aku
klise. Pagi ini dia tidak mengangkat telepon. tidak pagi sekali menurutku.
Pertama
aku membuka mata di hari ini, yang kuingat cuma dia, sungguh bukan siapa-siapa,
hanya dia. Tidak juga hingar bingar di luar sana yang yang membicarakan tentang
kaum sebangsa dia, pagi ini aku hanya ingin
menyapanya.
Masih
belum sadar, masih mengumpulkan nyawa demi nyawa yang tidak berada di jasadku
selama 6 jam yang lalu, hanya dia, yang kupikirkan hanya dia. Sebuah kontak
nama, nama itu, yang tidak pernah tidak kusebut di setiap doaku, yang tidak
pernah tidak kusebut di setiap rinduku, yang tidak pernah tidak kusebut di
setiap desahan pelukku, yang tidak pernah tidak kusebut setiap kali aku
menangis, aku membutuhkan dia untuk menyeka setiap titik air mata ku.
Dia
seorang pengabdi, pengabdi bagi mereka, dia terlibat dalam setiap proses
perjalanan hidup entah berapa orang yang mengenalnya dan mengingatnya sampai
saat ini. Banyak yang rindu padanya, banyak yang mengingatnya, tidak sedikit
juga yang mengganggapnya berjasa dalam hidup mereka. Tapi aku tahu, dari sekian
banyak rindu untuknya, rindu nya hanya akan ada buatku dan dua lagi. Tapi aku
tahu, dari sekian banyak jasa yang dihutangkan padanya, hutang jasa yang
sesungguhnya hanya ada padaku dan dua lagi.
Aku.
Dengan jasadku yang sebesar ini, aku tahu dia pasti tidak lupa dengan jasadku
dulu yang mungil, lalu tidak mungil lagi, lebih pantas disebut kecil, lalu
tidak kecil lagi, lebih pantas disebut besar, lalu sampai lebih besar darinya,
lebih kuat darinya, lebih gagah darinya, namun aku tahu itu bukan sedih baginya,
namun justru bahagia baginya.
Dia.
Saat semua orang masih mencium bau kencur dariku, saat aku masih belum pandai
berkata-berkata seperti sekarang, saat aku masih belum becus mengikat tali
sepatuku di hari pertama sekolah, saat aku masih buang air kecil dengan seenaknya
di kasurku setiap harinya, saat aku seenaknya berteriak “tidak mau” saat
makanan yang ada di kotak bekalku tidak sesuai dengan keinginanku, saat aku
berteriak “tidak mau” dan menghempaskan tangannya yang sebenarnya ingin
mengantarku sampai ke depan kelas waktu aku duduk di taman kanak-kanak itu
dulu.
Aku
egois, tapi aku tetap sedih, aku sedih, saat tangan yang menyambut tanganku
ketika keluar kelas bukanlah tangannya, wajah yang kutemui pertama kali saat
tiba dirumah setelah pulang sekolah bukanlah wajahnya, saat suapan pertama
makan siangku setiap hari itu bukanlah suapan lembut darinya.
Setibanya
dia, aku pasti memeluknya, dia pasti tahu bahwa aku selalu sangat
merindukannya, walau cuma beberapa jam saja tidak bertemu, aku selalu
merindukan dia. Aku di titipkan, aku diasuhkan, aku tidak bersamanya saat aku
pulang sekolah, aku sedih.
Aku,
aku ingat janjiku pada waktu itu, aku tidak akan pernah pergi bermain sebelum
dia pulang, sebelum bertemu dengannya, sebelum aku menyambut tangannya, sebelum
mencium pipinya. Segera menuju ke pintu saat aku mendengar deru motornya
pertanda dia pulang.
Saat
masa liburku, aku senang sekali jika dia mengajakku menemaninya mengabdi, aku
dipuji, pipiku dicubit oleh mereka- mereka yang sudah lebih tua dariku, aku
senang, saat duduk manis di kursinya dan melihatnya membagi ilmu, melihatnya
dengan sabar memberitahu apa maksud dari angka- angka itu. Aku senang. Saat dia
begitu bangganya mengenalkanku pada setiap siapapun yang menanyakan tentang aku
disana.
Aku
takut padanya. Dia selalu marah. Saat aku pulang sekolah sendiri, dia marah. Saat
makanan di kotak bekal ku tidak habis, dia marah. Saat pulang sekolah aku
membawa oleh-oleh goresan luka akibat ulahku di sekolah, dia marah. Saat suaminya
memarahiku karena aku pulang bermain terlalu sore, dia menangis.
Sampai
aku tidak lagi kecil, lulus SD ku. Aku masih bersamanya.
Aku
selalu bisa bersamanya saat menjelang aku masuk kelas, aku selalu bisa pulang sekolah
bersamanya, saat jam istirahat pun, aku bisa melihatnya di ruangan itu dari
kejauhan, saat aku ingin menangis di sekolah, aku selalu datang padanya. Saat jajanku
terlalu banyak, aku mendatanginya untuk meminta uang yang lebih lagi. Saat dia
lewat di kejauhan, aku tersenyum padanya. Dia membalas senyumku. Aku tidak
peduli berapa banyak topik pembicaraan yang aku dengar tentangnya, banyak yang
memujinya, tapi tidak sedikit pula yang membencinya, aku tidak peduli itu. Saat
raporku belum sempat dibagikan, dia sudah sempat memberiku selamat atas
prestasi nilaiku yang tidak jelek. Saat aku berulah, aku jahat sekali, aku
merasa bersalah sekali, aku memohon dengan sangat pada waktu itu, agar dia
tidak mengetahui ulahku ini. Aku tahu dia tahu, tapi dia tidak pernah
memarahiku, dia tidak pernah ingin membahasnya.
Sampai
aku sudah lebih besar dari tidak kecil lagi. lulus SMP ku. Aku masih
bersamanya.
Entah
mengapa saat inilah, mandiri ku baru dimulai. Aku tidak lagi diantarkan ke
sekolah, aku tidak lagi di bawakan bekal makanan untuk di sekolah, aku tidak
lagi pulang bersamanya, saat makan siangku tidak lagi bersamanya, saat aku
ingin menangis, aku tidak ingin menangis, aku tidak lagi seperti dulu, anak
manis yang selalu mencium tangannya ketika pulang sekolah, anak manis yang
selalu mencium pipinya setiap kali aku pulang sekolah, aku lebih banyak lupa
untuk mencium tangannya ketika aku pulang sekolah, aku lebih banyak menyebut
kata “ah” di setiap kali dia meminta tolong kepadaku untuk melakukan sesuatu,
aku lebih banyak menyebut kata “nanti” saat dia sebenarnya ingin segera. Aku lebih
sering tidak memperhatikan dia saat keinginanku tidak dipenuhi. Semakin aku
tumbuh, tidak kecil lagi, aku lebih sering mengabaikan kata-katanya. Jika sudah
begitu, dia hanya bisa menangis, dan aku sudah tidak bisa menghitung berapa
banyak tangisnya untukku. Saat aku sudah harus belajar membuat keputusan
sendiri, aku tidak terlalu memikirkannya, hanya memikirkan diriku sendiri.
Sampai
lebih besar lagi, lulus SMA ku. Aku tidak bisa selalu bersamanya, tapi aku
masih bersamanya.
Dia
menangis, dia menangis, entah berapa banyak air matanya pada waktu itu. Aku
punya cita-cita, aku tahu dia bangga dengan cita-citaku itu, tapi aku tahu
bahwa dia pun tidak tahu harus berbuat apa-apa saat keinginannya bertentangan
dengan cita-cita ku ini. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan saat itu, aku
juga tidak tahu apa yang aku pikirkan saat itu.
Hingga
sekarang, aku tidak selalu bisa bersamanya. Tangisnya waktu itu sempat
membuatku putus asa, tapi aku tegar, untuknya juga. Sekarang, aku sedih bahwa
setidaknya aku harus menunggu beberapa bulan untuk bertemu dengannya, untuk
memeluknya, untuk mencium tangannya.
Kali
ini, aku merindukannya bukan hanya dalam hitungan jam, tapi dalam hitungan
bulan..
Kali
ini, aku mencium tangannya bukan hanya sekedar pamit untuk pergi ke sekolah
atau pulang sekolah.
Kali
ini, aku memeluknya bukan hanya sekedar melepas rindu beberapa hari, tapi
berhari-hari.
Aku
benci menjadi dewasa. Terlalu banyak urusan yang membuatku harus tidak selalu
bersamanya. Aku hanya bisa menahan tangis jika aku terlalu rindu padanya, hanya
karena tidak ingin membuatnya menangis. Aku tahu dia selalu menahan tangisnya
setiap kali pergi mengantarku. Aku tahu dia selalu ingin memelukku.
Aku
sedih, saat beberapa hari dia tidak menghubungiku. Tapi tanpa di jelaskan
apapun itu, aku tahu rindunya selalu ada untukku.
Telepon
ku berdering, namanya ada, Mama.
“maaf
nina, tadi hape mama dalem tas, mama dak denger, nina dak ujian? Kok telpon
mama?”
“aku
dak ujian hari ini ma, besok baru ada ujian lagi”
“oooh,
bearti belajar lah hari ini, ini mama lagi di sekolah”
“iyo
ma, mama..?”
“apo?
Nak ngomong apo abok?”
“selamat
hari ibu ya maaa,”
“oohh,
oo iyoo ee, nah mama lupo kalo hari ini hari ibu, iyo book, makasih yo book..”
“semoga
mama selalu sehaaat”
“aminn”
“semoga mama selalu bahagiaa”
“amiin”
“semoga
mama selalu rejeki nyo lancaar, aku sayang mama..”
“amiin
naak, iyo mama jugo kangen samo nina, denget lagi nina nak balek, belajar lah
nak yoo..mama doain terus nah”………………………………………………………………………
Pembicaraan
ku dengannya tidak terlalu panjang, aku tahu setiap akhir semester begini dia
selalu sibuk dengan tugas-tugasnya itu.Tulisanku belum selesai. Aku rindu mama.
Aku sangat rindu mama. Mama adalah alasanku ingin cepat- cepat pulang. Aku ingin
menemaninya. Mama ku bukan siapa-siapa, tapi dia adalah mama, rinduku selalu
tak terhingga untuknya.
Mama,
yang dulu pernah berkata padaku “kebahagiaan mama yang terbesar itu adalah
kalian, bahagia melihat kalian bahagia”, “semangat hidup mama cuma kalian”, “mama
dak pengen apo-apo, dak pengen suatu saat kalian ngasih duit ke mama, dak
pengen suatu saat kalian ngebiayain mama naik haji, atau apapun itu, mama cuma ingin selalu bersama kalian”
Terimakasih
Tuhan. Aku bisa mendengar suaranya saat ku sapa dirinya, aku bisa melihatnya
sebagai orang pertama yang aku lihat saat aku tiba dirumah, aku bisa melihatnya
mengantar dan menjemputku hingga sekarang.
Terimakasih
Tuhan atas mamaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar