pelangi..pelangi...

pelangi..pelangi..
alangkah indahmu..
merah..kuning..hijau..
dilangit yang biruuu...

pelukismu agung...
siapa gerangan...
pelangi..
pelangi..
ciptaan Tuhann...

Senin, 29 Agustus 2011

Lebaran kapan?

Seperti biasa, kalo saya udah cuap-cuap ga penting di blog ini di jam segini.
Aktivitas kalong saya dimulai lagi. belum ngantuk mamen.
Hari ini saya jadi perempuan lhoo. Alhamdulillah yah.
berhubung tadinya saya mau lebaran besok, jadi hari ini udah beres2 rumah dan bantuin mama masak.
Siap-siap mau packing buat mudik besok lusa.

Saya gak galau malam ini loh, Alhamdulillah lagi yah.
Tapi tapi tapi…
Saya udah sekeras tenaga ga mau galau,
Jreng jreng, saya buka TV, lebaran bukan besok mameeeeen.
Lebarannya jadi lusa.
Aaah, saya jadi galau lagi kan.
Tapi ini saya rasa seluruh Indonesia jadi galau.
Aaih, rendang, ketupat, opor, sambel ati yang udah siap disantap besok pagi terpaksa disimpen dulu.
Ih waw, baru kali ini pemerintah bisa segalau ini yah.


batu oh..

Emang ya,
sakit kalo punya hubungan tapi gak punya komitmen.
Kepala saya rasanya mau pecah, udah, sekali lagi orang datang buat nanyain komitmen, cepetan ambil batu trus pecahin kepala saya. saya siap.
Gak papa kok.
Kali ini postingannya emang edisi curhat.
Saya capek.

Kadang orang bilang sekeras-kerasnya batu pasti akan hancur jika selalu ditetesin air.
Pertanyaannya, berapa lama air itu harus jatuh agar batunya bisa hancur?
Seribu tahun? sejuta tahun?
Udah keburu mati saya.
Oh Tuhan.

Emas itu Milik Tuhan

"kau menemukan emas dipinggir jalan, kau pungut dan tak ingin kau bagi dengan siapapun”
"Kau simpan di bagian lemari yang paling dalam, kau terlalu khawatir seseorang dapat melihatnya dari luar dan akan mengambilnya”
“kau menjaga lemari siang malam, selalu membiarkan lemari tertutup rapat”
“hingga sudah tidak ada orang lagi yang kau temui, kau buka lemarinya”
“berharap bisa mengelus emas yang kau kira akan membuatmu kaya”
“kau menangis!”
“emasnya berkarat”
“hingga tak berharga lagi”

“sesuatu yang ia anggap Tuhan pun berani dia khianati, apalagi kau.”

Semua terjadi, yang kau takutkan.

Kau orang pertama yang aku beri tahu. 
Kau orang pertama yang selalu ku singgahi. 
Kau orang pertama tempatku menangis.
Kau orang pertama tempatku berbagi suka. 
Kau orang pertama yang slalu ingin kubuat tertawa. 
Kau orang pertama yang membuatku nyaman. 
Kau orang pertama yang membuatku percaya. 

Tapi, aku terabai. 
Terlalu memalukan untukku berbesar hati selama ini aku menganggap aku jugalah yang akan kau jadikan yang pertama.

Aku bukan orang pertama yang kau beri tahu. 
Aku bukan orang pertama yang kau singgahi.
Aku bukan orang pertama tempatmu menangis. 
Aku bukan orang pertama tempatmu berbagi suka. 
Aku bukan orang pertama yang ingin kau buat tertawa.
Aku bukan orang pertama yang membuatmu nyaman. 
Aku bukan orang pertama yang membuatmu percaya. 
Kau bilang “aku berhati-hati padamu” 
“aku tahu segala sesuatu tentangmu, apa yang membuatmu tak suka, maka itulah aku berhati-hati, aku tak mau kau benci padaku” 

Kau tahu aku sedih pada saat kau bilang itu? 
 Bukankah kau bilang fungsi kita adalah saling memberitahu jika masing dari kita berbuat salah? 

Aku tahu, meski selalu diam, kau lah yang paling mengertiku diantara mereka. 
Dulu. Kau pertama bagiku. Tapi dulu. Hanya sebatas dulu.

Kita telah berubah. Seperti yang kau takutkan. 

Karena terlalu kehati-hatianmu. Membuatku tidak nyaman dan tidak lagi percaya. Aku lelah mengharap untuk kau jadikan pertama. 

Karena aku belum setulus malaikat. 
Namun, kau tetap berharga. Mereka berharga. 
Dia pun juga masih berharga. Berinti kalian semua berharga. 

Aku sedih seperti ini. Aku sedih saat semua kabar gembira tentangku, kau lah orang pertama yang kuajak bersuka. Namun, setidak pantas itukah aku saat harus tahu semua kabar gembira tentangmu kudapati dari mulut orang lain? Bahkan dari mulut media yang omong kosong itu? 

Aku tidak mengerti kita. Hanya segelintir isi hatiku tentangmu.

Jumat, 19 Agustus 2011

MW

“besok ya, jam 6 malem pasti, aku nanti yang akan jemput, jangan khawatir” 
isi smsnya singkat.
Tidak banyak berpikir lagi, dia akan berangkat besok.
Dua jam perjalanan udara.
Pertama kalinya dia menginjak bandara ini.
Tak pernah dia berpikir untuk bisa jadi semudah ini, apalagi secepat ini.

“domestic departure”
Seseorang sudah menunggunya disana.
Seseorang yang tidak sekedar menunggu. Bertahun-tahun pun dia kira dia pasti akan bersedia jika disuruh tetap terus menunggu.

“senang melihatmu”
Dia disambut dengan senyum yang indah, bahkan yang paling indah.
“boleh peluk?” ucapnya.
Tanpa ada jawaban apapun, dia langsung melingkarkan tangannya di pinggang satunya.
Aroma yang dia rasakan tetap sama.
Aroma yang selalu dirindukannya.

“kamu bawa jaket ga?”
“ga”
“ini, pakai jaketku”
Mereka masih canggung.
Tapi ubun dan otak mereka kompak mengisyaratkan sesuatu yang sama kepada hati mereka. bahagia. Mereka bahagia.

“tempatnya jauh, tidur juga ga papa”
“kamu suruh aku tidur setelah aku sampai sejauh ini?, kita kemana?”
“maunya?”
“kamu ga mau kasih kenangan ke aku di waktu pertama kalinya aku kesini?”
Pukul Sembilan malam. Jalanan masih ramai.
Mereka bersenda diatas angin, seolah-olah mencibir angin malam yang semakin dingin.

“makasih yaaa”
“makasih buat apa? Aku yang harusnya makasih”
“jadi malam ini cuma kita kan?”
“aaaah, makasih, makasih, makasiiiiiiiiih” teriaknya. Tetap tidak mau kalah dengan deru mesin dan angin malam.

Dia mengeratkan pelukannya malam itu.
Melaju kencang.
Malam semakin dingin.
Namun dia tetap hangat di dekapan pundaknya. Hangat. Hangat sekali.

Bukan untuk kemarin, bukan untuk esok, dan bukan untuk yang lain.

Tapi untuk saat ini, dan untuk mereka.


MW, Februari 2011

Kamis, 18 Agustus 2011

#17an

17
Bacanya sih tujuh belas, tapi saya gak suka sama angka 17.
Saya Sukanya sama angka 8, bacanya: delapan.
Baiklah gini aja, 1 (satu) + 7 (tujuh) = (sama dengan) 8 (delapan)
Yes. Bener kan.


17 agustus. Saya gak mau kalah pamor sama twitter dong, trending topicnya #17an, Indonesia ulang tahuuun. Selamet yah.
17 ramadhan. Saya juga gak mau gak dibilang alim juga, topic ceramahnya #nuzulul Quran, Al-Quran ulang tahun, Alhamdulillah yah.


#17an, timeline di twitter rata-rata sama, “dirgahayu Indonesiaku”, “Happy birthday Indonesia”
“Apakah Indonesia memang benar-benar sudah merdeka?”
“Indonesia sudah merdeka, iya, tapi merdeka setengah hati”


Huh. alangkah sibuknya saya jika saya ikut-ikutan mengolok Indonesia di ulang tahunnya ini.
menurut saya, dengan seenaknya mengungkapkan opini selancang itu pun sudah merupakan merdeka luar biasa loh.


Gak kebayang, kalo saya harus keluar rumah, siap siap mo ngedate sama pacar eh tau tau ada meriam mendarat di teras rumah. Atau bukannya kita bisa ngedate malah diseret sama tentara-tentara penjajah itu?
Eits, tunggu dulu, boro-boro ngayalin begituan, iya kalo masih bisa punya rumah, iya kalo masih bisa waktu buat mikirin pacar, eh..


Indonesia itu sudah merdeka. Hanya saja Indonesia belum beruntung untuk semerdeka Amerika Serikat.
Saya bisa leha-leha di siang hari ini, apa itu belum merdeka?
Saya bisa santai-santai di ruang yang sejuk sekarang, apa itu belum merdeka?

Indonesia sudah merdeka kok.

#nomention.

“Sudahi ini semua. Bilang aja terus terang kalo kamu nggak pernah niat serius”

“siapa bilang aku nggak serius?”

“jadi kamu siap berkomitmen sama dia?”

“kenapa serius harus dihubungkan dengan siap berkomitmen?”

Madre, Dewi Lestari

rentan kita, betapa.

Kita berdua itu rentan.
Ibarat sehelai daun kering di pinggir jalan, jika terlalu banyak orang yang lalu, kita akan terinjak-injak, 
jika angin berhembus terlalu kencang, kita akan melayang tanpa arah, 
jika hujan yang turun terlalu deras, kita akan terbawa arus air, 
jika api membara, kita akan cepat tersambar dan hangus.

Maka yang harus kita lakukan adalah tidak menjadi daun kering dan sebisa mungkin tidak gugur dari pohon kita yang maha besar ini.

Jika pada akhirnya kita gugur juga, maka sang pohonlah yang melepaskan kita, 
sang pohon tahu jika kita memaksakan diri, maka kita akan jatuh dan sakit.

Percayalah, kita hanya gugur sebentar.

Berjuanglah untuk tidak terinjak, tidak melayang tanpa arah, tidak hanyut terbawa arus, dan tidak hangus.


 
Karena, jika kau percaya, 
kita akan kembali melebur menjadi satu,
kembali bersemi, merekah segar di kehidupan peleburan tanah berikutnya 
dan menjadi zat penyubur bagi pohon-pohon baru nan rindang itu.
#mdn,2011

Cercahku

Aku rindu padamu.
Tapi kau tak tahu.
Tak akan pernah tahu menurutku.
Matamu.
Dari dulu aku kagum. Bentuknya sedang. Tidak besar, juga tidak kecil. Melengkung sempurna. Begitu bersih. Begitu indah.
Kapan terakhir kali aku memandang mata itu? 
dulu, saat kau datang membawa cake coklat kecil di tahun ke dua puluh hidupku. “ini surprise untukmu” katamu.

Tahukah kau aku merindukanmu?
Tahukah kau aku selalu menunggu kabarmu?
Tahukah kau aku menyisakan tempat untuk namamu di museum memoriku?
Aku rindu padamu.
Dan kau tak tahu.
Tak akan pernah tahu.










 
#pesani aku jika kau baca ini

Sop Daging

Nada pesan masuk berbunyi.
Hanya bertuliskan namaku. Aku sudah tau.
Pasti dia yang mengirimkan pesannya. Sudah pasti dia. Aku tersenyum saat memang namanya yang tercantum di info pengirim.
Hari ini, aku janjian bertemu dengannya. Sudah lama tidak bertemu, yah sekitar enam bulanan sejak kami bertanding di arena bowling waktu itu.

Aku masih menganggapnya spesial. Walau masih kudengar suara-suara yang mengatakan bahwa dia sombong, sok pintar, sok tajir dan sok ekslusif.
Whatever, karena, dia sudah pasti menjadi orang yang pertama kali mengajak saya ketemuan jika telah tahu bahwa aku kembali singgah di kota ini.
Dan karena, dia juga sudah pasti menjadi orang yang pertama kali marah jika tidak diberi kabar kesinggahan aku di kota ini.

Dia cerdas, menurutku. Aku selalu memperhatikan gayanya bercerita. Khas. Memang selalu terlihat sedikit meninggikan diri, but aku pikir itulah ciri kecerdasannya.
Sore ini, kami bertemu. Seperti biasa, aku selalu sedia dengan senang hati untuk singgah menjemputnya, tanpa sekalipun aku pernah dijemput olehnya.

Dia terlihat sedikit berbeda. Mungkin timbunan lemaknya sedikit berkurang. Aku pun selalu mau diajak kemanapun dia mau. Hingga matahari digantikan oleh bulan, kami menyusuri jalanan. Bau tanah dan aspal yang lembab bisa kami rasakan setelah hujan sore tadi.

Matic-ku membawa kami terus menyusuri jalan. “aku mau kayak dedek itu aah” katanya sambil menirukan tingkah anak kecil yang di bonceng laki-laki dewasa tepat di depan kami.
Mungkin ayahnya. Kulihat tangannya melingkari pinggang sang ayah. Aku tidak merespon apa-apa. Kubiarkan dia meniru si anak kecil itu. Satu lagi ke khas annya. Aku suka.

Aku pesan sop daging untuk makan malamku. Entah kenapa aku yang tidak suka makanan berkuah tiba-tiba pesan menu itu di restoran Chinese food ini. Dia memesan menu yang sudah bisa ku terka. Fuyunghai. Ini semakin membuatku sadar bahwa kami sedang ada restoran Chinese food. Dan aku belum mendapat jawaban kenapa aku memesan menu sop daging.

Kami terus bercerita. Tidak peduli bagaimana aku berjuang menghabiskan makanan yang rasanya hambar ini. Cerita biasa, cerita sehari-hari, apa saja yang terjadi selama kami tidak bertemu. Kadang tertawa, kadang serius, kadang garing. Dia begitu antusias bercerita. Berbeda denganku yang hanya antusias mendengarkan namun tidak antusias membagi cerita.

“kok ga pernah cerita-cerita ke aku sih”, kudengar nadanya sedikit kecewa. Ku dengar cerita demi ceritanya. Kampusnya, pekerjaan sampingannya, hobinya, dan cintanya. Entah kenapa, aku memilih untuk tidak banyak membagi ceritaku padanya. Tapi satu raguku padanya. Aku harap semua antusiasnya padaku bukan karena siapa aku sekarang. Dan bukan karena siapa aku dulu dimatanya. Aku ingin, semua karena aku adalah aku. Aku bukan dengan siapa aku dulu hingga sekarang.

Penghargaannya padaku seperti ini, akan aku balas dengan penghargaan yang lebih tinggi padanya suatu saat nanti.
Janjiku dalam hati.
Kami kembali menyusuri jalan.
Begitu dingin udara malam ini. Usai hari ini.
Usai pertemuan dengannya. Sesaat sebelum aku bertolak, aku mendengar sahutannya, “ntar kita ketemu lagi ya, hati-hati di jalan, love you”,

Aku tidak menjawabnya. Hanya tersenyum melambaikan tangan. Begitu indah. Seindah janji dalam hatiku padanya.


















15 Agustus 2011

Pulaslah

Jarang-jarang mereka tidur dikasur ini, mereka tidur dengan pulas.
Sesaat sebelum tidur, mereka bercerita, cerita hidup, tentang cinta, tentang persahabatan tentang mengapa bisa cinta dan tentang mengapa bisa persahabatan.
Mereka, jalan tempuh mereka sudah mencapai 4 tahun, 5 tahun.
No comment.
Mereka, berbicara tentang public enemy, “ih kalo gue mah ogah punya temen atau punya pacar yang public enemy
“yah, udah berapa kali kan gue bilang, love is blind”
Entah.
Yang saya tahu arti dari public enemy = musuh publik.
se ngeri itukah artinya.
Love is blind = cinta itu buta
Se buta itukah maknanya.
Hanya mereka yang beruntung yang bisa mengalaminya lah yang tahu rasanya.
Diluar cuaca sedang bersahabat.
Tenang. Semilir angin kadang-kadang mengantarkan sejuk.
Sesejuk obrolan mereka siang ini.
Entah pantas atau tidak dikatakan obrolan sejuk.
Yang mereka tahu, obrolan itulah yang menjadi pengantar tidur mereka yang pulas.
Depok, 10 Agustus 2011

Sabtu, 06 Agustus 2011

They (3)

2010.

Tak banyak waktu yang kuhabiskan dengannya. Tapi aku jadi semakin dekatnya setelah aku kuliah disini.
Anak-anaknya adalah sepupuku.
Dia, perempuan yang hebat menurutku. dia selalu baik padaku. Sejak menikah dengan paman, dia dianggap sosok yang pantas jadi pendamping hidup pamanku yang sangat pendiam.
Dia ceria, pandai bergaul, ramah dan dermawan.

Jika ada waktu, ku sempatkan singgah kerumahnya yang berjarak waktu dua jam setengah dari kostanku.
Setiap kali aku datang, aku selalu diajak makan diluar, aku selalu diberi uang saku dari nya, aku selalu di beri hadiah olehnya.
Tidak pernah kusangka kebaikan nya itu belum sempat kubalas, tidak pernah kusangka dia pergi secepat itu.

Carcinoma mammae.
Lagi-lagi penyakit sejenis itu, aku benci dengar namanya.
Saat dia dan suaminya berangkat menunaikan ibadah Haji di tahun sebelumnya,
Aku kagum padanya. Di usia semuda itu sudah mampu beribadah Haji.
Bahkan disaat anak-anaknya masih belum lulus SD.

Saat ini, saat aku bertandang kerumahnya, tak dapat lagi kujumpai sosoknya yang ramah itu. sosoknya yang menyabut kedatanganku dengan hangat.
Aku juga menyesal tak banyak menjenguknya saat ia sakit.
Operasi pertamanya, di salah satu rumah sakit di Jakarta.
Aku yang saat itu belum mengerti benar daerah Jakarta, berangkat menjenguknya sendiri.
Awalnya aku tidak mengerti penyakit apa yang menggerogotinya.
Tibalah aku dirumah sakit ini, rumah sakit yang besar. Aku cukup kebingungan ketika masuk.
Saat ku tanyakan nama kamarnya dengan petugas rumah sakit, aku mengikuti petunjuk arah dari petugas. Lokasinya di lantai 6. 

Saat lift terbuka, aku keluar. Aku langsung mencari nomor kamarnya. Kartika 11.
Langkahku sempat terhenti, saat melihat papan di dinding sebelah lift bertuliskan “instalasi perawatan kanker”.

Aku masuk kamar. Kulihat dia sedang berbaring dibalut selimut putih.
Keluarganya menyambutku. Aku melihat pamanku tersenyum menyambutku. Dari beranda belakang aku mendengar suara adik sepupuku sedang bermain. 

Aku sungguh tidak berani menanyakan sakitnya. Aku cuma berkata ”bibi udah sehat kan sekarang bi? Baik-baik aja kan ya?”
Dia tersenyum.
“tapi bibi udah ga punya tetek *maaf  lagi sekarang, udah dibuang semua”.
Aku diam.
“nina mau liat ga?”
Rasanya ingin sekali aku memeluknya saat itu.

Cukup lama aku disana. Dia punya 2 anak, yang satu kelas 5 SD, yang satu baru masuk TK.
Ya, mereka sepupuku. Aku memandangi keduanya yang sedang asik bermain. Mereka ceria. Sama seperti ibunya. Aku berpikir apakah mereka mengerti apa yang sedang terjadi pada ibu mereka?

Aku ingat Idul Adha sempat aku lalui dirumah mereka.
Saat ku kabari dia bahwa aku akan datang malam ini lewat sms, dia balas  “bibi akan jemput, nina kabarin kalo udah nyampe karawang ya” .
bus yang kutumpangi sudah keluar dari tol karawang barat.
Dia dan paman menjemputku. Dia tersenyum.
Dia sudah sehat, syukurku.

Seperti biasa, sebelum ke rumahnya, dia mengajakku makan diluar dulu.
Tiba dirumah, aku disuruh istirahat. Saat aku melangkahkan kaki menuju tangga ke lantai dua, tiba-tiba dia bilang “ninaa, jangan kaget yaaa, bibi sekarang udah botak, karena kemo, jangan kaget ya, tapi bibi tetap cantik kok, hehe”
Aku menoleh. Tidak ada lagi rambut panjangnya. Namun dia benar, dia tetap cantik.

Aku baru melihatnya dirumah, karena diluar dia menggunakan jilbabnya.
Aku memperhatikannya, memperhatikan pamanku, memperhatikan sepupuku.
Mereka semua ceria, seperti tidak ada kesedihan. Aku kagum.

Aku akan ingat selalu, berangkat sholat ied dengannya, makan ketupat dengannya, makan kue idul adha dengannya. Bahkan, di tengah sakitpun, dia ditunjuk jadi ketua panitia pemotongan hewan kurban di lingkungan rumahnya.
“bibi senang bibi ditunjuk jadi ketua panitia kurban ini, mereka semua sayang sama bibi, mereka mau bibi ada kesibukan, mereka mau bibi tetap aktif” katanya padaku.
Dia adalah sosok yang bersahaja di lingkungannya.

Terakhir aku bertemu dengannya, saat aku bertandang lagi kerumahnya,
Dengan kepala gundul dibalut oleh kerudungnya yang cantik, dia tetap cantik menurutku.
Kala itu dia mengajakku bertemu dengan sahabat-sahabatnya.
“bibi besok mau arisan sama temen-temen, nina temenin bibi yaa, sama dedek rahma juga”
Acara dimulai dengan nonton bioskop, film twilight kala itu sedang booming.
Acara dilanjutkan dengan karoke di sebuah restoran mewah. Menurutku itu restoran bintang 4 mungkin.

Dia memesan large room, dan memesan makanan dengan porsi yang banyak.
Dia bercengkarama dengan sahabat-sahabatnya. Ceria sekali.
Tidak lupa dia mengajakku untuk bernyanyi bersama.
Kami semua senang siang itu, makan dan nyanyi bersama.
Setelah karoke, dia mengajakku belanja, dia membelikan aku segala macam.

Itu kenangan terakhir ku dengannya.
Bahkan dia mencoba membahagiakan aku untuk yang terakhir kali.
Kabar kepergiannya kudapat pada jam 2 pagi. April.
Aku terdiam. Itu memang benar-benar kenangan terakhir ku dengannya.

Pagi-pagi aku berangkat kerumahnya, aku tidak masuk kuliah saat itu, ku kenakan pakaian hitamku, yang dulu adalah pemberian darinya.
Apa dia membelikan untukku, agar aku bisa memakainya untuk mengantarnya ke peristirahatan terakhirnya?

Aku lihat sosoknya terbujur kaku.
Banyak orang menangis untuknya.
Ibuku terbang dari Palembang untuk mengantarnya juga. Aku tau aku belum cukup mengerti apa yang dirasakan oleh pamanku sekarang. Suaminya.
Aku memangku si dedek, anak bungsunya yang masih TK.
“teh nina, kenapa orang-orang nangis semua yaa? Mama kan lagi tidur itu, kok orang-orang nangis”
Air mataku menetes.

Selamat jalan bibi. Kau boleh saja pergi, tapi kenanganmu, semangatmu, ceriamu, kebaikanmu, ramahmu, akan selalu tersimpan di hati orang-orang menyayangimu.

They (2)

2009.

Yang ada hanyalah sesal, setelah aku melihat foto-foto itu.
Tubuhnya lesuh, kurus, tak seperti biasanya yang kulihat selama ini.
Rambut putihnya yang dulu lebat, namun yang kubisa kulihat hanya tinggal sehelai demi sehelai di foto itu. raut wajahnya lelah. Bisa kulihat itu.

Telah lewat 2 bulan setelah kepergiannya. Terakhir aku bertemu dengannya idul fitri tahun lalu. Aku masih ingat nasehat nya kepada aku dan kedua kakakku.
Kabar dia sakit telah lama ku dengar. Hanya sakit pengaruh usia pikirku.
Sampai bukan kabar biasa sampai ketelingaku.
Aku masih di perjalanan belum sampai ke kostan saat itu. perjalanan dari Palembang ke Jakarta.

Cell lung cancer.

“Dokter bilang hanya tinggal 8 bulan lagi”. aku ingat kakakku bilang seperti itu di telepon.
Ya Tuhan. Aku menghela nafas.
Aku baru saja duduk di bangku semester dua kuliahku.

Febuari saat itu. aku terus berdoa untuknya. Perkembangan cerita tentangnya tetap bisa kudapat, tidak mudah perjuangannya untuk tetap bertahan hidup, terutama diusianya sekarang.
Kerap, ku dapati sms dari kakakku atau ayahku di tengah malam, “dek, doain neknang terus yo, neknang lagi kritis skrg”
 
Dia dibawa kesana kemari untuk menjalani pengobatannya.
Satu yang kusesalkan, saat dia berada di Jakarta untuk berobat pun, tega-teganya aku tidak sempat menjenguknya. Sampai dia kembali ke Palembang.

Aku pasrah. Aku terus berdoa untuknya.
Sampai dia bilang dia ingin pulang, dia ingin semua orang membiarkan dia pulang. Dia lelah. Bahkan tidak sampai 8 bulan seperti kata Dokter, dia sudah menyerah.

Maret.
Dia pergi.
aku sedang ujian tengah semester saat itu. tak bisa pulang pikirku. Melihatnya untuk yang terakhir kali.
Aku adalah salah satu dari tiga cucunya yang tidak bisa mengantar ke rumah abadinya.
Aku sedih saat itu. penuh penyesalan.

Seminggu yang lalu,pasca pulih dari masa kritisnya, dia ingin aku menelponnya.
“neknang pengen ngobrol sama nina, telepon lah neknang nak ayahku bilang saat itu.

Aku mendengar suaranya. Suaranya serak dan bergetar. Namun aku tau pasti dia tersenyum saat mendengarku di telepon.
“nina harus besar nilai kuliahnya, neknang doakan dari jauh ya, nanti lulus sarjana langsung kuliah s2 lagi ya, biar jadi dosen, neknang senang kalo nina jadi dosen ya, dide nak mikirka yang laen, rajen-rajen kuliah lagi disane ao”,
Air mataku menetes saat ku tutup teleponnya.

Sampai detik ini masih kuingat bagaimana suaranya saat mengatakan pesan itu yang ternyata jadi pesan terakhirnya untukku.
Tak ada lagi ketawa khasnya untukku. Tak ada lagi leluconnya untukku.
Tak ada lagi sosok yang selalu minta dipijat olehku saat aku bertandang kerumahnya.
Tak ada lagi, dia. Kakekku.

They (1)

2007.

Dia begitu ceria. Bahkan lebih ceria dari yang dibayangkan sebelumnya.
Permainan petak umpet tidak akan seru apabila dia tidak ikut bermain.
Permainan bola kasti pun menjadi tidak menyenangkan apabila tidak ada dia.
aku baru kenal dengannya. Bahkan di tempat yang tidak pernah saya bayangkan untuk bisa mengenal siapapun disini.

Aku dan dia bersahabat. Juga dua teman lainnya. Kami berempat, adalah power ranger.
Aku, ranger kuning.
Cila, ranger pink.
Rendy, ranger hitam.
Dan dia, bowo, ranger biru.
Entah kenapa kami bisa begitu dekat, terutama aku.

Rumahku yang jauh dan setelah aku jarang kesana membuat aku sering merindukan mereka.
Setiap liburan sekolah, aku selalu menyempatkan untuk menginap disana untuk menghabiskan waktu bermain dengan mereka.
Sampai setelah kami beranjak dewasa, bukanlah petak umpet lagi yang menjadi permainan kami, dan juga bukanlah power ranger lagi yang kami tonton. Kami tetap menjalin hubungan.
Cila pindah keluar kota. Tinggal dengan neneknya disana. Tak banyak komunikasi kami dengannya.
Bowo tetap bersahabat dengan rendy.
Aku, tetap menjalin komunikasi dengan keduanya.
Aku dan rendy, berpacaran saat  itu. Entahlah, lucu sekali ku pikir saat itu.
Bowo, satu-satunya sahabat rendy yang aku kenal, membuatku sering menghubungi dia. Semua curhatku tentang rendy, tidak ada satupun yang tidak kubagi dengannya. Begitu juga rendy.
Dia begitu berjasa, bagi ku dan rendy terutama.

Aku dan rendy putus.
Cukup lama aku dan mereka tidak berhubungan. Baik rendy, maupun bowo.
Sekolahku yang berat sedikit menyita pikiranku mengenai mereka.
Sampai berita itu datang.

Leukemia.

Itu petir di pagi hari menurutku. aku masih menggunakan seragam putih abu-abuku pada saat itu.
aku sudah tidak bisa berpikir. Tanganku gemetar. Airmata ku menetes. Aku seperti orang gila saat teman2ku bertanya kenapa aku menangis. aku masih tidak percaya.
Ku jalankan sepeda motorku dengan kencang pulang kerumah. Masih tidak percaya.
Rendy yang saat itu terus ku telepon, tidak jua mengangkat telepon. Sampai aku berani menelepon langsung kerumahnya.
Kali ini ku jalankan lagi sepeda motorku. Gontai. Aku tidak berpikir sepanjang jalan.
Tiba aku disana. Wangi bunga begitu menusuk. Air mataku tak terbendung. Rasanya aku mau jatuh. 

“kawannya bowo y, ayo masuklah masuklah”
Kakiku seperti tidak bertulang saat masuk kedalam. Aku melihat ibunya bowo dengan mata yang sembab duduk di sebelah jenazah.
Aku tidak berani mendekat. Aku terduduk. Masih belum percaya. Sampai ada tamu lagi yang datang yang membuka penutup wajah jenazah tersebut.
Rasanya aku mau marah saat itu. aku bisa melihat wajahnya. Begitu kuning. 

Aku lemas. Itu wajah yang dulu yang selalu ceria. Itu wajah yang selalu mengejekku hingga aku tertawa.
Itu wajah, Bowo.

Tak satupun orang yang bisa ku tanya. Aku hanya dengar ini leukemia.
aku masih duduk. Sampai ada tangan yang meraihku. Rendy. Membawaku keluar rumah.
Mata rendy sembab. Mukanya merah. aku dengar rendy berbicara, suaranya bergetar. Air mataku mengalir deras seakan menjatuhkan kenangan-kenangan yang harus aku ingat kala hidupnya.

Maaf bowo..
Bahkan aku tidak bisa jadi pundak buatmu, bahkan saat kau merasakan sakitmu.
Terimakasih bowo, ingatlah pundakmu adalah pundak yang paling hangat yang pernah aku rasakan. Dan aku akan selalu merindukan pundak itu.