pelangi..pelangi...

pelangi..pelangi..
alangkah indahmu..
merah..kuning..hijau..
dilangit yang biruuu...

pelukismu agung...
siapa gerangan...
pelangi..
pelangi..
ciptaan Tuhann...

Kamis, 30 Desember 2010

Tuhan, ampun atas mereka, syukur pun atas mereka

Hujan. Deras. Angin di hari- hari terakhir tahun ini benar-benar lembab. Lembab seperti batu berlumut yang terpojok bertahan di tengah derasnya aliran air sungai, lembab seperti daun yang gugur di tengah hutan yang lebat, lembab seperti ruang hampa yang tidak dihuni selama ratusan tahun, lembab seperti embun yang membasahi jendela di pagi hari. Selembab hatiku.

Desember ku, 2010 ku, 50 jam 15 menit lagi akan berakhir, dan aku masih disini, seperti kura-kura yang ingin mengejar larinya kelinci, tapi tak bisa karena terlalu lambat berjalan. Kelinci yang bahkan bukan sesuatu yang hebat, hanya sesuatu yang selalu ingin menang, masih saja kura-kura ingin mengejarnya, padahal kelinci bukan siapa-siapa, kelinci tidak hebat. Dasar kura-kura bodoh. Kura-kura malah lebih hebat, bisa BERTAHAN hidup selama ratusan tahun, walaupun jalan nya yang lambat, bahkan tidak mampu menyamakan satu perseribu nya kecepatan kelinci. Tapi justru kelinci yang harusnya kalah dari kura-kura, kelinci yang hanya mampu BERTAHAN hidup dalam hitungan bulan, bahkan tidak mampu menyamakan satu per seribunya usia kura-kura. Tapi tetap saja kura-kura selalu ingin mengejar kelinci. Kura-kura dan kelinci tidak pantas di adu, tidak pantas di baik buruk kan, keduanya berbeda. Ah, aku benci berbeda. Tapi itulah kenyataannya, memang berbeda, tapi aku tetap saja benci dengan berbeda. Tapi itulah lagi kenyataannya. Kura-kura tahu tidak? Entah sekarang Tuhan ada dimana, aku yakin Tuhan tidak akan menciptakan ciptaannya jika tidak berbeda. Tuhan menciptakan makhluk dengan rezekinya masing-masing. Lebihnya pun rezekinya. Kurangnya pun rezekinya. Tidak ada yang hanya punya lebih. Tidak ada yang hanya punya kurang. Semua sama. Oh, akhirnya aku menulis kata sama. Tapi tetap saja berbeda. Mungkin bukan sama lebih tepatnya, teradil.

Desember ku, 2010 ku, 50 jam 13 menit lagi akan berakhir, dan aku disini seperti si buruk rupa yang selalu mengeluh akan rupanya, seperti buruk rupa yang sedang meratapi sepinya, seperti buruk rupa yang sedang meratapi rananya. buruk rupa tahu tidak? Entah Tuhan sedang ada dimana sekarang, aku yakin Tuhan sudah menyiapkan kebahagiaan sekarang untukmu nanti. Aku yakin lagi, bahwa Tuhan tidak akan menguji ciptaannya jika tidak bisa di uji. Tuhan menciptakan makhluk dengan bahagianya masing-masing. Di balik rupamu yang buruk, jika hatimu yang kau rias, maka Tuhan akan memberimu cantik, bahkan lebih cantik dari seorang yang paling cantik dari yang tercantik di dunia ini. Sekarang atau nanti. Banyak atau sedikit. Oh bukan, kebahagiaan tidak bisa diukur banyak atau sedikit. Tapi tetap saja berbeda. Mungkin bukan banyak atau sedikit lebih tepatnya, tak terhingga.

Desember ku, 2010 ku, 50 jam  10 menit lagi akan berakhir, dan aku disini seperti burung yang baru saja patah sayapnya, burung yang ditinggal koloninya, burung yang tidak berdaya ketika mencoba kembali terbang, ketika mencoba kembali mengepakkan sayapnya, burung yang terhempas ke tanah dari ketinggian yang tinggi, burung yang hanya bisa mengharap kedatangan seorang manusia berbaik hati untuk sekedar merawat dirinya, setidaknya merawatnya hingga sayapnya pulih kembali. Dengan tidak menaruh harapan bahwa suatu saat burung bisa kembali terbang bebas lepas di langit. Burung telah berjanjii bahwa dia akan ikhlas jika sang manusia tidak melepas nya ke alam bebas tapi justru merawatnya dalam sebuah kurungan, entah itu terbuat dari emas atau pun bukan, burung hanya ingin berterima kasih, burung hanya ingin setia, burung hanya ingin menghargai. Burung tau tidak? Entah Tuhan ada dimana sekarang, aku yakin Tuhan memang sudah menetapkan tempat yang terbaik bagi makhluknya, bagus atau tidak, mewah atau tidak. Jika itu tempatmu sekarang, maka itulah tempat yang telah ditetapkan Tuhan untukmu. Di balik sayapmu yang patah, jika hatimu yang kau jaga, Tuhan akan memberimu kuat, bahkan lebih kuat dari sayapmu dulu atau lebih kuat dari yang paling kuat dari yang terkuat. Mungkin bukan mewah atau tidak atau bagus atau tidak lebih tepatnya, terbaik.

Desemberku, 2010 ku, 50 jam 3 menit lagi akan berakhir, dan aku masih disini seperti seorang pemulung yang sedang beristirahat di pinggir jalan, seperti pemulung yang sedang mengais tempat sampah berharap menemukan sesuatu yang dianggap orang tidak berharga namun bisa jadi sangat berharga baginya, seperti pemulung yang menyeka keringatnya dengan tangannya sendiri yang kotor, lalu bercampur dengan keringat, lalu keringatnya juga kotor, apalah arti kotor bagi seorang pemulung, kotor adalah bagian dari perjuangan hidupnya, jika takut kotor dia tidak hidup, jika takut kotor dia tidak akan mendapatkan uang, maka pemulung akan mati. Pemulung hanya ingin berjuang sendiri, berjuang dengan tidak mengambil apa yang bukan miliknya, mencoba memberi penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap apa yang sudah tidak dihargai oleh orang lain. Pemulung tahu tidak? Entah dimana Tuhan sekarang, aku yakin Tuhan sudah memberikan kedudukan terbaik bagi setiap makhluk ciptaannya, terhormat atau tidak, miskin atau kaya. Jika seperti itu kau sekarang, maka itulah kedudukan yang telah ditetapkan Tuhan untukmu. Pemulung bukan tidak berusaha, pemulung bukan malas, pemulung bukan tidak mau berjuang lebih keras lagi. Tuhan pasti punya kedudukan yang mulia bagimu jika kau tidak mengurangi kodratmu. Jika hatimu yang kau kayakan, maka kau akan kaya bahkan lebih kaya dari orang paling kaya dari orang yang terkaya di dunia ini. Mungkin bukan kaya atau miskin tepatnya, termulia.

Desember ku, 2010 ku, 49 jam 47 menit lagi akan berakhir.
Tuhan, aku mohon Ampun.
aku cuma kura-kura, cuma buruk rupa, cuma burung yang sayapnya patah, cuma pemulung.
Siapa aku setahun ini Tuhan? Apa aku setahun ini Tuhan? Mengapa aku setahun ini Tuhan? Bagaimana aku setahun ini Tuhan? Kapan aku setahun ini Tuhan? Dimana aku setahun ini Tuhan?

Hujan. Deras, angin di hari-hari terakhir ini benar-benar dingin. Dingin seperti kumpulan molekul di lautan luas itu, dingin seperti tubuh mayat yang sudah lama mati, dingin seperti lamanya kau menyentuh molekul air yang sudah membatu, sedingin hatiku.

Desember ku, 2010 ku, 49 jam 35 menit lagi akan berakhir.
Aku memandang ke arah wajah jendela. Basah karena rembesan air hujan-Mu yang deras.
Aku memandang ke arah wajahku sendiri. Basah karena rembesan air mata ku yang juga deras.

Tuhan, aku mohon Ampun, atas nikmatku yang bukan kehendak-Mu, atas ulahku yang bukan seruan-Mu, atas lalaiku yang bukan disiplin-Mu,
Tuhan, aku serah syukur, atas adanya kura-kura yang jalannya lambat itu, si buruk rupa itu, burung yang sayapnya patah itu, pemulung dengan keringat kotornya itu.
Desember ku, 2010 ku, 49 jam 26 menit lagi akan berakhir.

Rabu, 22 Desember 2010

Namanya


aku klise. Pagi ini dia tidak mengangkat telepon. tidak pagi sekali menurutku.
Pertama aku membuka mata di hari ini, yang kuingat cuma dia, sungguh bukan siapa-siapa, hanya dia. Tidak juga hingar bingar di luar sana yang yang membicarakan tentang kaum sebangsa dia, pagi ini aku hanya ingin  menyapanya.

Masih belum sadar, masih mengumpulkan nyawa demi nyawa yang tidak berada di jasadku selama 6 jam yang lalu, hanya dia, yang kupikirkan hanya dia. Sebuah kontak nama, nama itu, yang tidak pernah tidak kusebut di setiap doaku, yang tidak pernah tidak kusebut di setiap rinduku, yang tidak pernah tidak kusebut di setiap desahan pelukku, yang tidak pernah tidak kusebut setiap kali aku menangis, aku membutuhkan dia untuk menyeka setiap titik air mata ku.

Dia seorang pengabdi, pengabdi bagi mereka, dia terlibat dalam setiap proses perjalanan hidup entah berapa orang yang mengenalnya dan mengingatnya sampai saat ini. Banyak yang rindu padanya, banyak yang mengingatnya, tidak sedikit juga yang mengganggapnya berjasa dalam hidup mereka. Tapi aku tahu, dari sekian banyak rindu untuknya, rindu nya hanya akan ada buatku dan dua lagi. Tapi aku tahu, dari sekian banyak jasa yang dihutangkan padanya, hutang jasa yang sesungguhnya hanya ada padaku dan dua lagi.
Aku. Dengan jasadku yang sebesar ini, aku tahu dia pasti tidak lupa dengan jasadku dulu yang mungil, lalu tidak mungil lagi, lebih pantas disebut kecil, lalu tidak kecil lagi, lebih pantas disebut besar, lalu sampai lebih besar darinya, lebih kuat darinya, lebih gagah darinya, namun aku tahu itu bukan sedih baginya, namun justru bahagia baginya.

Dia. Saat semua orang masih mencium bau kencur dariku, saat aku masih belum pandai berkata-berkata seperti sekarang, saat aku masih belum becus mengikat tali sepatuku di hari pertama sekolah, saat aku masih buang air kecil dengan seenaknya di kasurku setiap harinya, saat aku seenaknya berteriak “tidak mau” saat makanan yang ada di kotak bekalku tidak sesuai dengan keinginanku, saat aku berteriak “tidak mau” dan menghempaskan tangannya yang sebenarnya ingin mengantarku sampai ke depan kelas waktu aku duduk di taman kanak-kanak itu dulu.

Aku egois, tapi aku tetap sedih, aku sedih, saat tangan yang menyambut tanganku ketika keluar kelas bukanlah tangannya, wajah yang kutemui pertama kali saat tiba dirumah setelah pulang sekolah bukanlah wajahnya, saat suapan pertama makan siangku setiap hari itu bukanlah suapan lembut darinya.
Setibanya dia, aku pasti memeluknya, dia pasti tahu bahwa aku selalu sangat merindukannya, walau cuma beberapa jam saja tidak bertemu, aku selalu merindukan dia. Aku di titipkan, aku diasuhkan, aku tidak bersamanya saat aku pulang sekolah, aku sedih.

Aku, aku ingat janjiku pada waktu itu, aku tidak akan pernah pergi bermain sebelum dia pulang, sebelum bertemu dengannya, sebelum aku menyambut tangannya, sebelum mencium pipinya. Segera menuju ke pintu saat aku mendengar deru motornya pertanda dia pulang.
Saat masa liburku, aku senang sekali jika dia mengajakku menemaninya mengabdi, aku dipuji, pipiku dicubit oleh mereka- mereka yang sudah lebih tua dariku, aku senang, saat duduk manis di kursinya dan melihatnya membagi ilmu, melihatnya dengan sabar memberitahu apa maksud dari angka- angka itu. Aku senang. Saat dia begitu bangganya mengenalkanku pada setiap siapapun yang menanyakan tentang aku disana.

Aku takut padanya. Dia selalu marah. Saat aku pulang sekolah sendiri, dia marah. Saat makanan di kotak bekal ku tidak habis, dia marah. Saat pulang sekolah aku membawa oleh-oleh goresan luka akibat ulahku di sekolah, dia marah. Saat suaminya memarahiku karena aku pulang bermain terlalu sore, dia menangis.

Sampai aku tidak lagi kecil, lulus SD ku. Aku masih bersamanya.
Aku selalu bisa bersamanya saat menjelang aku masuk kelas, aku selalu bisa pulang sekolah bersamanya, saat jam istirahat pun, aku bisa melihatnya di ruangan itu dari kejauhan, saat aku ingin menangis di sekolah, aku selalu datang padanya. Saat jajanku terlalu banyak, aku mendatanginya untuk meminta uang yang lebih lagi. Saat dia lewat di kejauhan, aku tersenyum padanya. Dia membalas senyumku. Aku tidak peduli berapa banyak topik pembicaraan yang aku dengar tentangnya, banyak yang memujinya, tapi tidak sedikit pula yang membencinya, aku tidak peduli itu. Saat raporku belum sempat dibagikan, dia sudah sempat memberiku selamat atas prestasi nilaiku yang tidak jelek. Saat aku berulah, aku jahat sekali, aku merasa bersalah sekali, aku memohon dengan sangat pada waktu itu, agar dia tidak mengetahui ulahku ini. Aku tahu dia tahu, tapi dia tidak pernah memarahiku, dia tidak pernah ingin membahasnya.

Sampai aku sudah lebih besar dari tidak kecil lagi. lulus SMP ku. Aku masih bersamanya.
Entah mengapa saat inilah, mandiri ku baru dimulai. Aku tidak lagi diantarkan ke sekolah, aku tidak lagi di bawakan bekal makanan untuk di sekolah, aku tidak lagi pulang bersamanya, saat makan siangku tidak lagi bersamanya, saat aku ingin menangis, aku tidak ingin menangis, aku tidak lagi seperti dulu, anak manis yang selalu mencium tangannya ketika pulang sekolah, anak manis yang selalu mencium pipinya setiap kali aku pulang sekolah, aku lebih banyak lupa untuk mencium tangannya ketika aku pulang sekolah, aku lebih banyak menyebut kata “ah” di setiap kali dia meminta tolong kepadaku untuk melakukan sesuatu, aku lebih banyak menyebut kata “nanti” saat dia sebenarnya ingin segera. Aku lebih sering tidak memperhatikan dia saat keinginanku tidak dipenuhi. Semakin aku tumbuh, tidak kecil lagi, aku lebih sering mengabaikan kata-katanya. Jika sudah begitu, dia hanya bisa menangis, dan aku sudah tidak bisa menghitung berapa banyak tangisnya untukku. Saat aku sudah harus belajar membuat keputusan sendiri, aku tidak terlalu memikirkannya, hanya memikirkan diriku sendiri.

Sampai lebih besar lagi, lulus SMA ku. Aku tidak bisa selalu bersamanya, tapi aku masih bersamanya.
Dia menangis, dia menangis, entah berapa banyak air matanya pada waktu itu. Aku punya cita-cita, aku tahu dia bangga dengan cita-citaku itu, tapi aku tahu bahwa dia pun tidak tahu harus berbuat apa-apa saat keinginannya bertentangan dengan cita-cita ku ini. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan saat itu, aku juga tidak tahu apa yang aku pikirkan saat itu.

Hingga sekarang, aku tidak selalu bisa bersamanya. Tangisnya waktu itu sempat membuatku putus asa, tapi aku tegar, untuknya juga. Sekarang, aku sedih bahwa setidaknya aku harus menunggu beberapa bulan untuk bertemu dengannya, untuk memeluknya, untuk mencium tangannya.

Kali ini, aku merindukannya bukan hanya dalam hitungan jam, tapi dalam hitungan bulan..
Kali ini, aku mencium tangannya bukan hanya sekedar pamit untuk pergi ke sekolah atau pulang sekolah.
Kali ini, aku memeluknya bukan hanya sekedar melepas rindu beberapa hari, tapi berhari-hari.

Aku benci menjadi dewasa. Terlalu banyak urusan yang membuatku harus tidak selalu bersamanya. Aku hanya bisa menahan tangis jika aku terlalu rindu padanya, hanya karena tidak ingin membuatnya menangis. Aku tahu dia selalu menahan tangisnya setiap kali pergi mengantarku. Aku tahu dia selalu ingin memelukku.
Aku sedih, saat beberapa hari dia tidak menghubungiku. Tapi tanpa di jelaskan apapun itu, aku tahu rindunya selalu ada untukku.

Telepon ku berdering, namanya ada,  Mama.
maaf nina, tadi hape mama dalem tas, mama dak denger, nina dak ujian? Kok telpon mama?
aku dak ujian hari ini ma, besok baru ada ujian lagi
oooh, bearti belajar lah hari ini, ini mama lagi di sekolah
iyo ma, mama..?
“apo? Nak ngomong apo abok?
selamat hari ibu ya maaa,
oohh, oo iyoo ee, nah mama lupo kalo hari ini hari ibu, iyo book, makasih yo book..
semoga mama selalu sehaaat
aminn
 “semoga mama selalu bahagiaa
amiin
semoga mama selalu rejeki nyo lancaar, aku sayang mama..
amiin naak, iyo mama jugo kangen samo nina, denget lagi nina nak balek, belajar lah nak yoo..mama doain terus nah………………………………………………………………………

Pembicaraan ku dengannya tidak terlalu panjang, aku tahu setiap akhir semester begini dia selalu sibuk dengan tugas-tugasnya itu.Tulisanku belum selesai. Aku rindu mama. Aku sangat rindu mama. Mama adalah alasanku ingin cepat- cepat pulang. Aku ingin menemaninya. Mama ku bukan siapa-siapa, tapi dia adalah mama, rinduku selalu tak terhingga untuknya.

Mama, yang dulu pernah berkata padaku “kebahagiaan mama yang terbesar itu adalah kalian, bahagia melihat kalian bahagia”, “semangat hidup mama cuma kalian”, “mama dak pengen apo-apo, dak pengen suatu saat kalian ngasih duit ke mama, dak pengen suatu saat kalian ngebiayain mama naik haji, atau apapun itu,  mama cuma ingin selalu bersama kalian

Terimakasih Tuhan. Aku bisa mendengar suaranya saat ku sapa dirinya, aku bisa melihatnya sebagai orang pertama yang aku lihat saat aku tiba dirumah, aku bisa melihatnya mengantar dan menjemputku hingga sekarang.
Terimakasih Tuhan atas mamaku.




Sabtu, 18 Desember 2010

ouoh..ouoh..ouooh..


Kumat lagi. saya. Dengan segala yang saya pikirkan.
Dengan segala yang dibebankan.
Sebentar lagi UAS, tugas-tugas yang dikasih sangat hebat, sangat hebat! Terimakasih dosen-dosen saya tercinta!

Mama, Papa, nun jauh disana.
Mama barusan telepon. “ayuk nopa pindah rumah sakit, tabung oksigennya udah dilepas, tapi tetep pake mesin pernapasan, mama samo papa hari ini sm skali dak istirahat, terutama papa kau”

Ini juga, menyita pikiran saya sangat banyak.
UAS, tugas akhir, ya ampun, saya ingin nangis.
“saya mau tugas revisi nya dikumpul pas UAS ya”
“jangan lupa take home nya dikumpul pas UAS ya”
“proposal buruan dibikin ya”
“dananya bisa dikurangin lagi ga?”
“nina gimana donaturnya?”
Oh Tuhan, saya kumat lagi, saya mau pulang.

Saya mau ada di samping mama, samping papa, samping yuk nova,
Beberapa hari ini selama ayuk nova dirawat dirumah sakit, mama selalu menelpon di saat malam telah larut, dan saya selalu berdoa dalam hati, semoga mama tidak membawa kabar buruk.
“nina jago kesehatan ya, jangan sampe sakit”, “jangan ampe kena angin malem, dak bagus”
Beban pikiran saya.

Belum lagi ini, postingan di wall saya,
“ada sesuatu yg ketinggalan ,emm ,,mo ngaku atau ak tembak niee”, saya berpikir kalimat apa yang harus saya post sebagai balasannya.
Telepon bergetar saat saya sedang kuliah hari ini tadi,
“nina, biso jelasin status kau itu? itu nama berbeda dengan wong yang samo kan?, jawab nin..”
Saya diam. Memilih untuk tidak menjawab.
Malam ini sms masuk, “nina, rendy felikstian itu dyas kan?”
Saya menghela. Memilih untuk tidak membalas.
Itu juga beban saya.

Belum lagi kemungkinan untuk saya ke liburan saya ke Surabaya terancam batal, lagipula saya sedang tidak ingin memikirkan liburan di saat keluarga saya sedang dalam keadaan sedih disana, saat UAS saya masih gantung bagaimana hasilnya. Saat acara baksos belum jelas nasibnya berada di tangan saya.
Saya mau pulang.

Ini bulan desember. 
Angin diluar sana terasa tidak sehat, anginnya kencang tapi hembusan nya tidak sejuk.
Ini bulan desember. 
Seharusnya dirancang untuk berakhir seindah mungkin.

UAS saya berakhir di tanggal 30, semoga bulan desember berakhir dengan indah.

Banyak yang saya pikirkan, bahkan sampai hal yang seharusnya tidak saya pikirkan masih saja tetap saya pikirkan. Bodoh.

20 desember nanti, hari pertama UAS, mata kuliah teknik kuantitatif,

musuh terbesar saya di semester lima ini, ujian nya open book, saya harus menang.

22 desember nanti, saya masih berpikir kado apa yang mau saya kasih ke mama, kado yang harus bikin mama terharu, tapi saya bingung..

25 desember nanti, umat nasrani merayakan hari raya natal,
Saya sudah punya kado natal untuk dyas. bukan, bukan Cuma untuk dyas, untuk semuanya,
Saya menggambar ini tadi siang saat hujan badai mendera depok, saya mengambil crayon di lemari, dan sertakan pinus mini yang saya petik di pinggir danau balairung kemarin..



Jadi lah hasil karya saya tadi siang, Special buat dyas, buat novita, buat vani, buat nenek Anthony, buat bik eka dan mang anton, buat bik shinta, dan buat mereka yang special lainnya yang merayakan natal,
Selamat hari natal ya…

Desember, cepatlah berakhir..
UAS oh UAS, Cuma mama dan papa yang bisa jadi semangat buat melalui hari-hari yang berat selama dua minggu ke depan,

Semangat!!!

silahkan dengar sekelubit karya menjelang UAS, check it out : http://www.youtube.com/watch?v
=4EOTIEK2nsA




Jumat, 10 Desember 2010

Peluk, Pertama, Terakhir.


Ada keanehan yang menyembul keluar dan kini menguasai pikiranku, yang membuat aku berjarak dengan diriku sendiri dan memunculkan satu Tanya : “mengapa kulakukan ini?”

Keanehan lain menyusul,, yakni jawaban muncul dengan sendirinya tanpa proses berpikir :memang ini jalannya. Itukah yang dinamakan firasat? Menahun sudah aku tahu. Hari ini akan tiba. Tapi bagaimana bisa pernah kujelaskan? Aku menyayangimu seperti kusayangi diriku sendiri. Bagaimana bisa kita ingin pisah dengan diri sendiri?

Barangkali itulah mengapa kematian ada. Aku menduga. Mengapa kita mengenal konsep berpisah dan bersua. Terkadang kita memang harus berpisah dengan diri kita sendiri: dengan proyeksi. Diri yang telah menjelma menjadi manusia yang kita cinta.

Sedari tadi kamu seperti orang kesakitan, merangkul erat badanmu sendiri dengan mulut terkatup rapat dan rahang mengencang. Aku ingin bilang, aku paham kenapa kamu sakit. Namun tak sepatah kata pun keluar. Aku ingin bilang, aku sakit melihat kamu sakit. Namun bungkusan udara ini memberangus mulut kita berdua.

Mengapa kata-kata justru hilang pada saat seperti ini? Saat kulihat kamu butuh penghiburan, nasihat bijak, atau humor segar agar kesedihan ini beroleh penawar? Kemampuan kita berkata-kata menguap. Kemampuanku melucu lenyap. Kebisuan menjadi hadiah kebersamaan kita bertahun-tahun. Aku ingin bilang, berbarengan dengan makin pilunya hati ini, ada keindahan yang kurasakan, dan aku tidak mengerti mengapa bisa demikian.

Pandangan mata kita yang sedari tadi berlari-lari mulai berani menemukan satu sama lain. Rasanya kita sama-sama tahu, entah kapan lagi tatapan seperti ini terjalin. Tak mungkin ku lupa caramu memandangku, dan tak mungkin kau lupa bagaimana semua ini bermula. Aneh. Pada saat kita hendak berbalik dan menutup pintu, mendadak ruang yang kita tinggalkan memunculkan keindahan yang selama ini entah bersembunyi dimana.

Tanganmu bergerak bimbang seperti ingin meraih tanganku, tapi kau urungkan niat itu. dua manusia yang sudah bercinta bertahun-tahun dan merasakan setiap jengkal kulit masing-masing, mendadak enggan untuk bersentuhan.

“habis ini, lalu apa? Kamu sendirian. Aku sendirian. Buat apa? Kenapa kita tidak berdua lagi saja?”

Suaramu pertama dalam setengah jam terakhir.

Mulutku reflex membuka, ingin menjawab. Tapi tak ada bunyi keluar selain tiupan karbonndioksida. Aku tak tahu jawabannya. Aku tidak tahu sesudah ini lantas menjadi apa. Aku tidak tahu kenapa dua manusia yang saling sayang harus kembali berjalan sendiri-sendiri.

Namun kurasa hatimu tahu, seperti hati ku pun tahu. Jika malam  ini kita memutuskan untuk terus bersama, itu karena kita tidak tahu bagaimana menangani kesendirian. Aku tidak ingin bersamamu Cuma karena enggan sendiri. Kau tidak layak untuk itu. seseorang mestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi.

“apa artinya cinta yang tidak lagi sama, yang kamu sebut-sebut sejak tadi itu? memang cinta ada berapa macam?” tanyamu dengan nada meninggi. Air mata yang tadi sudah reda tampak siap-siap melancarkan serangan lanjutan. Entah kenapa gelontor lagi yang bakal tiba. Mendadak aku lelah karena harus menjelaskan variasi cinta macam pedagang yang mempresentasikan catalog produk.

Aku tidak tahu cinta punya berapa macam varian. Kau harus bertanya langsung pada hatiku, karena dialah yang satu hari menutup dan mengucap :”cukup.” Dia yang berkata:”aku tidak lagi jatuh, jalan ini sudah jadi jalan lurus. Teruskan maka aku mati, karena takdirku adalah jatuh. Bukan berjalan di setapak datar apalagi mendaki.”

Hati adalah air, aku lantas menyimpulkan. Baru mengalir jika menggulir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Ada gravitasi yang secara alamiah menggiringnya. Dan jika peristiwa jatuh hati diumpamakan air terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali. Namun kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir. Siapa yang mengatur itu? aku pun tak tahu. Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.

Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Aliran ini harus kembali memecah dua agar kita sama-sama bergerak. Sebelum kita terlalu jengah dan akhirnya pisah dalam amarah.

Jadi, aku tidak tahu cinta itu terdiri dari berapa macam. Yang kutahu, cinta ini tersendat, dan hatiku seperti mau mati pengap. Kendati kusayang kamu lebih dari siapapun yang kutahu. Kendati bersamamu senyaman berselimut pada saat hujan. Aku aman. Namun aku menggerontang kekeringan. Dan kini ku tersadar, aku butuh hujan itu. lebih dari apapun.

“kamu akan menyesal..” gumamku lagi.

Mungkin. Kini kita mungkin tak tahu.

“enam tahun. Kita akan buang enam tahun begitu saja?” retorikal dan getir, kamu bertanya.

Kamu bukan tisu sekali pakai. Kita tidak mungkin membuang apapun jika kita percaya hati diperuntukkan untuk menyimpan. Otakku merekam dan menyimpan kamu, kita, dan enam tahun ini. Hati tidak pernah menyimpan apa-apa. Ia menyalurkan segalanya, mengalir, hanya mengalir. Namun, kata-kata membeku di ujung mulutku seperti stalaktit dan stalagmite. Tampak dinamis dalam konsep tapi tak bergerak.

“ngomong dong!” tiba-tiba suaramu meledak murka.

Bentakanmu seperti aba-aba perwira yang menggerakkan kedua tanganku untuk tahu-tahu merengkuhmu. Reflex yang tak kusangka akan muncul.

Tubuhmu berontak. Kurasakan amarahmu, sakitmu. Ku pererat rengkuhanku. Tanganmu meronta, berusaha melepaskan diri. Wajahmu kau tarik menjauh. Segalam macam kau kerahkan untuk bebas dari pelukanku. Namun aku bertahan.

Rasakan, bisikku dalam hati. Panas tubh kita berdua mencairkan apa yang sudah beku bertahun-tahun. Rasakan betapa lamanya kita terlelap dan membiarkan aliran itu padam.  Begitu terbiasa kita memandangi taring-taring es itu hingga menjadi layaknya akseseori ruangan, padahal kita sudah mau mati kedinginan, kekeringan. Kamu tidak layak didera. Kita tak layak disiksa.

Berangsur, tubuhmu tenang. Otot-ototmu yang tegang mulai melemas, lelah meronta, dan lunglai dalam pelukanku. Kau mulai menangis. Aku mulai menangis. Lenganmu perlahan mendaki dan balik mendekapku. Kita resmi berpelukan.



Cukup lama tubuh kita terpaut hingga kata-kata yang menggantung beku mulai cair dan mengalir ke dalam darah kita masing-masing. Hatimu tahu, seperti hatiku pun tahu. Nadi kita mendenyutkan pesan-pesan yang tahunan sudah menanti untuk bersuara. Inilah keindahan yang kumaksud. Kejujuran tanpa suara yang tak menyisakan ruang untuk dusta. Sakit ini tak terobati dan bukan untuk diobati.  Dan itu jugalah keindahan yang kumaksud. Rasakan semua, demikian pinta sang hati. Amarah atau asmara, kasih atau pedih, segalanya indah jika memang tepat pada waktunya. Dan inilah hatiku, pada dini hari yang hening. Bening. Apa adanya.

Hati-hati, lenganku melonggar, melepaskan tubuhmu. Aku tahu aku telah dimengerti, meski sekali saja pelukanku.


(“Peluk”. Dewi Lestari.)

Kata demi kata, semua menyapa kemudian menghinaku. Hanya dewi yang tahu tulisan itu fiksi atau bukan. Bagiku, itu realita. Itu nyata. Kata demi kata dilempar ke mukaku. Namun, kita tidak sebentar,kita lama. Tujuh tahun. Aku merasakan. Pertama kali aku memelukmu. Pertama kali aku melihatmu menangis. Pertama kali aku bersandar di bahumu. Pertama kali aku menyentuh pipimu, menyeka airmatamu. Pertama kali kita menangis bersama. Pertama kali kau “menyentuhku”. Semua itu. mungkin juga untuk yang terakhir kali. Bukan mungkin, tapi harus. Harus untuk yang terakhir. Pertama dan terakhir. Namun aku rela. Aku tulus, kau pantas mendapatkan itu. seperti kata Dewi, kamu tak layak didera, kita tak layak disiksa.




Aku sebut ini pertama dan terakhir. (“Pertama, Terakhir”. Nina Meilisa)

sadari diriku pun sendiri, di dini hari yang sepi, tetapi apalah arti bersama, berdua. Namun semu semata. Tanpa harus ku berdusta, karena kaulah satu yang kusayang, dan tak layak kau didera

Rabu, 08 Desember 2010

lagi


Hari ini rabu lagi.
Mata kuliah kebijakan publik lagi.
Dan saya, mulai ngelantur lagi.
Saya ingat minggu yang lalu di hari yang sama dengan mata kuliah yang sama di ruang kelas yang sama, di jam yang sama, saya pun melakukan hal yang sama, menulis hal-hal yang tidak penting begini.
Oh Tuhan, maafkan hamba ya, Bu Dosen juga maafkan saya ya.

Sekarang, saya duduk di barisan belakang lagi. beginilah kalau memilih mengikuti kuliah duduk di bangku belakang, yang ada bukan merhatiiin dosen tapi malah ngelindur ga jelas.
Berbeda dengan minggu lalu, kali ini materinya adalah evaluasi kebijakan publik.


Di sebelah kiri saya ada riko (tetap gaya nya yang selalu begitu)

Di sebelah kanan saya ada fajar (no comment)


Di depan saya ada febri, sebelahnya lagi ada deasy, di sebelahnya lagi ada mbak depe.



Minggu lalu, beberapa anak telat masuk kelas, tapi minggu ini giliran dosennya yang telat setengah jam.
Ini evaluasi kebijakan publik..
Materi yang saya dapat mulai dari semester satu, agak sedikit bosan sih..hehe
Oh Tidaakk, dua minggu lagi udah UAS ya?
Ya udah sih UAS mah UAS aja.haha
Ngantuk banget Ya Allah.
OK. STOP ! perhatiin dosen sekarang juga!

(kelas kebijakan public 08 desember 2010, M.301)

bertemu gadess, haha


Sherly hanifarianty.
Teman lama, sejak SMP, hingga SMA.
Dua tahun tidak bertemu, waktu yang cukup lama. Saya akui saya rindu padanya.
Cuma Malaysia. Iya dia kuliah di UMT Malaysia.
Saya dan sherly mulai bersahabat sejak kelas satu SMP. Sherly yang dulu sering saya panggil “keteng” atau “egh bedeghot” (haha, maap ya sher)
Sherly yang dulu sempat terpilih sebagai “Gadis” pertama di SMA saya.
Saya benar-benar tidak menyangka. Lalu kabar dia kuliah di Malaysia tidak begitu saja saya tahu, saya justru tahu dari teman yang lain.

Saya dan sherly sempat jauh beberapa tahun, lalu dekat lagi.
Setelah lulus SMA, baru hari ini saya bertemu dengannya.
Ceriwisnya, cara tertawanya, cara bicaranya ( yang dulu Palembang banget agak sedikit tercemar dengan bahasa melayu Malaysia itu) tetap sama seperti dulu. Postur tubuhnya yang dulu zaman SMP adalah saya yang lebih tinggi darinya, sekarang justru saya yang lebih pendek dari nya..haha..

Saya dan sherly hanya sempat bertemu di Jakarta, karena jadwal liburnya yang hanya sebentar.
CITOS dan PIM, pilihan bagi kami menghabiskan waktu bersama.
Berkeliling, waktu sepanjang jalan dihabiskan untuk mengobrol, obrolan kami sederhana, sesekali menggosipkan teman satu SMA dulu, sesekali bercerita tentang kehidupan kita sekarang, sesekali menggosipkan teman SMP, bahasa yang digunakan campur-campur, bahasa Palembang, bahasa Indonesia, tidak jarang sherly masih terlihat menggunakan bahasa melayu nya itu.

Hanya berkeliling PIM dan Citos, tidak ada satu barangpun yang dibeli, hanya makan, foto-foto dan makan ice cream, bagi saya yang penting moment nya ini, entah kapan lagi saya bisa ketemu sherly.


Sherly yang kuliah dengan full beasiswa, saya Tanya “sher, stelah lulus S1, mau kemana sher?
serly mau lanjut ke S2  di Malaysia lagi nina, beasiswa lagi
Sherly, dulu yang saya kenal biasa –biasa saja, saya seperti baru mengenalnya, sherly semangat sekali dalam mengejar cita-citanya, iya mungkin karena saya sudah lama tidak mengobrol dengannya.
Hanya saja dulu SMA saya beberapa kali pulang sekolah jalan kaki bersama ke depan. Hanya kebetulan ketemu saja.
Sore hari. Kita tidak bisa berlama-lama. Karena tempat tinggal shrly di bintaro dan saya di depok yang lumayan sama-sama jauh dari PIM, kita berpisah.
semoga kita bisa ketemu lagi nin, yaa..” (saya dan sherly cipika cipiki dua kali)haha.

Good luck sherly, nice to meet you  :)


(07 desember 2010)

Menunggu redanya Hujan dan terbitnya Pelangi


Hujan, kau ingatkan aku, tentang satu rindu
Rindu pada mereka yang juga merindukan hujan. Dengan harapan bahwa sesudah turunnya hujan sang pelangi akan datang.
Pelangi yang datang menenangkan setelah derasnya hujan.
Pelangi yang datang mewarnai kelamnya langit.
Pelangi yang datang mewarnai hidupku.

Hujan.  “aku selalu bahagia saat hujan turun
Mungkin benar, mungkin juga tidak.
Hujan, disini aku sedang menunggu, menunggu pelangi.
Menatapmu hujan, memandangmu hujan.
Disini, di sebuah teras gedung perpustakaan.

Kau hujan, mengapa hari ini turun terus menerus?
Tapi aku selalu menunggumu.
Aku tidak berpura-pura menatapmu. Aku memang menatapmu.
Hujan, hari sudah semakin sore. Aku khawatir kau tidak jua berhenti hingga matahari pulang.
Dan itu artinya pelangi itu tidak akan datang.
Karena hari sudah gelap. Oh, sudah gelap?
Berarti pelangi tidak akan mewarnai  hidupku disaat hari sudah gelap ya?
Tersadar.

Ternyata pelangi hanya datang mewarnai jika hariku memang masih terang. Lalu siapa? Bintang? Ah bintang terlalu banyak  hingga aku ragu mana bintang yang sesungguhnya memang untukku.
Sekarang malam. Matahari sudah tidak ada.
Aku masih menunggu.
Mungkin akan muncul pelangi di malam hari.
Ah, mustahil.
Mana mungkin pelangi muncul di malam hari, buang –buang waktu saja aku menunggunya.
Iya, menunggu pelangi adalah sia-sia, setelah hujan turun, pelangi belum tentu datang, apalagi hujan talk kunjung berhenti. Sampai malam.
Berarti pelangi tidak abadi ya?
Lalu apa yang abadi?
Matahari..? tidak juga, matahari hilang jika malam.
Bulan? Tidak juga, bulan hilang jika pagi.
Bintang? Tidak juga, bintang hanya ada di saat malam
Kadang-kadang sinarnya tidak cukup terang untuk malam yang kadang-kadang terlalu pekat untuk dilewati.
Berarti memang tidak ada yang abadi.

Malam lagi.
Aku masih duduk menunggu hujan menunggu ketidakpastian.
Aku bersandar di bahunya.
Bahu seorang teman.
Bercerita. Berbicara.
Di tengah redupnya hari, dan mendungnya pikiran, dan dinginnya hujan.
Kami bercerita. Tentang apa saja yang ingin kami ceritakan.
Kadang –kadang satu pendapat, kadang- kadang tidak. Wajar.
Belajar dari ceritanya, dan belajar dari ceritaku.
Memahami.
Hatiku dan hatinya, tidak ada yang tahu sedang merasakan apa.
Semakin malam semakin dingin.
Hujan tak kunjung berhenti dan pelangi sudahlah jangan diharap lagi.


ku mampu bertahan, dengan separuh cintaku, biarkan rasa sakit di hati, hujan nanti yang akan membasahi”


(06 desember 2010, slasar MBRC FISIP UI, 16.00-19.00 wib)

Minggu, 05 Desember 2010

BUTA


Break.
Ruangan ini tidak terlalu penuh, tapi cukup berisi lah, sayang sekali untuk acara seperti ini yang menurut saya sangat menarik tetap saja sepi karena waktunya bertepatan dengan weekend sehingga orang- orang  lebih memilih untuk tinggal dirumah berleha-leha.

Lirik sebelah kiri, tidak sengaja melihat guntur dan rara sedang berduaan, ngobrol. Mereka berdua, iya, melihat mereka berdua sangat dekat semakin membuatku yakin bahwa cinta itu memang buta. Cinta sangat buta. Jika kau ditanya mengapa kau mencintai seseorang, saya yakin pasti anda tidak mengetahui alasannya kenapa, tidak melihat siapa dia dan kita, apa dia dan kita, mengapa dia dan kita, bagaimana dia dan kita,  dan kapan dia dan kita.

Cinta itu egois, dia datang dan pergi sesuka dia. Cinta itu tidak mendengar, cinta tidak melihat, tapi cinta hanya merasakan, hanya merasakan, hanya merasakan.

Guntur dan rara, mereka sangat dekat belakangan ini, saya yakin bahwa mereka sebenarnya sadar bahwa mereka telah menjadi pembicaraan di kelas belakangan ini, yaa itu juga yang saya rasakan waktu saya dekat dengannya dulu.

Mereka, saya tidak tahu apakah mereka menjalani hubungan itu dengan komitmen pacaran atau tidak, tapi yang saya lihat dari mata mereka berdua adalah mereka saling mencintai, mereka saling menyayangi.
Itulah cinta, sudah saya bilang bahwa cinta itu egois. Cinta selalu datang dan pergi tanpa pamit. Seenaknya saja. Cinta selalu tidak punya alasan dan selalu tidak membutuhkan syarat apapun.

Guntur. Sosok yang tangguh, sosok yang kuat, sosok yang pandai bicara dengan menggunakan teori –teori yang berat. Sosok yang berani berkritisi. Namun sifat-sifatnya yang mungkin tidak seimbang dan kata-katanya yang terlalu tinggi membuat sebagian teman tidak terlalu menyukai dia.

Sedangkan rara, rara adalah sosok yang kalem, sosok yang manis, sosok yang lembut, sangat bertentangan dengan kepribadian Guntur, saya yakin juga bahwa rara sebenarnya tidak sama dengan Guntur yang seringkali memandang sesuatu di dunia ini dengan menggunakan filosofi dan filsafat.
Lagi-lagi saya katakan, bahwa cinta itu egois. Cinta selalu datang dan pergi tanpa pamit. Seenaknya saja. Cinta selalu tidak punya alasan dan selalu tidak membutuhkan syarat apapun.

Guntur dan rara, sangat bertentangan, tapi mereka saling mencintai dan saling menyayangi. Yang selalu tidak bisa dihindari adalah komentar orang-orang yang tidak merasakan cinta itu.

Rara, setahu saya rara sudah mempunyai pacar dan belum terdengar kabar bahwa dia sudah putus dengan pacarnya itu. dan sekarang rara dengan Guntur, anda pasti bisa berpikir sendiri, iya, rara selingkuh. Semua orang menyalahkan mereka berdua, tidak rela jika mereka berdua.
Saya? Saya tidak membenarkan tindakan rara yang sudah jelas- jelas mengkhianati kesetiaan pacarnya yang mungkin belum mengetahui hubungan rara dan Guntur ini. Jahat.

Tapi saya juga tidak ingin menyalahkan rara. Saya mencoba mengerti. Rara mungkin juga tidak ingin seperti ini, jatuh cinta kepada seseorang yang tidak seharusnya, jatuh cinta kepada seseorang lain ketika dia masih berada dalam ikatan hubungan yang lebih dulu dia cintai, jatuh cinta kepada seseorang dimana seseorang itu adalah orang yang tidak disukai di dalam lingkungannya.

Saya yakin rara pasti juga tidak menginginkan ini sebelumnya dengan sangat sadar.
Tapi itulah cinta, jika seseorang sudah bicara cinta,apalagi yang harus kita sanggah? Apalagi yang harus kita debatkan? Semua sudah skak.

Saya percaya cinta itu buta. Benar- benar buta. Kaya miskin, tua muda, hitam putih, batak jawa, pintar bodoh, jauh dekat, Kristen islam.
Sudahlah, cerita rara dan Guntur hanya segilintir cerita yang melibatkan pergulatan di dalam cinta itu sendiri, du luar sana ada banyak cerita yang di racuni oleh cinta itu sendiri.

Masih break. Saya lupa di sebelah saya ada amel.
              "aku untuk kamu, kamu untuk aku, namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda,
              Tuhan memang…..

Saya mencari sumber suara yang mengeluarkan kalimat itu, kalimat yang sudah sangat saya kenal. seseorang sedang bernyanyi.
Ternyata amel.

Dalam hati saya membatin, “lagu ini lagi..”, lagu yang sering saya dengar belakangan ini, walaupun dulu setiap saat saya selalu menyanyikan lagu ini. Di kelas, jika sedang menunggu dosen, geng mereka itu pasti menyanyikan lagu ini. Lagu ini saya pikir tidak akan terlalu disukai seseorang kecuali seseorang tersebut mengalami kisah yang sama dengan kisah yang diceritakan dalam lagu ini.

Amel masih bernyanyi dan saya melihatnya sambil tersenyum, seolah amel adalah artis pujaan saya yang lagi konser di panggung dan saya berdiri di barisan penonton paling depan sambil memandanginya terkagum-kagum, “Tuhan memang satu kita yang tak sama, haruskah aku lantas pergi mesi cinta takkan bisa pergi
Mulut saya gatal untuk memberikan komentar, “ini lagu, dari kemaren gue denger mulu deh mel, ga dijalan, ga di kelas, ga di kantin, dimana-mana deh pokoknya
Amel : “lo tau ga nin? Ini lagu lagi made in banget tau sekarang
Saya : “lagu marcel kan? Iya gue tau, bagus lagunya” jawab saya seolah-olah menganggap lagu ini lagu yang biasa (padahal lagu ini lagu saya banget)
Amel : “bukan lagunya doang yang bagus nin, ceritanya menyentuh banget, lo udah liat videoclip nya belom? Gue nangis pas tiap kali nonton videoclipnya
Saya : “udah liat, iya sedih banget ya..
Amel : “iya sedih banget, lagu ini meresap banget nin di gue, gue ngerasain soalnya nin
Saya berdetak, saya terdiam, diam sejenak, saya memberanikan untuk bertanya kepadanya, “lo pernah sama yang beda agama mel?”
Amel : “ iya nin
Saya diam. Tidak mencoba bertanya lagi.
dulu nin, waktu SMA. gue cinta sama seorang Kristen, gue sama seorang cina Kristen
Dalam hati, saya mencoba membatin. Menghela nafas. Saya masih diam, menunggu mungkin amel masih mau bercerita.
        “gue sama dia tu saling sayang banget nin, gue ngerasa dia itu baik banget ke gue nin, tulus
         banget ke gue nin
Saya masih diam, masih akan tetap diam.
       “ dulu, pas kita sadar kita tu beda agama, gue sama dia sempet lose contact nin, lama banget nin
         selama dua tahun”,
Dalam hati saya semakin menghela nafas. Panjang. Kali ini saya mengeluarkan suara, “ trus mel? Ampe sekarang?”
        “Nah itu dia nin, kita tu sekarang udah berhubungan lagi, dan gue tu emang masih sayang sama
       dia nin, ternyata dia juga masih sayang sama gue”, “walaupun gue tahu dia dulu sempet jadian
       sama orang lain dan dia juga tahu kalo gue sempet jadian sama orang lain juga, tapi kita tu tetep
       masih saling sayang sama gue nin
Saya tidak usah membayangkan bagaimana ekspresi muka saya sekarang, saya hanya diam, menantikan cerita amel selanjutnya.
      “dia tu baek nin sama gue, dia tulus sama gue nina.. gue bisa merasakan itu nin, orang tuanya dia
       juga welcome sama gue, baik sama gue, perhatian sama gue nin, tapi orang tua gue yang ga bisa
       terima banget

Dalam hati saya membatin lagi. saya tidak tahu kenapa tiba-tiba cerita hal ini kepada saya. Amel adalah teman sekelas saya yang saya kenal ceria dan pinter ngomong, blak-blakan, dan berani.  Yang semester kemaren sempet jadian dengan teman sekelas saya juga. Amel yang bukan peer group saya dan bukan teman akrab saya bahkan menumpahkan emosi ceritanya ke saya. Ternyata amel adalah seorang yang juga pernah punya cerita seperti ini. Cerita cinta beda agama. Amel merasakan juga.
iya mel, gue ngerti kok”, cuma itu yang ingin saya katakan. “gue ngerti gimana rasanya gimana kalo lo cinta sama orang yang beda agama

lo pikir deh nin, hati gue sakit saat dia bilang sayang ke gue, gue juga sayang sama dia, tapi kita berdua sama-sama sadar kalo kita tuh ga bisa nin, gue mencoba untuk menjauh dari dia, dulu pas dia menghilang selama dua tahun gue baik-baik aja, sekarang dia malah deket ama gue lagi, gue ga pernah sms dia duluan, tapi dia yang selalu sms gue duluan, gue selalu pengen menghindar dari dia, tapi dia yang selalu deketin gue, selalu pengen maen kerumah gue, sms gue, telpon gue

gue ga bisa ngelupain dia kalo dia selalu ada di hidup gue, gue susah ngelupain dia kalo gini caranya, tapi gue sadar nin, ini tuh ga bisa, ga akan pernah bakal bisa, makanya yang bisa gue lakuin sekarang adalah jaga jarak nin, supayan gue sama dia ga sama-sama sakit lagi, tapi dia tuh selalu ngontak gue, jadi gue ga bisa ngelupain dia

Saya diam. Saya diam. Saya hanya mendengar cerita amel.
Saya yakin cinta itu buta. Sangat buta, Sangat buta. Cinta itu punya mata tapi dia tidak bisa melihat dan dia buta. Cinta tidak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta, kaya atau miskin, tua atau muda, pintar atau bodoh, hitam atau putih, batak atau jawa, Kristen atau islam.

Saya : “iya, gue ngerti kok mel
Sangat mengerti.