Kertas yang berserakan
diatas meja seperti biasa, menyuguhkan pemandangan yang menggambarkan situasi
kerjanya saat ini. Beberapa presentasi klien dan laporan para rekanan sudah
jadi makanan pokok sehari-hari baginya. Itulah pundi-pundi yang akan
mengantarkan penyuplai nutrisi dan energi guna menyambung hidup. El menghela
nafas sebentar, menyandarkan diri ke kursi yang sepertinya sudah ia duduki
seharian ini. Dari balik jendela, El melihat Tisha duduk dipinggir kolam
renang. Berhadapan dengan bentangan kain blancu diatas papan, disanggah dengan
kayu berflitur kecoklatan. Minggu sore seperti ini masih dihabiskan El di meja
kerja. Berbeda dengan Tisha, yang memang selalu berada disana sore hari. Setia
dengan senar-senar atau kain putih favoritnya. Tisha sedang tersenyum sendiri
saat El diam-diam memandangnya dari balik jendela. Tak lama ia mulai
mengayunkan kaki di kolam renang.
Setiap kali ia
memandang Tisha, Farah selalu datang tanpa permisi, mengendap-endap ke dalam
pikiran El. Hingga hari ini, El tidak pernah dapat melewati satu hari tanpa merindukan
Farah. Kolam renang itu hadiah untuknya. Iya, Farah sangat menyukai air, dalam
gelas, dalam akuarium, diatas daun sehabis hujan, bahkan ia akan tersenyum
sumringah saat melihat air di selokan depan rumah mengalir dengan lancar,
"selamat jalan ke taman karunia..." katanya. Sudah hampir 10 tahun,
ia masih terbelenggu dan belum bisa berdamai dengan diri sendiri. Bahkan,
memandang Tisha pun semakin membuat hatinya perih. Farah....Ia kembali memanggilnya dalam hati, begitu tebal rindu
itu, begitu lirih...
____________
"Silahkan,
Pak." Farah menaruh segelas cocktail.
Biasanya pelanggan akan menunjukkan mata binar karena mengetahui pesanan mereka
tiba, kali ini pelanggannya hanya mengangguk lesu, tanpa tatap, apalagi
kata. Farah bersiap berlalu sebelum di langkah ketiga ia berhenti kemudian
menoleh perlahan. Seperti ada yang
memanggil. Sambil terdiam memegang nampan kaca bermotif angsa, hampir saja
seperempat gajinya bulan ini habis karena harus mengganti nampan cantik nan
mahal itu. Farah terhentak saat benda itu hampir jatuh. Masih memandangi
pelanggannya, seorang pria dengan air muka kecut. Terlalu kecut untuk berada di
Beach Lounge De Opera The Bay Bali dengan latar pantai seindah itu. Seperti ada
sesuatu, Farah selalu ahli mengidentifikasi rasa yang berbeda setiap kali
melihat sesuatu. Farah seperti turut merasakan sakitnya. Aku bisa merasakannya, sakit di dadanya,
perih di hatinya...
_____________
Gelas dengan lekukan
indah itu seperti lelah menunggu. Setengah jam sejak perempuan tadi menaruhnya
di meja, ia hanya diam begitu saja. Diam-diam ia berandai tidak berada disini
sekarang. Ia menghela nafas, sedikit memperbaiki posisi duduk yang lunglai
lebih mirip orang yang sedang patah hati. Memang. Baru saja ia menerima pesan
dari Luna, kekasihnya selama satu tahun ini. Tiga bulan belakangan kebersamaan
mereka hanya dihabiskan untuk beradu mulut. Sampai pada hari ini, Luna memutuskan
untuk berhenti, menyudahi semuanya. Ia memandangi benda biru mengalir berbentuk
raksasa berjumlah tak terhingga itu, Ia menangis tanpa isak dan air mata. Ia
hanya ingin memandang birunya laut yang mungkin sedang kalah biru dengan
patahan-patahan rasa dibalik tulang dadanya. “Ah, sepantas itukah pantai
seindah ini aku gunakan untuk meranakan Luna." ia kemudian bergumam
sendiri. Setelahnya, ia hanya membagi tawa keras kepada alam. Tawa semu.
________________
"Tisha bilang ia
mau ke pantai, Kak." papar Mery ketika El menanyakan kabar Tisha hari ini.
Setelah berkutak dengan pekerjaan seabrek setiap hari, sepulangnya ia tak
pernah lupa menanyakan kabar Tisha kepada Mery, yang setia menemani Tisha
setiap hari. Apa yang dilakukan Tisha, yang dibutuhkan dan diinginkan Tisha, tidaklah
sulit bagi El untuk menghadirkan semuanya. Uangnya masih terlalu banyak untuk
meladeni dan menghadirkan semua kemauan Tisha. Sampai pada ketika El mendengar
keinginan yang satu ini, El seolah seperti terasa sesak dan sulit bernafas. Tisha
pernah menyampaikannya sendiri dari sebulan yang lalu. Sore hari saat Tisha
sedang asyik menarik kesana sini kuas kecilnya di atas kanvas favoritnya, saat
itulah Tisha meminta Mery meninggalkannya sendirian, berdua saja dengan kanvas
dan cat warna warni tercintanya. Tapi kali ini, El ada disampingnya, hanya
duduk dan memandangi Tisha. Ia tahu Tisha selalu ingin sendirian saat melukis,
dan El tidak ingin menjadi pengganggu.
"Ayah....."
Suara Tisha mengejutkan El.
" Kok Tisha tahu
Ayah ada disini?"
Tisha tersenyum.
"Ada seseorang
yang beri tahu Tisha kalau Ayah ada disitu. Sepertinya..... Ibu." El masih
duduk memandanginya, menahan bulir airmata. El bersiap beranjak, tanpa argumen,
dengan lembut ia mencium pipi Tisha.
"Ayah, ajak Tisha
ke pantai dong." Tisha berkata begitu saja. Sejak lahir, Tisha sudah
tinggal di Bandung. Ibunya bahagia sekali ketika El dipindahtugaskan ke
Bandung. Dari dulu ia memang tak suka dengan Jakarta, kota dimana El berasal. Karakter
Bandung yang sejuk dan nyaman semakin menjadi kabar baik bagi Ibunya. Maklum,
sejak kecil ia selalu hidup di daerah pesisir dan tidak pernah plesir. Tapi
bagi El, Bandung kini seperti ingin ia tinggalkan. Kota itu semakin membuatnya
terbelenggu akan jutaan kenangan yang membuat hatinya seolah kembali terluka.
Dua tahun lalu ia berencana untuk
kembali ke Jakarta, namun harus urung karena Tisha merengek setengah mati tidak
ingin ikut.
Selama hidup, Tisha
sudah diajak jalan-jalan ke Jakarta ribuan kali, kadang-kadang ke Singapura,
Malaysia, paling jauh Tisha pernah ikut ke Australia, sekalian El menghadiri
pertemuan dengan pimpinan mitra perusahaannya. Keluar masuk Mall tempat para borjuis menghabiskan
harta, makan di hotel berbintang, dan bermain di playground high class. Namun, sebenarnya tidak ada yang dapat ia
nikmati selayaknya usianya. Ia tidak dapat berlari kesana kemari,
melompat-lompat sampai harus terjatuh berkali-kali, berkeliaran sambil
menyentuh ini dan itu tanpa mempedulikan larangan dari orangtua, karena ia
harus senantiasa berpegang pada tangan Mery. Bahkan merengek untuk dibelikan barbie keluaran terbaru yang sedang
dipajang etalase Kidz Station, ia pun tak bisa. El selalu merasa ia dapat
membuat Tisha bahagia. Tapi ia salah. Sesungguhnya, Tisha belum merasakan
bahagia. Bahkan sejak ia lahir ke dunia, Tisha tak pernah melihat dunia yang
sebenarnya.
_______________
Suasana malam di De Opera The Bay Bali begitu romantis.
Farah selalu membayangkan dirinya suatu hari menghabiskan waktu disini seharian
bersama peri karunianya dan mengantar matahari terbenam sambil duduk di salah
satu tatanan kursi berbalut kain putih ini, menghabiskan makan malam berdua
dibawah temaram lilin beraroma mawar. Farah memang senang sekali berbahagia
melalui mimpi-mimpi sederhana itu. Saat sadar dari mimpinya, Farah tak sabar
untuk segera pulang mengakhiri kerjanya hari ini. Namun, gelasnya masih berdiri
di posisi yang sama, setia menampung cocktail
dingin yang takarannya hampir menyentuh bibir gelas, tak berubah. Kemudian ia
teringat pria berair muka kecut. "kemana dia?" Farah berdialog dengan
hatinya. Ia dipantai....Farah
mendengar suara itu barusan. Farah selalu percaya jika suara itu datang, itu
suara suruhan Tuhan untuk membawanya pada peri karunia.
Waktu kecil, Farah sangat berbahagia karena Aji dan
Biyang selalu ada disampingnya, Farah suka ketika Biyang mengantarnya tidur
dengan dongeng tentang Peri. Kata Biyang, peri itu hidup dimana-mana, peri yang
paling ditunggu adalah peri karunia, peri yang bertugas membawa kebahagiaan, kemudian
bertugas mengantar kita pada suatu tempat rahasia yang di dalamnya tidak ada
apa-apa, yang ada hanyalah kebahagiaan. Taman karunia namanya. Kata Biyang,
suatu hari kita akan bertemu dengan peri itu, kemudian sampai ke taman itu.
Namun tidur Farah terlalu pulas suatu malam untuk bersiap menerima kenyataan esoknya
ombak besar datang menghantam kapal yang ditumpangi Ajinya. Jasadnya tak pernah
ditemukan. Sejak hari itu, Farah yakin lautlah taman karunia Ayahnya. Keyakinan
Farah menguat ketika lima tahun kemudian Ibunya wafat dalam tidur. Farah yakin
Ayahnya memang ditakdirkan menjadi Peri karunia Biyang dan ingin segera membawa
Biyang ke taman karunia. Hidup bersama Bli Mason, kakaknya, Farah
bermetamorfosa menjadi perempuan cantik dan ceria. Sampai hari itu, Farah
melihat seorang sedang berbaring menatap langit, yang tadi tertunduk lesu di
meja, yang tidak pernah menyentuh gelas cocktail
diatas meja. Farah mengendap-endap mendekat.
"Pernah dengar dongeng tentang langit?" Farah
membuka pembicaraan.
"Bicara sama saya?" ia mendongak heran.
"Iya. Bapak sedang apa? kasihan cocktailnya tidak
diminum, padahal harganya kan mahal, bisa duduk disini juga pasti mahal
sekali." sahut Farah.
"saya bukan tidak meminum, cuma belum saja.
Lagipula, saya disini bukan kamu yang bayar." sahutnya. Farah menangkap
sinyal sinis pada jawaban itu. Tak perlu lama ia memutuskan untuk putar balik
badan, dan pergi dari situ. Farah baru saja bersiap melangkah, kemudian..
"Saya pernah dengar dongeng tentang langit."
katanya sambil menadahkan wajah ke arah langit. "Langit dan bumi, tidak
akan pernah menyatu, hanya bisa bertemu di satu garis yang menghubungkan
mereka, mengantar mereka pada pergantian siang dan malam, itulah kebahagiaan bagi
keduanya"
"Laut." dengan cepat Farah membalikkan badannya.
"Aku baru saja menyapa mereka tadi." balas pria
itu lagi.
"Oh ya? Bagaimana mereka? Menyambutmu dengan baik
kah? Apa Bapak tahu, apa yang ada di ujung sana?" Kata Farah sambil
menunjuk ke arah Laut.
"Mungkin..kebahagiaan." Siapa yang barusan mengatakan itu? Apa itu Peri?
Keduanya saling toleh. Ada
sedikit getar di rongga dada keduanya. Belum menyadari apa yang sedang terjadi
disini. Percakapan apa ini. Interaksi antar siapa ini. Pria itu bangun dari
pangkuan rebahnya dengan alas pasir putih, membalas senyum Farah.
"Benar disana ada kebahagiaan?" tanyanya lagi.
"Mungkin...lebih dari itu." Balas Farah. Keduanya
menyatu pada keyakinan yang sama, damai, hanya tidak saling mengenal.
"Nama saya
Farah.” Farah mengangkat tangannya berharap jabat itu disambut dengan hangat.
"Felix. panggil saja El." Telapak tangan itu
bersatu, melebur hati, membentuk rasa, menciptakan persahabatan baru. Apakah laut ditakdirkan untuk menjadi
pemersatu mereka-mereka yang diam -diam saling menanti, mereka-mereka yang
saling mencari tanpa sadar, mereka-mereka yang saling mencintai tanpa harus
memiliki?
____________
Beberapa
hari terakhir, El selalu memikirkan keinginan Tisha yang satu itu. Hampir semua
yang diinginkan Tisha ia turuti, kecuali yang satu ini. Bolak balik ia mencoba
memejamkan mata, nihil. Apakah aku
terlalu egois untuk tidak mengantarnya kesana? Tapi bagaimana dengan
perasaanku? Apa salahnya kau turuti, jika kau benar-benar menyayanginya, kau
akan lakukan apapun demi kebahagiaannya, sekalipun berkorban rasa, korban
nyawamu pun layak ia dapatkan..Terjadi percakapan tanpa suara malam itu di
kamar, El berdebat dengan dirinya sendiri.
_____________
Sejak bertemu Farah, El menemukan hati yang baru, selalu
bersemangat, berbicara mengenai banyak hal, tak ketinggalan dongeng mengenai
peri dan taman karunianya. Sampai pada hari-hari ketika El merasakan getar bahagianya
yang begitu hebat ketika sedang berbincang dengan Farah di tepi pantai The Bay
Bali. Ia jatuh cinta. El senang
sekali memandangi wajah lugu itu dari kejauhan, tulusnya wajah itu saat
membalas sapa teman-temannya, jelitanya saat tersenyum dan kemilau cinta yang
mampu El rasakan. Saat orang zaman dulu bilang jatuh cinta itu berjuta rasanya,
maka El kali ini sepakat. Seorang Felix Kencana Putra, laki-laki terpandang kaya
raya jatuh cinta dalam hitungan hari pasca patah hati, pada perempuan tulus dan
sederhana, setulus dan sesederhana cinta itu.
Pantai di De Opera The Bay Bali adalah kenangan indah
bagi El. Tempat dimana ia menemukan peri karunianya. Disana pula janji suci nan
sakral itu terucap. Dengan disaksikan oleh keluarga, sahabat, El dan Farah
mengucap janji untuk hidup berdua. Keduanya begitu hanyut dalam arus
kebahagiaan. Di tengah tawa yang jatuh dari sebongkah kebahagiaannya, Farah
tertegun sejenak. Aji...Biyang,
perkenalkan, ia peri karunia ku...
______________
Tisha tak pernah mengenali aroma ibunya sejak lahir, terlalu
banyak yang ia tak mengerti. Tak banyak pula ia bertanya, lebih sering Mery
yang menjelaskan padanya tentang ini itu, tujuan ini itu, guna ini itu,
bagaimana ini itu, mengapa ini itu. Ayahnya pernah bercerita bahwa Ibunya
adalah perempuan yang sangat cantik, rupa dan hatinya. Saking cantiknya, Tuhan
tidak ingin berlama-lama berpisah dengannya. Suatu malam, Tisha bertemu ibunya
dalam mimpi, dibacakan dongeng, bercengkrama, begitu bahagia. Begitu ingin
Tisha tidak terjaga. Tak apa ia tidak bisa melihat Ibu, tak apa ia tak dapat
melihat dunia -yang katanya indah, ia hanya ingin bahagia itu, ia hanya ingin
sekali lagi, merasakan Ibu. Bukan dalam
mimpi, bukan dalam kenangan-kenangan Ayahnya, atau dalam cerita-cerita
Mery, tapi merasakan Ibu, dalam hatinya.
______________
El tertegun saat suatu hari Tisha bertanya padanya
tentang peri dan taman karunia. Ia tidak pernah bercerita tentang peri karunia
kepada siapapun. Sejak Farah pergi, El tidak pernah mau melihat pantai. Anemia
akut mengantar Farah pergi sesaat ia selesai mengantar Tisha datang
melihat dunia. Atisha Alivia, bermakna peri tangguh yag berbahagia. Belum genap
2 tahun Tisha menikmati kemilau cahaya-cahaya dunia, glaukoma merenggut
cahaya-cahaya itu. El begitu terpukul. Sejak itu, El membenci pantai. Selama
umur Tisha, El tidak pernah lagi mengunjungi belahan dunia manapun yang
mengantarkan pandangannya ke laut. Begitupun Tisha.
_______________
"Ayah....." Suara Tisha dari balik pintu
menyadarkan lamunan El. Ia hanyut lagi dalam renungnya sehingga tanpa sadar
Tisha sudah ada di depan ruang kerjanya.
"Ya sayang”
“Tisha mau dekat dengan Ayah."
"Ada apa sayang?" Kata El menatap Tisha sambil
menuntunnya duduk dipangkuannya.
"Tisha mau ketemu Ibu, Yah. Ayah bisa antar
Tisha?"
Ruang kamar sejenak
hening seolah turut mendengarkan kata-kata Tisha barusan.
"Tisha ingin ke jendela taman karunia, Yah..."
ujar Tisha lagi.
Apa
itu kau? El memeluk erat putri cantiknya sore itu. Ia begitu
mirip dengan ibunya.
________________
El buru-buru. Tisha sudah menunggunya di depan. El
bersiap menutup pintu kamarnya. Namun tiba-tiba El berhenti, ia melihat sesuatu
dari sudut matanya. Ia belum berpamitan kepada sesuatu yang berdiri tegak di
atas meja pajangnya, sebuah foto. Aku
pergi dulu, senang akan bertemu denganmu...
Perjalanan Tisha
kali ini menuju tempat yang baru baginya. Entah kemana Tisha dibawa Ayahnya.
Mery tidak ikut kali ini, El betul-betul ingin menghabiskan waktunya dengan
Tisha berdua saja. Memasuki komplek The Bay Bali di Nusa Dua, El berpelukan
dengan angin yang berhembus seolah menyambutnya dengan ucapan selamat datang
kembali. Begitu banyak yang berubah, kecuali The Bay Bali yang tetap indah. El
mencoba mengidentifikasi rasa yang bersemayam dalam hatinya saat ini. Tidak ada
perih, tidak ada sesak. Tidak seperti apa yang ia bayangkan selama ini.
"Ini tempat Ayah dan Ibu bertemu, sayang."
El berkata sembari mengeratkan genggam tangan pada
lekukan jemari mungil itu. El bisa merasakan perjalanan darah di dalam tubuh
Tisha berubah menjadi deras, sama seperti yang ia rasakan. Berjalan pelan-pelan,
El menikmati kenangan demi kenangan yang menyerbu memorinya. Sedangkan Tisha
tak sabar segera ingin tahu tempat apa ini. Tak ada suara bising kendaraan, tak
ada suara ramai manusia berbicara, berteriak, tertawa terbahak-bahak, yang
biasa ia dengar di luar sana. Begitu syahdu, begitu damai, begitu teduh, begitu
merdu. El dan Tisha, masing-masing tersenyum.
Di ujung jalan setapak, diiringi interior dan eksterior The Bay Bali yang eksotis, El menghentikan langkahnya.
Di ujung jalan setapak, diiringi interior dan eksterior The Bay Bali yang eksotis, El menghentikan langkahnya.
"Kita sudah sampai, sayang.”
Pendengaran Tisha begitu peka. Kali ini, Tisha mendengar
suara baru. Jika selama ini ia menganggap bahwa suara yang dihasilkan dari
senar-senar yang ia gesek dengan busur itu adalah suara yang paling merdu, maka
ini lebih merdu, lebih menenangkan, lebih mendamaikan. Atisha begitu bahagia.
"Tisha dengar suara itu? Itu Ombak sayang. Air laut
yang berkejar-kejaran menuju pantai, itulah jendela taman karunia." El menjelaskan.
El menyadari selama ini ternyata dia lah yang pergi, dia
lah yang meninggalkan Farah, meninggalkan kenangan-kenangan mereka, melepaskan
sesuatu yang pernah mengantar kebahagiaan sejati untuknya. Namun kali ini ia
tidak ingin pergi lagi, entah siapa yang diciptakan untuk menjadi peri bagi
siapa, yang berdiri di sebelahnya saat ini, Atisha. Kebahagiaan terbesarnya
saat ini.
Untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya, Tisha
merasakan sesuatu yang begitu mendamaikan dalam hatinya. Begitu membahagiakan,
begitu melegakan. Juga untuk pertama kalinya, Tisha yang selama ini hidup dalam
daya terpejam tanpa bisa melihat dunia bukan karena inginnya sendiri, kali ini
begitu ingin terpejam dengan rasa bahagia, mendengar suara ombak itu. Hanya
ingin mendengar alunannya, nyanyiannya, pesannya, dongeng-dongengnya, dan yang
paling Tisha syukuri, ia merasakan lagi....Ibunya, ditemani oleh manusia yang
paling ia cintai, saat ini dan selamanya.
“Mereka itu sahabat lama Ayah dan Ibu, mari Ayah
perkenalkan.” Ujar El bersemangat.
Keduanya menyapa ombak.
Keduanya bercengkrama
dengan laut.
Farah....
Aku dan Atisha kembali untukmu.
Ibu.....
Tisha dan Ayah datang untukmu.
Hari
ini aku bahagia, bertemu dengan sesuatu yang sudah lama sekali aku rindukan,
merasakan syahdu yang sudah lama sekali tidak aku rasakan, menyapa sesuatu yang
sudah lama sekali tidak kusapa, mengukir senyum pada sesuatu yang sudah lama
sekali tidak ku ukir, dan mensyukuri sesuatu yang sudah lama sekali tidak aku
syukuri. Dimanapun taman karunia itu, kau lah peri itu...
Terimakasih.
El dan Tisha
begitu damai, keduanya melepas rindu yang tersepih, yang nyaris mati karena
disimpul dengan keras, akhirnya melonggar, terlepas dari belenggu, bebas, terbang
menuju taman kebahagiaan itu, bersama peri mereka, yang tak pernah mati dalam
hati, karunia.
Oleh: ninameilisa, 2014.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness with The Bay Bali & Get discovered!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar