Sudah lima jam aku berlutut disini, memandangmu.
Berharap kau menoleh sedikit untukku, membantuku berdiri karena kaki ini sudah mati rasa akibat berlutut sejak lima jam yang lalu.

Kau tetap disana. 
Berpaling muka.

Kau tahu? Dalam hati aku bersyukur karena aku berada di ruang yang sama denganmu. 
Dalam hati aku senang kau ada di depan pandanganku.

Tapi sungguh, aku berharap kau menoleh, sekali saja.
Berharap kau pandang mata ini, satu detik saja.

"Dewina..." aku berusaha menyebut namamu.
Kau hanya bergerak, meluruskan kakimu, tetap melayangkan sorot mata tajam ke monitor yang ada di depanmu. 
Sejenak aku berharap bisa dikutuk menjadi monitor itu, agar bisa kau pandangi seharian ini.

"Dewi...." kau semakin tak bergeming saat aku panggil lagi.

Entah apa yang akan kau lakukan jika aku mulai berbicara. 
Mungkin pergi dari sini. 
Mungkin menelpon polisi untuk membantu mengusirku dari ruangan ini.

Tapi memang aku takut, takut jika memang itu yang kau lakukan setelah aku mengeluarkan sepatah dua patah kata.
Jika itu terjadi, mungkin aku tidak memiliki jawaban atas pertanyaan kapan aku bisa menatapmu seperti ini lagi.

Aku memang laki-laki payah.

ditulis ditengah perjalanan, 2013.