Break.
Ruangan ini
tidak terlalu penuh, tapi cukup berisi lah, sayang sekali untuk acara seperti
ini yang menurut saya sangat menarik tetap saja sepi karena waktunya bertepatan
dengan weekend sehingga orang- orang lebih memilih untuk tinggal dirumah
berleha-leha.
Lirik sebelah
kiri, tidak sengaja melihat guntur
dan rara sedang berduaan, ngobrol. Mereka
berdua, iya, melihat mereka berdua sangat dekat semakin membuatku yakin bahwa
cinta itu memang buta. Cinta sangat buta. Jika kau ditanya mengapa kau
mencintai seseorang, saya yakin pasti anda tidak mengetahui alasannya kenapa,
tidak melihat siapa dia dan kita, apa dia dan kita, mengapa dia dan kita,
bagaimana dia dan kita, dan kapan dia dan
kita.
Cinta itu egois,
dia datang dan pergi sesuka dia. Cinta itu tidak mendengar, cinta tidak
melihat, tapi cinta hanya merasakan, hanya merasakan, hanya merasakan.
Guntur dan rara,
mereka sangat dekat belakangan ini, saya yakin bahwa mereka sebenarnya sadar
bahwa mereka telah menjadi pembicaraan di kelas belakangan ini, yaa itu juga
yang saya rasakan waktu saya dekat dengannya dulu.
Mereka, saya
tidak tahu apakah mereka menjalani hubungan itu dengan komitmen pacaran atau
tidak, tapi yang saya lihat dari mata mereka berdua adalah mereka saling
mencintai, mereka saling menyayangi.
Itulah cinta,
sudah saya bilang bahwa cinta itu egois. Cinta selalu datang dan pergi tanpa
pamit. Seenaknya saja. Cinta selalu tidak punya alasan dan selalu tidak
membutuhkan syarat apapun.
Guntur. Sosok yang
tangguh, sosok yang kuat, sosok yang pandai bicara dengan menggunakan teori –teori
yang berat. Sosok yang berani berkritisi. Namun sifat-sifatnya yang mungkin
tidak seimbang dan kata-katanya yang terlalu tinggi membuat sebagian teman
tidak terlalu menyukai dia.
Sedangkan rara,
rara adalah sosok yang kalem, sosok
yang manis, sosok yang lembut, sangat bertentangan dengan kepribadian Guntur,
saya yakin juga bahwa rara sebenarnya tidak sama dengan Guntur yang seringkali
memandang sesuatu di dunia ini dengan menggunakan filosofi dan filsafat.
Lagi-lagi saya katakan,
bahwa cinta itu egois. Cinta selalu datang dan pergi tanpa pamit. Seenaknya saja.
Cinta selalu tidak punya alasan dan selalu tidak membutuhkan syarat apapun.
Guntur dan rara,
sangat bertentangan, tapi mereka saling mencintai dan saling menyayangi. Yang selalu
tidak bisa dihindari adalah komentar orang-orang yang tidak merasakan cinta
itu.
Rara, setahu
saya rara sudah mempunyai pacar dan belum terdengar kabar bahwa dia sudah putus
dengan pacarnya itu. dan sekarang rara dengan Guntur, anda pasti bisa berpikir
sendiri, iya, rara selingkuh. Semua orang menyalahkan mereka berdua, tidak rela
jika mereka berdua.
Saya? Saya tidak
membenarkan tindakan rara yang sudah jelas- jelas mengkhianati kesetiaan
pacarnya yang mungkin belum mengetahui hubungan rara dan Guntur ini. Jahat.
Tapi saya juga
tidak ingin menyalahkan rara. Saya mencoba mengerti. Rara mungkin juga tidak
ingin seperti ini, jatuh cinta kepada seseorang yang tidak seharusnya, jatuh
cinta kepada seseorang lain ketika dia masih berada dalam ikatan hubungan yang
lebih dulu dia cintai, jatuh cinta kepada seseorang dimana seseorang itu adalah
orang yang tidak disukai di dalam lingkungannya.
Saya yakin rara
pasti juga tidak menginginkan ini sebelumnya dengan sangat sadar.
Tapi itulah
cinta, jika seseorang sudah bicara cinta,apalagi yang harus kita sanggah? Apalagi
yang harus kita debatkan? Semua sudah skak.
Saya percaya
cinta itu buta. Benar- benar buta. Kaya miskin, tua muda, hitam putih, batak
jawa, pintar bodoh, jauh dekat, Kristen islam.
Sudahlah, cerita
rara dan Guntur hanya segilintir cerita yang melibatkan pergulatan di dalam
cinta itu sendiri, du luar sana ada banyak cerita yang di racuni oleh cinta itu
sendiri.
Masih break. Saya lupa di sebelah saya ada
amel.
"aku untuk kamu, kamu untuk aku, namun semua
apa mungkin iman kita yang berbeda,
Tuhan memang…..”
Saya mencari
sumber suara yang mengeluarkan kalimat itu, kalimat yang sudah sangat saya
kenal. seseorang sedang bernyanyi.
Ternyata amel.
Dalam hati saya
membatin, “lagu ini lagi..”, lagu
yang sering saya dengar belakangan ini, walaupun dulu setiap saat saya selalu
menyanyikan lagu ini. Di kelas, jika sedang menunggu dosen, geng mereka itu pasti menyanyikan lagu
ini. Lagu ini saya pikir tidak akan terlalu disukai seseorang kecuali seseorang
tersebut mengalami kisah yang sama dengan kisah yang diceritakan dalam lagu
ini.
Amel masih
bernyanyi dan saya melihatnya sambil tersenyum, seolah amel adalah artis pujaan
saya yang lagi konser di panggung dan saya berdiri di barisan penonton paling
depan sambil memandanginya terkagum-kagum, “Tuhan
memang satu kita yang tak sama, haruskah aku lantas pergi mesi cinta takkan
bisa pergi”
Mulut saya gatal
untuk memberikan komentar, “ini lagu,
dari kemaren gue denger mulu deh mel, ga dijalan, ga di kelas, ga di kantin,
dimana-mana deh pokoknya”
Amel : “lo tau ga nin? Ini lagu lagi made in banget
tau sekarang”
Saya : “lagu marcel kan? Iya gue tau, bagus lagunya”
jawab saya seolah-olah menganggap lagu ini lagu yang biasa (padahal lagu ini
lagu saya banget)
Amel : “bukan lagunya doang yang bagus nin,
ceritanya menyentuh banget, lo udah liat videoclip nya belom? Gue nangis pas
tiap kali nonton videoclipnya”
Saya : “udah liat, iya sedih banget ya..”
Amel : “iya sedih banget, lagu ini meresap banget
nin di gue, gue ngerasain soalnya nin”
Saya berdetak,
saya terdiam, diam sejenak, saya memberanikan untuk bertanya kepadanya, “lo pernah sama yang beda agama mel?”
Amel : “ iya nin”
Saya diam. Tidak
mencoba bertanya lagi.
“ dulu nin, waktu SMA. gue cinta sama seorang Kristen,
gue sama seorang cina Kristen”
Dalam hati, saya
mencoba membatin. Menghela nafas. Saya masih diam, menunggu mungkin amel masih
mau bercerita.
“gue sama dia tu saling sayang banget nin,
gue ngerasa dia itu baik banget ke gue nin, tulus
banget ke gue nin”
Saya masih diam,
masih akan tetap diam.
“ dulu, pas kita sadar kita tu beda agama, gue
sama dia sempet lose contact nin, lama banget nin
selama dua tahun”,
Dalam hati saya
semakin menghela nafas. Panjang. Kali ini saya mengeluarkan suara, “ trus mel? Ampe sekarang?”
“Nah itu dia nin, kita tu sekarang udah
berhubungan lagi, dan gue tu emang masih sayang sama
dia nin, ternyata dia juga
masih sayang sama gue”, “walaupun gue
tahu dia dulu sempet jadian
sama orang lain dan dia juga tahu kalo gue sempet
jadian sama orang lain juga, tapi kita tu tetep
masih saling sayang sama gue
nin”
Saya tidak usah
membayangkan bagaimana ekspresi muka saya sekarang, saya hanya diam, menantikan
cerita amel selanjutnya.
“dia tu baek nin sama gue, dia tulus sama gue
nina.. gue bisa merasakan itu nin, orang tuanya dia
juga welcome sama gue, baik
sama gue, perhatian sama gue nin, tapi orang tua gue yang ga bisa
terima banget”
Dalam hati saya
membatin lagi. saya tidak tahu kenapa tiba-tiba cerita hal ini kepada saya. Amel
adalah teman sekelas saya yang saya kenal ceria dan pinter ngomong, blak-blakan, dan berani. Yang semester kemaren sempet jadian dengan teman sekelas saya juga. Amel
yang bukan peer group saya dan bukan
teman akrab saya bahkan menumpahkan emosi ceritanya ke saya. Ternyata amel
adalah seorang yang juga pernah punya cerita seperti ini. Cerita cinta beda
agama. Amel merasakan juga.
“iya mel, gue ngerti kok”, cuma itu yang
ingin saya katakan. “gue ngerti gimana
rasanya gimana kalo lo cinta sama orang yang beda agama”
“lo pikir deh nin, hati gue sakit saat dia
bilang sayang ke gue, gue juga sayang sama dia, tapi kita berdua sama-sama
sadar kalo kita tuh ga bisa nin, gue mencoba untuk menjauh dari dia, dulu pas
dia menghilang selama dua tahun gue baik-baik aja, sekarang dia malah deket ama
gue lagi, gue ga pernah sms dia duluan, tapi dia yang selalu sms gue duluan,
gue selalu pengen menghindar dari dia, tapi dia yang selalu deketin gue, selalu
pengen maen kerumah gue, sms gue, telpon gue”
“gue ga bisa ngelupain dia kalo dia selalu
ada di hidup gue, gue susah ngelupain dia kalo gini caranya, tapi gue sadar
nin, ini tuh ga bisa, ga akan pernah bakal bisa, makanya yang bisa gue lakuin
sekarang adalah jaga jarak nin, supayan gue sama dia ga sama-sama sakit lagi,
tapi dia tuh selalu ngontak gue, jadi gue ga bisa ngelupain dia”
Saya diam. Saya diam.
Saya hanya mendengar cerita amel.
Saya yakin cinta
itu buta. Sangat buta, Sangat buta. Cinta itu punya mata tapi dia tidak bisa
melihat dan dia buta. Cinta tidak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta,
kaya atau miskin, tua atau muda, pintar atau bodoh, hitam atau putih, batak
atau jawa, Kristen atau islam.
Saya : “iya, gue ngerti kok mel”
Sangat mengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar