2007.
Dia begitu ceria. Bahkan lebih ceria dari yang dibayangkan
sebelumnya.
Permainan petak umpet tidak akan seru apabila dia tidak ikut
bermain.
Permainan bola kasti pun menjadi tidak menyenangkan apabila
tidak ada dia.
aku baru kenal dengannya. Bahkan di tempat yang tidak pernah
saya bayangkan untuk bisa mengenal siapapun disini.
Aku dan dia bersahabat. Juga dua teman lainnya. Kami berempat,
adalah power ranger.
Aku, ranger kuning.
Cila, ranger pink.
Rendy, ranger hitam.
Dan dia, bowo, ranger biru.
Entah kenapa kami bisa begitu dekat, terutama aku.
Rumahku yang jauh dan setelah aku jarang kesana membuat aku
sering merindukan mereka.
Setiap liburan sekolah, aku selalu menyempatkan untuk
menginap disana untuk menghabiskan waktu bermain dengan mereka.
Sampai setelah kami beranjak dewasa, bukanlah petak umpet
lagi yang menjadi permainan kami, dan juga bukanlah power ranger lagi yang kami
tonton. Kami tetap menjalin hubungan.
Cila pindah keluar kota. Tinggal dengan neneknya disana. Tak
banyak komunikasi kami dengannya.
Bowo tetap bersahabat dengan rendy.
Aku, tetap menjalin komunikasi dengan keduanya.
Aku dan rendy, berpacaran saat itu. Entahlah, lucu sekali ku pikir saat itu.
Bowo, satu-satunya sahabat rendy yang aku kenal, membuatku
sering menghubungi dia. Semua curhatku tentang rendy, tidak ada satupun yang
tidak kubagi dengannya. Begitu juga rendy.
Dia begitu berjasa, bagi ku dan rendy terutama.
Aku dan rendy putus.
Cukup lama aku dan mereka tidak berhubungan. Baik rendy,
maupun bowo.
Sekolahku yang berat sedikit menyita pikiranku mengenai
mereka.
Sampai berita itu datang.
Leukemia.
Itu petir di pagi hari menurutku. aku masih menggunakan
seragam putih abu-abuku pada saat itu.
aku sudah tidak bisa berpikir. Tanganku gemetar. Airmata ku
menetes. Aku seperti orang gila saat teman2ku bertanya kenapa aku menangis. aku
masih tidak percaya.
Ku jalankan sepeda motorku dengan kencang pulang kerumah. Masih
tidak percaya.
Rendy yang saat itu terus ku telepon, tidak jua mengangkat
telepon. Sampai aku berani menelepon langsung kerumahnya.
Kali ini ku jalankan lagi sepeda motorku. Gontai. Aku tidak
berpikir sepanjang jalan.
Tiba aku disana. Wangi bunga begitu menusuk. Air mataku tak
terbendung. Rasanya aku mau jatuh.
“kawannya bowo y, ayo masuklah masuklah”
Kakiku seperti tidak bertulang saat masuk kedalam. Aku melihat
ibunya bowo dengan mata yang sembab duduk di sebelah jenazah.
Aku tidak berani mendekat. Aku terduduk. Masih belum
percaya. Sampai ada tamu lagi yang datang yang membuka penutup wajah jenazah
tersebut.
Rasanya aku mau marah saat itu. aku bisa melihat wajahnya. Begitu
kuning.
Aku lemas. Itu wajah yang dulu yang selalu ceria. Itu wajah
yang selalu mengejekku hingga aku tertawa.
Itu wajah, Bowo.
Tak satupun orang yang bisa ku tanya. Aku hanya dengar ini leukemia.
aku masih duduk. Sampai ada tangan yang meraihku. Rendy. Membawaku
keluar rumah.
Mata rendy sembab. Mukanya merah. aku dengar rendy
berbicara, suaranya bergetar. Air mataku mengalir deras seakan menjatuhkan
kenangan-kenangan yang harus aku ingat kala hidupnya.
Maaf bowo..
Bahkan aku tidak bisa jadi pundak buatmu, bahkan saat kau
merasakan sakitmu.
Terimakasih bowo, ingatlah pundakmu adalah
pundak yang paling hangat yang pernah aku rasakan. Dan aku akan selalu
merindukan pundak itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar