pelangi..pelangi...

pelangi..pelangi..
alangkah indahmu..
merah..kuning..hijau..
dilangit yang biruuu...

pelukismu agung...
siapa gerangan...
pelangi..
pelangi..
ciptaan Tuhann...

Rabu, 22 Desember 2010

Namanya


aku klise. Pagi ini dia tidak mengangkat telepon. tidak pagi sekali menurutku.
Pertama aku membuka mata di hari ini, yang kuingat cuma dia, sungguh bukan siapa-siapa, hanya dia. Tidak juga hingar bingar di luar sana yang yang membicarakan tentang kaum sebangsa dia, pagi ini aku hanya ingin  menyapanya.

Masih belum sadar, masih mengumpulkan nyawa demi nyawa yang tidak berada di jasadku selama 6 jam yang lalu, hanya dia, yang kupikirkan hanya dia. Sebuah kontak nama, nama itu, yang tidak pernah tidak kusebut di setiap doaku, yang tidak pernah tidak kusebut di setiap rinduku, yang tidak pernah tidak kusebut di setiap desahan pelukku, yang tidak pernah tidak kusebut setiap kali aku menangis, aku membutuhkan dia untuk menyeka setiap titik air mata ku.

Dia seorang pengabdi, pengabdi bagi mereka, dia terlibat dalam setiap proses perjalanan hidup entah berapa orang yang mengenalnya dan mengingatnya sampai saat ini. Banyak yang rindu padanya, banyak yang mengingatnya, tidak sedikit juga yang mengganggapnya berjasa dalam hidup mereka. Tapi aku tahu, dari sekian banyak rindu untuknya, rindu nya hanya akan ada buatku dan dua lagi. Tapi aku tahu, dari sekian banyak jasa yang dihutangkan padanya, hutang jasa yang sesungguhnya hanya ada padaku dan dua lagi.
Aku. Dengan jasadku yang sebesar ini, aku tahu dia pasti tidak lupa dengan jasadku dulu yang mungil, lalu tidak mungil lagi, lebih pantas disebut kecil, lalu tidak kecil lagi, lebih pantas disebut besar, lalu sampai lebih besar darinya, lebih kuat darinya, lebih gagah darinya, namun aku tahu itu bukan sedih baginya, namun justru bahagia baginya.

Dia. Saat semua orang masih mencium bau kencur dariku, saat aku masih belum pandai berkata-berkata seperti sekarang, saat aku masih belum becus mengikat tali sepatuku di hari pertama sekolah, saat aku masih buang air kecil dengan seenaknya di kasurku setiap harinya, saat aku seenaknya berteriak “tidak mau” saat makanan yang ada di kotak bekalku tidak sesuai dengan keinginanku, saat aku berteriak “tidak mau” dan menghempaskan tangannya yang sebenarnya ingin mengantarku sampai ke depan kelas waktu aku duduk di taman kanak-kanak itu dulu.

Aku egois, tapi aku tetap sedih, aku sedih, saat tangan yang menyambut tanganku ketika keluar kelas bukanlah tangannya, wajah yang kutemui pertama kali saat tiba dirumah setelah pulang sekolah bukanlah wajahnya, saat suapan pertama makan siangku setiap hari itu bukanlah suapan lembut darinya.
Setibanya dia, aku pasti memeluknya, dia pasti tahu bahwa aku selalu sangat merindukannya, walau cuma beberapa jam saja tidak bertemu, aku selalu merindukan dia. Aku di titipkan, aku diasuhkan, aku tidak bersamanya saat aku pulang sekolah, aku sedih.

Aku, aku ingat janjiku pada waktu itu, aku tidak akan pernah pergi bermain sebelum dia pulang, sebelum bertemu dengannya, sebelum aku menyambut tangannya, sebelum mencium pipinya. Segera menuju ke pintu saat aku mendengar deru motornya pertanda dia pulang.
Saat masa liburku, aku senang sekali jika dia mengajakku menemaninya mengabdi, aku dipuji, pipiku dicubit oleh mereka- mereka yang sudah lebih tua dariku, aku senang, saat duduk manis di kursinya dan melihatnya membagi ilmu, melihatnya dengan sabar memberitahu apa maksud dari angka- angka itu. Aku senang. Saat dia begitu bangganya mengenalkanku pada setiap siapapun yang menanyakan tentang aku disana.

Aku takut padanya. Dia selalu marah. Saat aku pulang sekolah sendiri, dia marah. Saat makanan di kotak bekal ku tidak habis, dia marah. Saat pulang sekolah aku membawa oleh-oleh goresan luka akibat ulahku di sekolah, dia marah. Saat suaminya memarahiku karena aku pulang bermain terlalu sore, dia menangis.

Sampai aku tidak lagi kecil, lulus SD ku. Aku masih bersamanya.
Aku selalu bisa bersamanya saat menjelang aku masuk kelas, aku selalu bisa pulang sekolah bersamanya, saat jam istirahat pun, aku bisa melihatnya di ruangan itu dari kejauhan, saat aku ingin menangis di sekolah, aku selalu datang padanya. Saat jajanku terlalu banyak, aku mendatanginya untuk meminta uang yang lebih lagi. Saat dia lewat di kejauhan, aku tersenyum padanya. Dia membalas senyumku. Aku tidak peduli berapa banyak topik pembicaraan yang aku dengar tentangnya, banyak yang memujinya, tapi tidak sedikit pula yang membencinya, aku tidak peduli itu. Saat raporku belum sempat dibagikan, dia sudah sempat memberiku selamat atas prestasi nilaiku yang tidak jelek. Saat aku berulah, aku jahat sekali, aku merasa bersalah sekali, aku memohon dengan sangat pada waktu itu, agar dia tidak mengetahui ulahku ini. Aku tahu dia tahu, tapi dia tidak pernah memarahiku, dia tidak pernah ingin membahasnya.

Sampai aku sudah lebih besar dari tidak kecil lagi. lulus SMP ku. Aku masih bersamanya.
Entah mengapa saat inilah, mandiri ku baru dimulai. Aku tidak lagi diantarkan ke sekolah, aku tidak lagi di bawakan bekal makanan untuk di sekolah, aku tidak lagi pulang bersamanya, saat makan siangku tidak lagi bersamanya, saat aku ingin menangis, aku tidak ingin menangis, aku tidak lagi seperti dulu, anak manis yang selalu mencium tangannya ketika pulang sekolah, anak manis yang selalu mencium pipinya setiap kali aku pulang sekolah, aku lebih banyak lupa untuk mencium tangannya ketika aku pulang sekolah, aku lebih banyak menyebut kata “ah” di setiap kali dia meminta tolong kepadaku untuk melakukan sesuatu, aku lebih banyak menyebut kata “nanti” saat dia sebenarnya ingin segera. Aku lebih sering tidak memperhatikan dia saat keinginanku tidak dipenuhi. Semakin aku tumbuh, tidak kecil lagi, aku lebih sering mengabaikan kata-katanya. Jika sudah begitu, dia hanya bisa menangis, dan aku sudah tidak bisa menghitung berapa banyak tangisnya untukku. Saat aku sudah harus belajar membuat keputusan sendiri, aku tidak terlalu memikirkannya, hanya memikirkan diriku sendiri.

Sampai lebih besar lagi, lulus SMA ku. Aku tidak bisa selalu bersamanya, tapi aku masih bersamanya.
Dia menangis, dia menangis, entah berapa banyak air matanya pada waktu itu. Aku punya cita-cita, aku tahu dia bangga dengan cita-citaku itu, tapi aku tahu bahwa dia pun tidak tahu harus berbuat apa-apa saat keinginannya bertentangan dengan cita-cita ku ini. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan saat itu, aku juga tidak tahu apa yang aku pikirkan saat itu.

Hingga sekarang, aku tidak selalu bisa bersamanya. Tangisnya waktu itu sempat membuatku putus asa, tapi aku tegar, untuknya juga. Sekarang, aku sedih bahwa setidaknya aku harus menunggu beberapa bulan untuk bertemu dengannya, untuk memeluknya, untuk mencium tangannya.

Kali ini, aku merindukannya bukan hanya dalam hitungan jam, tapi dalam hitungan bulan..
Kali ini, aku mencium tangannya bukan hanya sekedar pamit untuk pergi ke sekolah atau pulang sekolah.
Kali ini, aku memeluknya bukan hanya sekedar melepas rindu beberapa hari, tapi berhari-hari.

Aku benci menjadi dewasa. Terlalu banyak urusan yang membuatku harus tidak selalu bersamanya. Aku hanya bisa menahan tangis jika aku terlalu rindu padanya, hanya karena tidak ingin membuatnya menangis. Aku tahu dia selalu menahan tangisnya setiap kali pergi mengantarku. Aku tahu dia selalu ingin memelukku.
Aku sedih, saat beberapa hari dia tidak menghubungiku. Tapi tanpa di jelaskan apapun itu, aku tahu rindunya selalu ada untukku.

Telepon ku berdering, namanya ada,  Mama.
maaf nina, tadi hape mama dalem tas, mama dak denger, nina dak ujian? Kok telpon mama?
aku dak ujian hari ini ma, besok baru ada ujian lagi
oooh, bearti belajar lah hari ini, ini mama lagi di sekolah
iyo ma, mama..?
“apo? Nak ngomong apo abok?
selamat hari ibu ya maaa,
oohh, oo iyoo ee, nah mama lupo kalo hari ini hari ibu, iyo book, makasih yo book..
semoga mama selalu sehaaat
aminn
 “semoga mama selalu bahagiaa
amiin
semoga mama selalu rejeki nyo lancaar, aku sayang mama..
amiin naak, iyo mama jugo kangen samo nina, denget lagi nina nak balek, belajar lah nak yoo..mama doain terus nah………………………………………………………………………

Pembicaraan ku dengannya tidak terlalu panjang, aku tahu setiap akhir semester begini dia selalu sibuk dengan tugas-tugasnya itu.Tulisanku belum selesai. Aku rindu mama. Aku sangat rindu mama. Mama adalah alasanku ingin cepat- cepat pulang. Aku ingin menemaninya. Mama ku bukan siapa-siapa, tapi dia adalah mama, rinduku selalu tak terhingga untuknya.

Mama, yang dulu pernah berkata padaku “kebahagiaan mama yang terbesar itu adalah kalian, bahagia melihat kalian bahagia”, “semangat hidup mama cuma kalian”, “mama dak pengen apo-apo, dak pengen suatu saat kalian ngasih duit ke mama, dak pengen suatu saat kalian ngebiayain mama naik haji, atau apapun itu,  mama cuma ingin selalu bersama kalian

Terimakasih Tuhan. Aku bisa mendengar suaranya saat ku sapa dirinya, aku bisa melihatnya sebagai orang pertama yang aku lihat saat aku tiba dirumah, aku bisa melihatnya mengantar dan menjemputku hingga sekarang.
Terimakasih Tuhan atas mamaku.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar