Ada keanehan yang menyembul keluar dan kini menguasai
pikiranku, yang membuat aku berjarak dengan diriku sendiri dan memunculkan satu
Tanya : “mengapa kulakukan ini?”
Keanehan lain menyusul,, yakni jawaban muncul dengan
sendirinya tanpa proses berpikir :memang
ini jalannya. Itukah yang dinamakan firasat? Menahun sudah aku tahu. Hari
ini akan tiba. Tapi bagaimana bisa pernah kujelaskan? Aku menyayangimu seperti
kusayangi diriku sendiri. Bagaimana bisa kita ingin pisah dengan diri sendiri?
Barangkali itulah mengapa kematian ada. Aku menduga. Mengapa
kita mengenal konsep berpisah dan bersua. Terkadang kita memang harus berpisah
dengan diri kita sendiri: dengan proyeksi. Diri yang telah menjelma menjadi
manusia yang kita cinta.
Sedari tadi kamu seperti orang kesakitan, merangkul erat
badanmu sendiri dengan mulut terkatup rapat dan rahang mengencang. Aku ingin
bilang, aku paham kenapa kamu sakit. Namun tak sepatah kata pun keluar. Aku
ingin bilang, aku sakit melihat kamu sakit. Namun bungkusan udara ini memberangus
mulut kita berdua.
Mengapa kata-kata justru hilang pada saat seperti ini? Saat
kulihat kamu butuh penghiburan, nasihat bijak, atau humor segar agar kesedihan
ini beroleh penawar? Kemampuan kita berkata-kata menguap. Kemampuanku melucu
lenyap. Kebisuan menjadi hadiah kebersamaan kita bertahun-tahun. Aku ingin
bilang, berbarengan dengan makin pilunya hati ini, ada keindahan yang
kurasakan, dan aku tidak mengerti mengapa bisa demikian.
Pandangan mata kita yang sedari tadi berlari-lari mulai
berani menemukan satu sama lain. Rasanya kita sama-sama tahu, entah kapan lagi
tatapan seperti ini terjalin. Tak mungkin ku lupa caramu memandangku, dan tak
mungkin kau lupa bagaimana semua ini bermula. Aneh. Pada saat kita hendak
berbalik dan menutup pintu, mendadak ruang yang kita tinggalkan memunculkan
keindahan yang selama ini entah bersembunyi dimana.
Tanganmu bergerak bimbang seperti ingin meraih tanganku,
tapi kau urungkan niat itu. dua manusia yang sudah bercinta bertahun-tahun dan
merasakan setiap jengkal kulit masing-masing, mendadak enggan untuk
bersentuhan.
“habis ini, lalu apa? Kamu sendirian. Aku sendirian. Buat apa?
Kenapa kita tidak berdua lagi saja?”
Suaramu pertama dalam setengah jam terakhir.
Mulutku reflex membuka, ingin menjawab. Tapi tak ada bunyi
keluar selain tiupan karbonndioksida. Aku tak tahu jawabannya. Aku tidak tahu
sesudah ini lantas menjadi apa. Aku tidak tahu kenapa dua manusia yang saling
sayang harus kembali berjalan sendiri-sendiri.
Namun kurasa hatimu tahu, seperti hati ku pun tahu. Jika malam ini kita memutuskan untuk terus bersama, itu
karena kita tidak tahu bagaimana menangani kesendirian. Aku tidak ingin
bersamamu Cuma karena enggan sendiri. Kau tidak layak untuk itu. seseorang
mestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin,
bukan ketakutannya akan sepi.
“apa artinya cinta yang tidak lagi sama, yang kamu
sebut-sebut sejak tadi itu? memang cinta ada berapa macam?” tanyamu dengan nada
meninggi. Air mata yang tadi sudah reda tampak siap-siap melancarkan serangan
lanjutan. Entah kenapa gelontor lagi yang bakal tiba. Mendadak aku lelah karena
harus menjelaskan variasi cinta macam pedagang yang mempresentasikan catalog produk.
Aku tidak tahu cinta punya berapa macam varian. Kau harus
bertanya langsung pada hatiku, karena dialah yang satu hari menutup dan
mengucap :”cukup.” Dia yang berkata:”aku tidak lagi jatuh, jalan ini sudah jadi
jalan lurus. Teruskan maka aku mati, karena takdirku adalah jatuh. Bukan berjalan
di setapak datar apalagi mendaki.”
Hati adalah air, aku lantas menyimpulkan. Baru mengalir jika
menggulir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Ada gravitasi
yang secara alamiah menggiringnya. Dan jika peristiwa jatuh hati diumpamakan air
terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali.
Namun kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku
berhenti mengalir. Siapa yang mengatur itu? aku pun tak tahu. Barangkali kita
berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia
menyalahkan siapa-siapa.
Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Aliran ini harus
kembali memecah dua agar kita sama-sama bergerak. Sebelum kita terlalu jengah
dan akhirnya pisah dalam amarah.
Jadi, aku tidak tahu cinta itu terdiri dari berapa macam. Yang
kutahu, cinta ini tersendat, dan hatiku seperti mau mati pengap. Kendati kusayang
kamu lebih dari siapapun yang kutahu. Kendati bersamamu senyaman berselimut
pada saat hujan. Aku aman. Namun aku menggerontang kekeringan. Dan kini ku
tersadar, aku butuh hujan itu. lebih dari apapun.
“kamu akan menyesal..” gumamku lagi.
Mungkin. Kini kita mungkin tak tahu.
“enam tahun. Kita akan buang enam tahun begitu saja?”
retorikal dan getir, kamu bertanya.
Kamu bukan tisu sekali pakai. Kita tidak mungkin membuang
apapun jika kita percaya hati diperuntukkan untuk menyimpan. Otakku merekam dan
menyimpan kamu, kita, dan enam tahun ini. Hati tidak pernah menyimpan apa-apa. Ia
menyalurkan segalanya, mengalir, hanya mengalir. Namun, kata-kata membeku di
ujung mulutku seperti stalaktit dan stalagmite. Tampak dinamis dalam konsep
tapi tak bergerak.
“ngomong dong!” tiba-tiba suaramu meledak murka.
Bentakanmu seperti aba-aba perwira yang menggerakkan kedua
tanganku untuk tahu-tahu merengkuhmu. Reflex yang tak kusangka akan muncul.
Tubuhmu berontak. Kurasakan amarahmu, sakitmu. Ku pererat
rengkuhanku. Tanganmu meronta, berusaha melepaskan diri. Wajahmu kau tarik
menjauh. Segalam macam kau kerahkan untuk bebas dari pelukanku. Namun aku
bertahan.
Rasakan, bisikku dalam hati. Panas tubh kita berdua
mencairkan apa yang sudah beku bertahun-tahun. Rasakan betapa lamanya kita
terlelap dan membiarkan aliran itu padam.
Begitu terbiasa kita memandangi taring-taring es itu hingga menjadi
layaknya akseseori ruangan, padahal kita sudah mau mati kedinginan, kekeringan.
Kamu tidak layak didera. Kita tak layak disiksa.
Berangsur, tubuhmu tenang. Otot-ototmu yang tegang mulai
melemas, lelah meronta, dan lunglai dalam pelukanku. Kau mulai menangis. Aku mulai
menangis. Lenganmu perlahan mendaki dan balik mendekapku. Kita resmi
berpelukan.
Cukup lama tubuh kita terpaut hingga kata-kata yang
menggantung beku mulai cair dan mengalir ke dalam darah kita masing-masing. Hatimu
tahu, seperti hatiku pun tahu. Nadi kita mendenyutkan pesan-pesan yang tahunan
sudah menanti untuk bersuara. Inilah keindahan yang kumaksud. Kejujuran tanpa
suara yang tak menyisakan ruang untuk dusta. Sakit ini tak terobati dan bukan
untuk diobati. Dan itu jugalah keindahan
yang kumaksud. Rasakan semua, demikian pinta sang hati. Amarah atau asmara,
kasih atau pedih, segalanya indah jika memang tepat pada waktunya. Dan inilah
hatiku, pada dini hari yang hening. Bening. Apa adanya.
Hati-hati, lenganku melonggar, melepaskan tubuhmu. Aku tahu
aku telah dimengerti, meski sekali saja pelukanku.
(“Peluk”. Dewi Lestari.)
Kata demi kata, semua
menyapa kemudian menghinaku. Hanya dewi yang tahu tulisan itu fiksi atau bukan.
Bagiku, itu realita. Itu nyata. Kata demi kata dilempar ke mukaku. Namun, kita
tidak sebentar,kita lama. Tujuh tahun. Aku merasakan. Pertama kali aku
memelukmu. Pertama kali aku melihatmu menangis. Pertama kali aku bersandar di
bahumu. Pertama kali aku menyentuh pipimu, menyeka airmatamu. Pertama
kali kita menangis bersama. Pertama kali kau “menyentuhku”. Semua itu. mungkin
juga untuk yang terakhir kali. Bukan mungkin, tapi harus. Harus untuk yang
terakhir. Pertama dan terakhir. Namun aku rela. Aku tulus, kau pantas
mendapatkan itu. seperti kata Dewi, kamu tak layak didera, kita tak layak
disiksa.
Aku sebut ini pertama dan terakhir. (“Pertama, Terakhir”.
Nina Meilisa)
“sadari diriku pun
sendiri, di dini hari yang sepi, tetapi apalah arti bersama, berdua. Namun semu
semata. Tanpa harus ku berdusta, karena kaulah satu yang kusayang, dan tak
layak kau didera”
gooodd,,,,,
BalasHapus