Pertama kali saya melihat salah satu dari masyarakat
suku Baduy adalah ketika berada di kampus.
Di kampus, saya sering melihat
seorang yang memakai baju tidak biasa, agak kudel, bukan baju sehari-hari yang
biasa saya lihat, memakai ikat kepala, tanpa alas kaki, dan berjalan-jalan di
sekitar kampus sambil membawa botol yang berisi madu, tanpa sepatah kata keluar
dari mulutnya.
setelah seumur hidup berkelana, halah.
Akhirnya
ngerasain juga yang namanya naik gunung.
Walaupun bukan gunung juga sih
sebenarnya, tapi perbukitan. Sama aja kan? Hehe.
Masalah naik bukit-perbukitan, saya sering sih,
bukan
karena apa, karena dulu kebun kakek-nenek saya di Pagaralam terletak di
perbukitan.
Saya inget banget kalau mau ke kebun mesti mendaki gunung lewati
lembah dulu,
belum lagi di kebun masih banyak kerjaan, luar biasa banget kan.
Saya sih cuma nebeng ikutan ke kebun aja, metik-metik dikit, keciplak-kecipluk
di sungai dikit, abis itu nyantai di dangau. Hehe.
Nah kan ngelantur..
Sejak kuliah, saya selalu iri sama temen yang berani
naik gunung,
saya takut sih, tapi saya pengen, gimana dong? Dilema memang.
Akhirnya pas seminggu sebelum wisuda,
saya memutuskan
untuk ikut rombongan Komunitas Kompas Khatulistiwa,
berpetualang ke suku baduy
yang ada di Lebak, Banten.
Kalo minta izin sama orangtua, udah pasti ga dapat
izin,
jadi ngasih tau pas udah sampe aja. Hehe.
Mulai dah tuh, pikiran yang ga-ga mulai dateng,
takut
kepeleset lah, takut ilang lah, takut diculik orang badui lah, takut kualat
lah, hehe.
But, so far so good.
Dari Depok , saya berangkat bareng Tias dan Kak Siti
ke Stasiun Tanah Abang.
Di stasiun ketemu Kak Angga dan Kak Nabil and of course
ketemu rombongan dengan total orang yang ikut berjumlah 30 0rang.
Dari stasiun Tanah abang, kami naik kereta ekonomi ke
stasiun Rangkas Bitung- Banten.
Naik kereta ekonomi, itu berarti harus siap ngegembel
saya pikir.
Dan berkat perjuangan keras Kak Nabil dan Kak Angga
dan berkat sleeping bag serba guna punya Kak Nabil, akhirnya kita berlima dapet
tempat duduk. Subhanallah.
pose di kereta menuju Rangkasbitung. Kak Nabil (kiri) dan Tias (tengah) |
Tiba di Desa Ciboleger, desa gerbang menuju pedalaman Badui |
Kurang lebih 2,5 jam di kereta.
Sampai juga di Stasiun Rangkasbitung.
Dari Rangkasbitung, perjalanan masih sekitar 1,5 jam
lagi ke Ciboleger naik minibus.
Perjalanan ke Ciboleger ini luar biasa,
luar biasa
menanjak dan luar biasa menurun.
Walaupun naik minibus, jangan dikira senyaman
itu,
kalau saya pribadi sih, naik mini bus ke Ciboleger ini ya 11-12 lah sama
kayak naik kora-kora atau halilintar atau hysteria di dufan. Jantung mau copot
rasanya.
Setelah jantung digoyang-goyang,
sampai juga di
Ciboleger, yaitu desa terakhir yang ditempuh dengan kendaraan.
Aroma badui sudah terasa.
Suku badui terbagi menjadi dua, yaitu badui dalam dan
badui luar.
Tujuan utama kami adalah badui dalam.
Menuju badui
dalam bisa melewati badui luar ataupun tidak.
Jalur berangkat ini dilalui sekitar 2,5 jam jalan
kaki.
Jalur yang dipilih adalah jalur yang melewati badui luar.
Perjalanan pendakian pun dimulai,
lima menit pertama
kedua jalanan masih oke, masih mendatar.
Udah masuk lima menit ketiga dan
seterusnya, kami disambut dengan perbukitan yang entah ada berapa bukit disana,
harus dilalui dengan jalan kaki #okesip
Jalan yang dilalui bukanlah hutan lebat, melainkan
hutan gersang.
Tak jarang juga kami melewati hutan yang baru saja dibakar,
katanya sih orang badui sendiri yang membakar buat dijadiin ladang atau sawah
mereka nantinya.
Luar biasa. Tengah hari bolong, jalan kaki di bawah
terik matahari, and then dengan jalan menanjak. Alhamdulillah ya.
![]() | |||
panas-gersang |
2,5 jam.
Di badui dalam, tidak boleh menyalakan segala sesuatu
yang bersifat elektronik atau digital.
So, kamera dan handphone semua dimatikan.
Sayang banget, padahal sebagian besar objek foto yang
keren ada di badui dalam.
Sudah masuk kawasan badui dalam,
sudah mulai memasuki
hutan yang hijau dan lebat,
aroma bersihnya masih kerasa banget.
Ga kayak di
Jakarta, debu dan polusi dimana-mana.
Setelah berpanas-panas dan berpeluh-peluh ria jalan
kaki 2,5 jam,
kami sampai juga di kampung suku baduy.
Mereka ramah, senyum aja kerjaannya, tapi ngomongnya
jarang banget.
Ada yang lewat senyum, lewat lagi senyum lagi, dan
satu lagi, mereka mukanya mirip-mirip.
Ada yang unik dari masyarakat badui ini.
Saya akan bahas di posting selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar