itu...
Terimakasih.
            El dan Tisha begitu damai, keduanya melepas rindu yang tersepih, yang nyaris mati karena disimpul dengan keras, akhirnya melonggar, terlepas dari belenggu, bebas, terbang menuju taman kebahagiaan itu, bersama peri mereka, yang tak pernah mati dalam hati, karunia. 

Oleh: ninameilisa, 2014.


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness with The Bay Bali & Get discovered!

Selasa, 01 April 2014

Jakarta

Dulu Jakarta adalah primadona gue.
Walaupun keras, gue pernah suka dengan karakternya yang sibuk.
Orang-orangnya tahan banting. Strong fighter.

Tapi itu dulu.
Gue udah mulai berubah pikiran dalam jarak setahunan sejak gue tidak bermukim disekitarnya lagi.
Walau cuma tinggal di tetangganya, manis asem asinnya Jakarta tetap bisa kerasa di gue.

"Jakarta tuh ga aman." gue ingat kata Papa dulu.
"Mending bergaji 1 juta tapi hidup nyaman di kampung, daripada bergaji besar hidup di Jakarta." kata Papanya temen.
"Jakarta adalah kota terakhir di muka bumi yang akan gue tinggali." kata temen.

Well, sebenarnya bukan kota, lebih mirip kampung kebesaran yang semakin membesar tanpa perencanaan, tanpa aturan, dan tanpa pemerintahan yang berwibawa sehingga mau tak mau harus digolongkan kota.

Semuanya ada di Jakarta. 
Ada Central Park.
Ada Soho. 
Ada Manhattan.
Ada Broadway.
Yang ga ada hanya identitas dan satu kata yang pas banget buat representing Jakarta.

Begitu lulus, gue langsung pulang kampung.
Jangan sampai gue kerja di Jakarta, menurut Papa.

Dengan kebodohan berbulu semangat heroik umur dua puluhan, gue masih belum bisa move on.
Beberapa job apply kesana ga pernah ada yang nyangkut. Ya karena doa ampuh tak pernah mengalir ke langit.
Pernah sekali mampir, orang-orangnya tidak semembosankan bangunannya.
Dan malam-malamnya tidak semenjijikkan siangnya.

hmm, Jakarta makin jauh.
Tapi gue yakin kok sama kata Allah di Al-Baqarah 216.

"ih seger banget deh disana ada gunung dan sawah, aku malah pengen pergi dari Jakarta ini." kata temen lagi.

Dengan mengingat jam segini gue udah bisa selonjor berbalut selimut diatas kasur, ditemani suara-suara jangkrik, dan nafas dengan udara bersuhu sejuk.
Kalo di Jakarta, jam segini lo bisa aja sedang berdiri tegak hitungan jam ampe encok, ditemani suara-suara klakson, dan nafas dengan aroma knalpot dan keringat.

Keduanya, dinikmati sajalah.

Mengerti

Maafkan aku atas kelelahanmu.
Aku memang tidak pandai mengerti.
Tapi mohon jangan menyerah untukku.

Jika aku belum mengerti, kau bisa ajari aku lagi.
Jika aku belum mengerti, cobalah ajari aku lagi.
Jika aku belum mengerti, tetap berjuanglah ajari aku lagi, lagi, dan lagi.
Jika aku tidak jua mengerti, mohon berhenti.

Mohon berhenti untuk selalu dimengerti.

#TanyaKenapa 2

Pada #TanyaKenapa sebelumnya, saya lagi mikir tentang konteks berbuat salah.
Kali ini, saya lagi mikir tentang konteks meminta maaf.

Dulu, saya pernah dibilangin teman, entah ini konteksnya pujian atau kritik.
"Nin, kenapa sih lo sering banget minta maaf, kalo telat bales sms lo pasti bilang "maaf ya baru bales"."
Pernah juga pas saya stretching, tangan saya ga sengaja kena kepala temen, dan dia sedikit kesakitan gitu. Tapi pas saya minta maaf, saya dibilangin gini, "ya elah Nin, lo kayak sama siapa aja, pake minta maaf segala."
Hmm. kalo saya stretchingnya liat kiri kanan dulu pasti ga akan kena kepalanya, dan dia pasti ga akan kesakitan. Makanya saya minta maaf, ya ga sih?

Dulu, ada teman juga yang ngomong, "Kalo terlalu sering minta maaf tuh jadinya kayak biasa aja gitu. Kalo kesalahan kecil aja lo keseringan minta maaf, pas lo ngelakuin kesalahan yang besar, permohonan maaf lo itu jadi kayak biasa aja, ga ada yang spesial dan esensi dari maaf itu sendiri ga akan berasa."
Ini juga buat saya mikir. Tapi agak sedikit ga sependapat.

Setau saya minta maaf itu ya kalau kita salah, tanpa melihat sama siapa kita minta maaf itu, atau besar kecilnya kesalahan. CMIIW.

Misal, orangtua kita bisa jadi salah ke anak, tapi apa berarti mereka ga boleh minta maaf sama anak?, seorang atasan bisa aja salah ke bawahan, tapi apa berarti ga boleh minta maaf ke bawahan?,
seorang Presiden atau Raja sekalipun bisa aja salah ke rakyat, tapi apa berarti mereka ga boleh minta maaf ke rakyat?
Memang, buat sebagian orang, meminta maaf itu akan membuat harga diri jatuh, atau jadi terlihat rendah. Gengsi, katanya.

Tapi minta maaf toh ga akan bikin kita jadi berdosa kan?

Sometimes, apolizing doesn't always mean you're wrong and the other person is right.
It means you VALUE your relationship MORE than your ego.

Kadang-kadang, minta maaf itu  tidak selalu berarti kita salah dan orang lain benar, tapi karena kita menilai hubungan kita itu lebih penting daripada ego kita.

Ada yang setuju? #TanyaKenapa2

#TanyaKenapa

"Kenapa bisa jatuh gelasnya?"
"Iya tadi kesenggol sama gue, lagian siapa sih yang narok gelas di pinggir meja banget gitu?"
_______________
"Dimana kuncinya? Udah ketemu?"
"Belum nih, dimana yaah? Abis tadi si Budi buru-buru manggil gue, jadi lupa deh narok kuncinya."
_______________
"Ya ampun, kenapa lo bisa jatuh gini sih?"
"Ituu, soalnya tadi ada batu gede banget di tengah jalan, jatuh deh gue."
_______________
"Aduh sayang, cupcup jangan nangis, Mana yang sakit? tadi kepentok meja ya? Sini mama pukul ya meja nyaa, uh meja nakal yaa.".





Percakapan model begitu pasti sering banget kita dengar sehari-hari kan, bahkan sering kita juga lah pelaku-pelakunya.
Entah karena saya terlalu suka mikir, bahkan yang menurut orang ga perlu dipikirin, malah saya pikirin.
Contohnya ya ini.

Saya tuh mikirnya, apakah sudah jadi kodrat kita manusia ya, untuk selalu mencari pembenaran, jadi sadar ga sadar kita selalu mencari bahan alasan untuk tidak dinilai salah oleh orang lain.
Mungkin kali ya, semua orang pasti tujuannya membela diri sendiri dong ya.
Maksud saya, dari semua percakapan sederhana diatas, selalu ada unsur yang nunjukkin bahwa "itu bukan murni salah gue kok, ada pihak lain yang juga salah."
Atau
" Gue ga mungkin salah kalo ga dia yang salah duluan."

Bahkan saat kita kesandung batu, batu nya yang kita salahin.
Jalan kepentok dinding, dindingnya yang kita salahin.
Kasian aja gitu kan batu dan meja yang tak berdaya bahkan tak bernyawa disalah-salahin gitu.
Kenapa ga coba akuin aja itu adalah kecerobohan kita, kesalahan kita, kita yang ga cermat, kita yang ga teliti, kita yang ga hati-hati.

Kadang-kadang juga walaupun udah ngaku salah, tetep aja ujung-ujungnya nyari pembenaran.
Just stop it. Kita manusia, ya wajarlah kalo salah.
Kecuali kalo salah melulu di kesalahan yang sama, ya keledai namanya.
Eh, apa salah keledai ya? I'm sorry donkey.

Ya kalo kita salah melulu di kesalahan yang sama, berarti kita bukan manusia yang baik.
Punya telinga, mata, tangan kaki, mulut, tapi ga memanfaatkan semua itu dengan baik buat belajar.

Kalo anak kecil nangis, benjol, atau berdarah karena kepentok meja, ketusuk paku, lagi-lagi sebagian emak-emak pasti berupaya membela si anak habis-habisan, dengan cara menyalahkan si meja atau si paku. "Duh meja nakal ya, sini mama pukul mejanya."/ "Duh, pakunya jahat ya dek."
Kenapa ga jelasin aja ke anaknya kalau dia salah, lain kali kalo lari/main harus hati-hati ya sayang.

Apa karena kita terbiasa dibela oleh orangtua pada saat kecil dulu ya?
Jadinya kebawa sampai besar, bahkan diterapkan lagi ke anak kita.

Hmmm #TanyaKenapa

Thankful

Cie galau ya?" kata teman yang juga lagi jomblo ketika mergokin gue lagi merem sendiri.

Kalo gue jauh-jauh ke tempat sebagus ini cuma buat galau,
duh mending ngejogrok di tepi sungai musi aja.
Galau makin komplit setelah melihat warna airnya yang semakin hari semakin mirip sama warna kopi susu yang diminum Papa setiap pagi.

Gue berpikir, kenapa ya bisa ada tempat sebagus ini.
Kali ini gue benar-benar ga galau. Dan ga akan pernah galau.

Yang harus lo lakuin kalo lagi ada di tempat yang sangat-amat-BAGUS -banget,
cuma satu yang wajib lo lakuin.

Close your eyes, take a deep breath, kemudian Thank to God.

Alhamdulillah.

Daun dan Air Hujan

Daun menanyakan berapa kali aku telah jatuh cinta.
Air hujan menanyakan berapa kali aku melepaskan.
Maka tenggelamlah aku dalam hujan, menggali memori untuk menjawab tanya mereka.

Aku tidak mengerti cinta.
Pun tidak mengerti jatuh cinta.
Terlalu sulit untuk memilih kata-kata yang bisa menjelaskan apa itu jatuh, dan apa itu cinta.

Pada suatu waktu, aku bernyanyi.
Bernyanyi setiap hari rasanya menyenangkan.
Tak pernah bosan aku selalu bernyanyi, sampai suara itu pergi dan tidak pernah bernyanyi lagi.

Pada suatu waktu, aku bermain bola.
Begitu kuatnya aku bermain dengan bola, sampai tenaga itu hilang dengan sendirinya.

Pada suatu waktu, aku membaca. Membaca setiap hari tanpa henti. Sampai huruf-huruf itu terasa melayang, aku berhenti.

Pada suatu waktu, aku menulis.
Seperti sebelumnya, aku menulis setiap saat, menulis sepanjang waktu.

Aku hanya ingin cintanya, tidak ingin jatuhnya.

Kali ini, semoga selalu ada kata untuknya.

Hujan semakin deras, daun dan titik-titik air hanya berbasa-basi.

Selamat Pagi Tuan dan Nyonya

Selamat pagi, Tuan.
Baru saja ku siapkan tiga helai roti gandum untuk sarapanmu.
Tak lupa dengan selai nanas kesukaanmu.
Juga teh hijau dalam cangkir kesayanganmu, Tuan.

Wajahmu terlihat lelah, Tuan.

Apa karena begitu banyak urusanmu?
Apa karena terlalu galak permaisurimu?

Makanlah rotinya, Tuan.
Sebelum matahari yang lebih dulu menyantapnya.

Semoga harimu menyenangkan, Tuan.
__________


Selamat pagi, Nyonya.
Baru saja kuhidangkan salad strawberry untuk santapan pagimu.
Tak lupa dengan olesan minyak zaitun diatasnya.
Juga coklat hangat dalam gelasmu, Nyonya.

Rautmu terlihat capai, Nyonya.

Apa karena terlalu berat bebanmu?
Apa karena terlalu kasar Pangeranmu?

Lahaplah saladnya Nyonya.
Sebelum udara segar yang lebih dulu melahapnya.

Semoga harimu membahagiakan, Nyonya.