2009.
Yang ada hanyalah sesal, setelah aku melihat foto-foto itu.
Tubuhnya lesuh, kurus, tak seperti biasanya yang kulihat
selama ini.
Rambut putihnya yang dulu lebat, namun yang kubisa kulihat
hanya tinggal sehelai demi sehelai di foto itu. raut wajahnya lelah. Bisa kulihat
itu.
Telah lewat 2 bulan setelah kepergiannya. Terakhir aku bertemu
dengannya idul fitri tahun lalu. Aku masih ingat nasehat nya kepada aku dan
kedua kakakku.
Kabar dia sakit telah lama ku dengar. Hanya sakit pengaruh
usia pikirku.
Sampai bukan kabar biasa sampai ketelingaku.
Aku masih di perjalanan belum sampai ke kostan saat itu.
perjalanan dari Palembang ke Jakarta.
Cell lung cancer.
“Dokter bilang hanya
tinggal 8 bulan lagi”. aku ingat kakakku bilang seperti itu di telepon.
Ya Tuhan. Aku menghela nafas.
Aku baru saja duduk di bangku semester dua kuliahku.
Febuari saat itu. aku terus berdoa untuknya. Perkembangan cerita
tentangnya tetap bisa kudapat, tidak mudah perjuangannya untuk tetap bertahan
hidup, terutama diusianya sekarang.
Kerap, ku dapati sms
dari kakakku atau ayahku di tengah malam, “dek,
doain neknang terus yo, neknang lagi kritis skrg”
Dia dibawa kesana kemari untuk menjalani pengobatannya.
Satu yang kusesalkan, saat dia berada di Jakarta untuk
berobat pun, tega-teganya aku tidak sempat menjenguknya. Sampai dia kembali ke
Palembang.
Aku pasrah. Aku terus berdoa untuknya.
Sampai dia bilang dia ingin pulang, dia ingin semua orang
membiarkan dia pulang. Dia lelah. Bahkan tidak sampai 8 bulan seperti kata
Dokter, dia sudah menyerah.
Maret.
Dia pergi.
aku sedang ujian tengah semester saat itu. tak bisa pulang
pikirku. Melihatnya untuk yang terakhir kali.
Aku adalah salah satu dari tiga cucunya yang tidak bisa
mengantar ke rumah abadinya.
Aku sedih saat itu. penuh penyesalan.
Seminggu yang lalu,pasca pulih dari masa kritisnya, dia
ingin aku menelponnya.
“neknang pengen
ngobrol sama nina, telepon lah neknang nak ” ayahku bilang saat itu.
Aku mendengar suaranya. Suaranya serak dan bergetar. Namun aku
tau pasti dia tersenyum saat mendengarku di telepon.
“nina harus besar
nilai kuliahnya, neknang doakan dari jauh ya, nanti lulus sarjana langsung
kuliah s2 lagi ya, biar jadi dosen, neknang senang kalo nina jadi dosen ya,
dide nak mikirka yang laen, rajen-rajen kuliah lagi disane ao”,
Air mataku menetes saat ku tutup teleponnya.
Sampai detik ini masih kuingat bagaimana suaranya saat
mengatakan pesan itu yang ternyata jadi pesan terakhirnya untukku.
Tak ada lagi ketawa khasnya untukku. Tak ada lagi leluconnya
untukku.
Tak ada lagi sosok yang selalu minta dipijat olehku saat aku
bertandang kerumahnya.
Tak ada lagi, dia. Kakekku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar