pelangi..pelangi...

pelangi..pelangi..
alangkah indahmu..
merah..kuning..hijau..
dilangit yang biruuu...

pelukismu agung...
siapa gerangan...
pelangi..
pelangi..
ciptaan Tuhann...

Jumat, 10 Desember 2010

Peluk, Pertama, Terakhir.


Ada keanehan yang menyembul keluar dan kini menguasai pikiranku, yang membuat aku berjarak dengan diriku sendiri dan memunculkan satu Tanya : “mengapa kulakukan ini?”

Keanehan lain menyusul,, yakni jawaban muncul dengan sendirinya tanpa proses berpikir :memang ini jalannya. Itukah yang dinamakan firasat? Menahun sudah aku tahu. Hari ini akan tiba. Tapi bagaimana bisa pernah kujelaskan? Aku menyayangimu seperti kusayangi diriku sendiri. Bagaimana bisa kita ingin pisah dengan diri sendiri?

Barangkali itulah mengapa kematian ada. Aku menduga. Mengapa kita mengenal konsep berpisah dan bersua. Terkadang kita memang harus berpisah dengan diri kita sendiri: dengan proyeksi. Diri yang telah menjelma menjadi manusia yang kita cinta.

Sedari tadi kamu seperti orang kesakitan, merangkul erat badanmu sendiri dengan mulut terkatup rapat dan rahang mengencang. Aku ingin bilang, aku paham kenapa kamu sakit. Namun tak sepatah kata pun keluar. Aku ingin bilang, aku sakit melihat kamu sakit. Namun bungkusan udara ini memberangus mulut kita berdua.

Mengapa kata-kata justru hilang pada saat seperti ini? Saat kulihat kamu butuh penghiburan, nasihat bijak, atau humor segar agar kesedihan ini beroleh penawar? Kemampuan kita berkata-kata menguap. Kemampuanku melucu lenyap. Kebisuan menjadi hadiah kebersamaan kita bertahun-tahun. Aku ingin bilang, berbarengan dengan makin pilunya hati ini, ada keindahan yang kurasakan, dan aku tidak mengerti mengapa bisa demikian.

Pandangan mata kita yang sedari tadi berlari-lari mulai berani menemukan satu sama lain. Rasanya kita sama-sama tahu, entah kapan lagi tatapan seperti ini terjalin. Tak mungkin ku lupa caramu memandangku, dan tak mungkin kau lupa bagaimana semua ini bermula. Aneh. Pada saat kita hendak berbalik dan menutup pintu, mendadak ruang yang kita tinggalkan memunculkan keindahan yang selama ini entah bersembunyi dimana.

Tanganmu bergerak bimbang seperti ingin meraih tanganku, tapi kau urungkan niat itu. dua manusia yang sudah bercinta bertahun-tahun dan merasakan setiap jengkal kulit masing-masing, mendadak enggan untuk bersentuhan.

“habis ini, lalu apa? Kamu sendirian. Aku sendirian. Buat apa? Kenapa kita tidak berdua lagi saja?”

Suaramu pertama dalam setengah jam terakhir.

Mulutku reflex membuka, ingin menjawab. Tapi tak ada bunyi keluar selain tiupan karbonndioksida. Aku tak tahu jawabannya. Aku tidak tahu sesudah ini lantas menjadi apa. Aku tidak tahu kenapa dua manusia yang saling sayang harus kembali berjalan sendiri-sendiri.

Namun kurasa hatimu tahu, seperti hati ku pun tahu. Jika malam  ini kita memutuskan untuk terus bersama, itu karena kita tidak tahu bagaimana menangani kesendirian. Aku tidak ingin bersamamu Cuma karena enggan sendiri. Kau tidak layak untuk itu. seseorang mestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi.

“apa artinya cinta yang tidak lagi sama, yang kamu sebut-sebut sejak tadi itu? memang cinta ada berapa macam?” tanyamu dengan nada meninggi. Air mata yang tadi sudah reda tampak siap-siap melancarkan serangan lanjutan. Entah kenapa gelontor lagi yang bakal tiba. Mendadak aku lelah karena harus menjelaskan variasi cinta macam pedagang yang mempresentasikan catalog produk.

Aku tidak tahu cinta punya berapa macam varian. Kau harus bertanya langsung pada hatiku, karena dialah yang satu hari menutup dan mengucap :”cukup.” Dia yang berkata:”aku tidak lagi jatuh, jalan ini sudah jadi jalan lurus. Teruskan maka aku mati, karena takdirku adalah jatuh. Bukan berjalan di setapak datar apalagi mendaki.”

Hati adalah air, aku lantas menyimpulkan. Baru mengalir jika menggulir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Ada gravitasi yang secara alamiah menggiringnya. Dan jika peristiwa jatuh hati diumpamakan air terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali. Namun kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir. Siapa yang mengatur itu? aku pun tak tahu. Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.

Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Aliran ini harus kembali memecah dua agar kita sama-sama bergerak. Sebelum kita terlalu jengah dan akhirnya pisah dalam amarah.

Jadi, aku tidak tahu cinta itu terdiri dari berapa macam. Yang kutahu, cinta ini tersendat, dan hatiku seperti mau mati pengap. Kendati kusayang kamu lebih dari siapapun yang kutahu. Kendati bersamamu senyaman berselimut pada saat hujan. Aku aman. Namun aku menggerontang kekeringan. Dan kini ku tersadar, aku butuh hujan itu. lebih dari apapun.

“kamu akan menyesal..” gumamku lagi.

Mungkin. Kini kita mungkin tak tahu.

“enam tahun. Kita akan buang enam tahun begitu saja?” retorikal dan getir, kamu bertanya.

Kamu bukan tisu sekali pakai. Kita tidak mungkin membuang apapun jika kita percaya hati diperuntukkan untuk menyimpan. Otakku merekam dan menyimpan kamu, kita, dan enam tahun ini. Hati tidak pernah menyimpan apa-apa. Ia menyalurkan segalanya, mengalir, hanya mengalir. Namun, kata-kata membeku di ujung mulutku seperti stalaktit dan stalagmite. Tampak dinamis dalam konsep tapi tak bergerak.

“ngomong dong!” tiba-tiba suaramu meledak murka.

Bentakanmu seperti aba-aba perwira yang menggerakkan kedua tanganku untuk tahu-tahu merengkuhmu. Reflex yang tak kusangka akan muncul.

Tubuhmu berontak. Kurasakan amarahmu, sakitmu. Ku pererat rengkuhanku. Tanganmu meronta, berusaha melepaskan diri. Wajahmu kau tarik menjauh. Segalam macam kau kerahkan untuk bebas dari pelukanku. Namun aku bertahan.

Rasakan, bisikku dalam hati. Panas tubh kita berdua mencairkan apa yang sudah beku bertahun-tahun. Rasakan betapa lamanya kita terlelap dan membiarkan aliran itu padam.  Begitu terbiasa kita memandangi taring-taring es itu hingga menjadi layaknya akseseori ruangan, padahal kita sudah mau mati kedinginan, kekeringan. Kamu tidak layak didera. Kita tak layak disiksa.

Berangsur, tubuhmu tenang. Otot-ototmu yang tegang mulai melemas, lelah meronta, dan lunglai dalam pelukanku. Kau mulai menangis. Aku mulai menangis. Lenganmu perlahan mendaki dan balik mendekapku. Kita resmi berpelukan.



Cukup lama tubuh kita terpaut hingga kata-kata yang menggantung beku mulai cair dan mengalir ke dalam darah kita masing-masing. Hatimu tahu, seperti hatiku pun tahu. Nadi kita mendenyutkan pesan-pesan yang tahunan sudah menanti untuk bersuara. Inilah keindahan yang kumaksud. Kejujuran tanpa suara yang tak menyisakan ruang untuk dusta. Sakit ini tak terobati dan bukan untuk diobati.  Dan itu jugalah keindahan yang kumaksud. Rasakan semua, demikian pinta sang hati. Amarah atau asmara, kasih atau pedih, segalanya indah jika memang tepat pada waktunya. Dan inilah hatiku, pada dini hari yang hening. Bening. Apa adanya.

Hati-hati, lenganku melonggar, melepaskan tubuhmu. Aku tahu aku telah dimengerti, meski sekali saja pelukanku.


(“Peluk”. Dewi Lestari.)

Kata demi kata, semua menyapa kemudian menghinaku. Hanya dewi yang tahu tulisan itu fiksi atau bukan. Bagiku, itu realita. Itu nyata. Kata demi kata dilempar ke mukaku. Namun, kita tidak sebentar,kita lama. Tujuh tahun. Aku merasakan. Pertama kali aku memelukmu. Pertama kali aku melihatmu menangis. Pertama kali aku bersandar di bahumu. Pertama kali aku menyentuh pipimu, menyeka airmatamu. Pertama kali kita menangis bersama. Pertama kali kau “menyentuhku”. Semua itu. mungkin juga untuk yang terakhir kali. Bukan mungkin, tapi harus. Harus untuk yang terakhir. Pertama dan terakhir. Namun aku rela. Aku tulus, kau pantas mendapatkan itu. seperti kata Dewi, kamu tak layak didera, kita tak layak disiksa.




Aku sebut ini pertama dan terakhir. (“Pertama, Terakhir”. Nina Meilisa)

sadari diriku pun sendiri, di dini hari yang sepi, tetapi apalah arti bersama, berdua. Namun semu semata. Tanpa harus ku berdusta, karena kaulah satu yang kusayang, dan tak layak kau didera

1 komentar: