2010.
Tak banyak waktu yang kuhabiskan dengannya. Tapi aku jadi
semakin dekatnya setelah aku kuliah disini.
Anak-anaknya adalah sepupuku.
Dia, perempuan yang hebat menurutku. dia selalu baik padaku.
Sejak menikah dengan paman, dia dianggap sosok yang pantas jadi pendamping
hidup pamanku yang sangat pendiam.
Dia ceria, pandai bergaul, ramah dan dermawan.
Jika ada waktu, ku sempatkan singgah kerumahnya yang
berjarak waktu dua jam setengah dari kostanku.
Setiap kali aku datang, aku selalu diajak makan diluar, aku
selalu diberi uang saku dari nya, aku selalu di beri hadiah olehnya.
Tidak pernah kusangka kebaikan nya itu belum sempat kubalas,
tidak pernah kusangka dia pergi secepat itu.
Carcinoma mammae.
Lagi-lagi
penyakit sejenis itu, aku benci dengar namanya.
Saat dia dan suaminya berangkat menunaikan ibadah Haji di
tahun sebelumnya,
Aku kagum padanya. Di usia semuda itu sudah mampu beribadah
Haji.
Bahkan disaat anak-anaknya masih belum lulus SD.
Saat ini, saat aku bertandang kerumahnya, tak dapat lagi
kujumpai sosoknya yang ramah itu. sosoknya yang menyabut kedatanganku dengan
hangat.
Aku juga menyesal tak banyak menjenguknya saat ia sakit.
Operasi pertamanya, di salah satu rumah sakit di Jakarta.
Aku yang saat itu belum mengerti benar daerah Jakarta,
berangkat menjenguknya sendiri.
Awalnya aku tidak mengerti penyakit apa yang
menggerogotinya.
Tibalah aku dirumah sakit ini, rumah sakit yang besar. Aku cukup
kebingungan ketika masuk.
Saat ku tanyakan nama kamarnya dengan petugas rumah sakit, aku
mengikuti petunjuk arah dari petugas. Lokasinya di lantai 6.
Saat lift terbuka, aku keluar. Aku langsung mencari nomor
kamarnya. Kartika 11.
Langkahku sempat terhenti, saat melihat papan di dinding
sebelah lift bertuliskan “instalasi
perawatan kanker”.
Aku masuk kamar. Kulihat dia sedang berbaring dibalut
selimut putih.
Keluarganya menyambutku. Aku melihat pamanku tersenyum
menyambutku. Dari beranda belakang aku mendengar suara adik sepupuku sedang
bermain.
Aku sungguh tidak berani menanyakan sakitnya. Aku cuma berkata
”bibi udah sehat kan sekarang bi? Baik-baik
aja kan ya?”
Dia tersenyum.
“tapi bibi udah ga
punya tetek *maaf lagi sekarang, udah
dibuang semua”.
Aku diam.
“nina mau liat ga?”
Rasanya ingin sekali aku memeluknya saat itu.
Cukup lama aku disana. Dia punya 2 anak, yang satu kelas 5
SD, yang satu baru masuk TK.
Ya, mereka sepupuku. Aku memandangi keduanya yang sedang
asik bermain. Mereka ceria. Sama seperti ibunya. Aku berpikir apakah mereka
mengerti apa yang sedang terjadi pada ibu mereka?
Aku ingat Idul Adha sempat aku lalui dirumah mereka.
Saat ku kabari dia bahwa aku akan datang malam ini lewat
sms, dia balas “bibi akan jemput, nina kabarin kalo udah nyampe karawang ya” .
bus yang kutumpangi sudah keluar dari tol karawang barat.
Dia dan paman menjemputku. Dia tersenyum.
Dia sudah sehat, syukurku.
Seperti biasa, sebelum ke rumahnya, dia mengajakku makan
diluar dulu.
Tiba dirumah, aku disuruh istirahat. Saat aku melangkahkan
kaki menuju tangga ke lantai dua, tiba-tiba dia bilang “ninaa, jangan kaget yaaa, bibi sekarang udah botak, karena kemo,
jangan kaget ya, tapi bibi tetap cantik kok, hehe”
Aku menoleh. Tidak ada lagi rambut panjangnya. Namun dia
benar, dia tetap cantik.
Aku baru melihatnya dirumah, karena diluar dia menggunakan
jilbabnya.
Aku memperhatikannya, memperhatikan pamanku, memperhatikan
sepupuku.
Mereka semua ceria, seperti tidak ada kesedihan. Aku kagum.
Aku akan ingat selalu, berangkat sholat ied dengannya, makan
ketupat dengannya, makan kue idul adha dengannya. Bahkan, di tengah sakitpun,
dia ditunjuk jadi ketua panitia pemotongan hewan kurban di lingkungan rumahnya.
“bibi senang bibi
ditunjuk jadi ketua panitia kurban ini, mereka semua sayang sama bibi, mereka
mau bibi ada kesibukan, mereka mau bibi tetap aktif” katanya padaku.
Dia adalah sosok yang bersahaja di lingkungannya.
Terakhir aku bertemu dengannya, saat aku bertandang lagi
kerumahnya,
Dengan kepala gundul dibalut oleh kerudungnya yang cantik,
dia tetap cantik menurutku.
Kala itu dia mengajakku bertemu dengan sahabat-sahabatnya.
“bibi besok mau arisan
sama temen-temen, nina temenin bibi yaa, sama dedek rahma juga”
Acara dimulai dengan nonton bioskop, film twilight kala itu sedang booming.
Acara dilanjutkan dengan karoke di sebuah restoran mewah. Menurutku
itu restoran bintang 4 mungkin.
Dia memesan large room,
dan memesan makanan dengan porsi yang banyak.
Dia bercengkarama dengan sahabat-sahabatnya. Ceria sekali.
Tidak lupa dia mengajakku untuk bernyanyi bersama.
Kami semua senang siang itu, makan dan nyanyi bersama.
Setelah karoke, dia mengajakku belanja, dia membelikan aku
segala macam.
Itu kenangan terakhir ku dengannya.
Bahkan dia mencoba membahagiakan aku untuk yang terakhir
kali.
Kabar kepergiannya kudapat pada jam 2 pagi. April.
Aku terdiam. Itu memang benar-benar kenangan terakhir ku
dengannya.
Pagi-pagi aku berangkat kerumahnya, aku tidak masuk kuliah saat itu, ku kenakan pakaian
hitamku, yang dulu adalah pemberian darinya.
Apa dia membelikan untukku, agar aku bisa memakainya untuk
mengantarnya ke peristirahatan terakhirnya?
Aku lihat sosoknya terbujur kaku.
Banyak orang menangis untuknya.
Ibuku terbang dari Palembang untuk mengantarnya juga. Aku
tau aku belum cukup mengerti apa yang dirasakan oleh pamanku sekarang. Suaminya.
Aku memangku si dedek, anak bungsunya yang masih TK.
“teh nina, kenapa
orang-orang nangis semua yaa? Mama kan lagi tidur itu, kok orang-orang nangis”
Air mataku menetes.
Selamat jalan bibi. Kau boleh saja pergi, tapi
kenanganmu, semangatmu, ceriamu, kebaikanmu, ramahmu, akan selalu tersimpan di
hati orang-orang menyayangimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar